Cerpen - Aster

3.7K 346 70
                                    

Genre: Low Fantasy

=====

Aster, yang enggan kuakui sebagai kakak sedarah, merupakan musuh bebuyutanku. Bukan karena dia sering meminta camilanku dengan paksa. Bukan juga karena dia memungut si Pus, kucing garong yang doyan sekali mencakar kakiku. Pasalnya, dia hobi sekali mengadukan yang dia sebut sebagai 'ulah'-ku kepada Ibu. Percayalah, kalau Ibu sudah tahu, kamu akan lebih memilih dihukum kurungan kamar daripada harus menatap sepasang matanya.

Misalnya saja, kejadian pada sore hari ini.

"Arsa," panggil Ibu.

Dengan menunduk, aku menyahut, "Ya, Ibu?"

"Ibu dengar, kamu isengi temanmu diam-diam lagi, ya?"

"Hmm," gumamku.

"Arsa, lihat mata Ibu."

Aku masih menunduk. Gawat! Bahaya, jangan lihat matanya!

Ibu meraih daguku, lalu mengarahkan wajahku sehingga kedua mata cokelat gelap Ibu –tidak terhindarkan– tertatap olehku.

"Tuh 'kan, kamu ceburkan sepatu Rio ke dalam selokan."

"Itu gara-gara Rio terus menyombongkan sepatu barunya!"

"Dan mengatakan sepatumu usang dan butut?"

Tidak ada yang tidak bisa Ibu ketahui, bahkan bila dia tidak berada di tempat kejadian perkara. Aku mengangguk. "Aku hanya memberinya sedikit pelajaran."

"Tetap itu bukan perbuatan yang baik. Sebagai hukuman, selama seminggu ke depan kamu yang menyiram kebun, mencabuti rumput, dan menyapu sisi jalan depan rumah. Pakai tangan."

"Tapi, Bu..."

"Tidak boleh juga mencipratkan air ke si Pus."

Aku membuka mulut, lantas segera menutupnya lagi. Percuma, apapun yang kukatakan, Ibu bisa mengetahui maksudku yang sebenarnya dan aku belum ahli dalam menyembunyikan pikiran.

Aku menghabiskan sore--alih-alih mengapungkan si Pus dan boneka-boneka milik Aster ke langit-langit kamar--dengan menyiram tanaman-tanaman di kebun selama setengah jam penuh. Tanganku, jarang digunakan untuk aktivitas berat yang menyita waktu, berujung kebas. Ibu, sih, malah menyuruhku pakai cara biasa. Sisi baiknya, aku jadi punya cukup waktu untuk menyusun rencana balas dendamku kepada Aster...

...dan tidak menemukan rencana yang cukup bagus. Hampir semua sudah kulakukan: menyembunyikan sisir Aster di sela-sela balok genteng, menyelipkan kecoak mati di tempat pensilnya, memindahkan koleksi jepit dan aksesorisnya ke kotak toilet si Pus, menerbangkan pekerjaan rumahnya hingga mendarat di atas gerobak tukang bakso, mencemplungkan salah satu bonekanya ke lubang jamban, meletakkan popok bekas Arga di atas prakarya Aster.... Oke, yang terakhir memang keterlaluan, tetapi aku terpaksa melakukannya karena Aster memberitahu Ibu bahwa aku melayangkan pai dari dapur rumah Rio –tetangga sekaligus teman sekolahku– ke dalam kamar tidurku. Aku yakin Aster mengadu karena sebenarnya dia ingin mencicipi pai tersebut, tetapi tidak kuberi karena aku sedang lapar berat saat itu.

Kembali ke rencanaku, aku kehabisan ide.

Dengan kesal, aku mengayun-ayunkan selang ke rumput-rumput liar yang sudah meninggi. Cipratan air deras menghujani rumput. Seekor katak melompat keluar dari tempat persembunyiannya di sana.

Ide brilian!

***

Besoknya, Aster mengemas isi tasnya sambil bersiul. Dia masih senang terhadap ganjaran yang sukses membuat tanganku pegal-pegal kemarin. Dia masukkan buku-buku, tempat pensil, kotak bekal, dan botol minuman ke dalam tas. Aku memicingkan mata dari meja makan, berpura-pura sibuk menyendokkan nasi sarapan. Jarak di antara aku dan tas Aster berkisar enam meter, tetapi tidak menghambat efektivitas kekuatanku. Selagi kakakku membelakangi tas untuk memakai sepatu, kubuat resleting tasnya membuka sedikit, kemudian kulayangkan katak dari sakuku--dengan amat cepat--hingga masuk melalui bukaan kecil pada tas Aster.

Klexos (Cerpen+Puisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang