Part 3

61 11 0
                                    

Argon

Siang ini seperti halnya kemarin, gue kembali berpura-pura menjadi anak yang baik yang rela meluangkan waktunya demi menjemput ibu tercinta.

Padahal... Gue aslinya sedikit keberatan.

Tapi ya namanya juga permintaan wanita pembawa pintu surga, apa sih yang gak diturutin?

Belajar dari pengalaman kemarin, gue akhirnya memutuskan menunggu di luar gerbang sesuai saran Armi demi menghindari 'dipamerin' di ruang guru oleh ibu.

Seperti sekarang ini, gue malah nangkring di motor sambil menyantap sepiring batagor yang dijual bapak-bapak di samping gerbang sekolah. Emang sih, salah satu poin plus dari sekolah ini menurut gue adalah mereka tetap mengizinkan pedagang kaki lima mangkal depan bangunan sekolah meskipun sekolah mereka udah masuk jajaran elite.

Benar-benar merendah untuk meroket.

"Lo Argon?"

Tiba-tiba saja suara melengking dari seorang cewek terdengar, membuat telinga gue menjadi lebih peka ketika mendengar nama gue disebut.

Apa ada nama Argon selain gue?

Gue mengangkat wajah. Mengalihkan pandangan dari sepiring batagor untuk mencari sumber suara. Dan ternyata cewek siempunya suara itu kini tepat berada di depan gue.

Ada urusan apa ya dia sama gue?

"Kok lo tau nama gue?" Gue akhirnya bersuara, membuat dia menghela napas lega.
"Jadi lo beneran Argon, kan?" Dia terlihat memastikan.

Gue mengangguk.

"Tadi Bu Indira titip pesen ke gue, katanya beliau pulang agak telat, soalnya ada jam tambahan buat pemantapan kelas 12." Cewek itu bersuara lagi.

Oh jadi dia muridnya ibu... Eh tunggu bentar, apa katanya tadi? Ibu pulang telat?
Anjir.

Gue merasa tindakan menunggu gue ini sia-sia.

"Jadi gue disuruh pulang?" Tanya gue sedikit kesal, tapi yang ditanya justru hanya diam.

Oh... Jangan bilang kalau dia gak tau gue harus pulang atau harus nunggu.

"Jadi gue pulang atau nunggu nih?" Gue mengulangi pertanyaan sekali lagi.

Dan cewek itu kelihatannya sedikit tersentak. "E-eh, gue gak tau. Coba lo telepon aja bu Indira, katanya beliau udah nyoba hubungin lo tapi hp lo mati."

Mendengar ucapannya, gue cepat-cepat merogoh handphone yang gue simpan di saku celana. Gue bahkan gak sadar kalau daritadi barang ini mati.
Dan setelah menyalakannya, gue buru-buru menjauh dari cewek itu lalu menelepon ibu―mencoba mengkonfirmasi nasib gue sekarang.

"Kamu pulang aja, Gon. Nanti ibu naik taksi aja kayaknya." suara lembut ibu terdengar di sebrang sana.

"Emang masih lama, Bu?" Gue mencoba berbasa-basi sedikit. Gak enak juga kan kalau gue langsung bersorak ria disuruh pulang.

"Masih kayaknya. Kamu pulang aja, kasian nunggunya kelamaan. Hati-hati ya, Argon."

Yes! Akhirnya kalimat tersebut menjadi penutup percakapan gue dan ibu. Setelah tahu nasib gue sekarang, gue segera kembali menuju tempat dimana motor gue terparkir.

Cewek itu ternyata tetap disana. Berdiri di samping motor gue dengan rambut panjangnya yang terurai agak berantakan juga sedikit keringat yang membasahi pelipisnya.

"Gimana?" Cewek itu memastikan.

"Apanya yang gimana?"

"Keputusan bu Indira. Lo pulang? Atau nunggu?"

"Sejak kapan ya ibu gue jadi ada dua?" gue menatap dia heran.

Kemudian cewek itu terdiam. Lagian itu bukan lagi tugasnya, buat apa juga dia harus tau. Gue kemudian mengeluarkan kunci motor, bergegas untuk pergi setelah sebelumnya membayar batagor yang gue makan tadi.

"Jadi lo pulang kan?" Cewek itu masih bertanya juga setelah melihat gue menyalakan motor.

Gue segera mengangguk.

Dan tepat disaat gue akan menstarter motor. Seorang cowok yang entah datangnya darimana tiba-tiba berdiri memblokir jalan, menepuk-nepuk lampu depan motor gue beberapa kali.

"Oh jadi lo penyebabnya kenapa Arsenia mutusin gue?" Cowok itu melotot ke arah gue tanpa tahu malu.

Adegan apalagi sih ini? Arsenia siapa? Gue kenal dia aja enggak. Artis?

Gue nyaris akan melindas cowok itu dengan motor kalau gue gak inget dosa.

"Alfa! Apa-apaan sih?!" Cewek yang daritadi masih berdiri membuntuti gue itu membuka suara. "Lo salah sangka!"

Sepersekian detik kemudian gue justru baru mengerti, mereka adalah pasangan yang berantem di kantin kemarin! Dan cewek yang tadi ngasih informasi ke gue itu adalah cewek yang gue temui kemarin lagi nangis karena putus sama pacarnya.

Takdir kok gini-gini amat.
Bukannya mempertemukan gue sama jodoh, gue malah ketemu sama mereka lagi mereka lagi.

"Gue gak ada urusan, mending lo minggir aja." gue mencoba mencari celah untuk 'keluar' dari drama ini.

Tapi yang gue lihat, cowok yang dipanggil Alfa itu menarik tangan ceweknya dengan kasar.

"Apaan sih Alfa? Lepasin! Gue gak mau pulang sama lo!" Cewek itu memberontak, lalu menghindar dan menaiki motor gue.

Lah? Kok ke gue?

"Ayo cepet jalan." Cewek itu berbisik dan memeluk pinggang gue erat. "Please bawa gue pergi please."

Gue yang masih kebingungan akhirnya mencoba masuk dan mengikuti situasi ini. "See? Cewek lo aja lebih milih gue. Lo kalah telak."

Setelah mendengar ucapan gue itu, gue bisa tebak si Alfa ini kayaknya kebakaran jenggot karena dia berniat menendang ban belakang gue, sementara gue terlanjur pergi.

***

Setelah menurunkan cewek drama di pinggir trotoar yang tak jauh dari sekolahnya, gue bergegas pulang.

Beberapa orang berseru saat gue membuka pintu rumah. Gue memang menduga ini pasti terjadi―rumah ramai, banyak orang―melihat beberapa motor terparkir berantakan di garasi.

Memang bukan hal aneh lagi sejak Armi membentuk band First Friday dengan teman-temannya di tahun 2013, rumah ini selalu ramai seperti markas. Dan itu bukan masalah mengingat rumah ini selalu kosong tak terisi saat siang hari.

"Mana ibu? Lo bukannya ngejemput?" Armi langsung celingak-celinguk melihat gue datang sendirian.

"Ibu ada tambahan, gue disuruh pulang duluan katanya." Jawab gue sambil berjalan masuk. "Eh itu motor gue gak bisa masuk. Motor lo bisa dimajuin dikit gak, Bin?" Kini tatapan gue beralih pada Bintang, salah satu teman Armi.

Dari dulu, teman Armi adalah teman gue juga dan teman gue adalah teman Armi juga.

Sebagai kakak dan adik yang terpaut satu tahun, gue bersyukur karena gue gak pernah merasa Armi 'memperkecil' gue. Dalam batas wajar, kami malah terlihat seperti anak kembar ketimbang adik kakak.

"Eh oke-oke gue geserin deh." Bintang buru-buru bangkit sambil mengeluarkan kunci motornya. "Kunci motor lo mana? Sekalian gue masukin."

Bintang lalu bergegas setelah menerima kunci motor milik gue, sedangkan gue berjalan ke kamar untuk berganti baju setelah sebelumnya ber-tos ria dengan Dean dan Raden―teman Armi yang lain.

"Eh nyet, lo harus ngasih comment di cover-an First Friday yang baru!" Armi tiba-tiba berteriak, membuat gue cuma mengangkat jempol sambil menaiki tangga.

***

The Dark SpectrumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang