Cerpen - Mala

1.3K 142 22
                                    

Namaku Mala dan aku ingin mati. Bukan pura-pura mati, tetapi sungguhan. Mati yang itu, yang tidak bernapas lagi, tidak menyadari apa-apa lagi. Kuberitahu sebabnya. Setiap hari aku tidur, bermimpi, lalu terbangun dengan perasaan sangat, sangat menderita. Atau menganggap aku adalah orang yang sangat, sangat jahat. Yang manapun tidak membuatku merasa lebih baik.

Barusan aku tidur selama dua jam, dari jam sebelas sampai satu siang. Bermimpi sangat, sangat panjang seperti tidur semalaman. Begitu aku bangun, kukira sudah hari Minggu siang, padahal hari ini seharusnya Sabtu. Aku menceritakan kejadian ini kepada kakakku, yang merespon, "Sekarang hari Senin," dengan muka datar.

Dan aku hampir seratus persen mempercayainya, sebelum aku sadar dia sedang mengerjaiku.

Kembali ke permasalahan tidurku, migrain masih menjangkiti kepalaku, padahal sekarang sudah jam dua siang --satu jam sejak aku terbangun.

Asumsiku, sakit kepala ini dikarenakan mimpi tentang teman kencanku semalam. Aneh sekali. Dia orang baik, kukira begitu. Kami sudah kenal cukup lama, sekitar dua tahunan. Kadang-kadang dia memang suka mengajakku jalan-jalan berdua. Nonton di bioskop, makan siang, atau nonton konser. Kasus terbaru, dia mengajakku nonton di bioskop dan baru mengantarku pulang tengah malam kemarin. Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman terhadapnya, kehabisan topik obrolan selama perjalanan pulang. Tidur malamku tidak terganggu mimpi, cenderung lelap, akibat aku terlalu lelah memikirkan rasa tidak enakku tersebut.

Kemudian aku bangun pagi, mencuci piring, sarapan, baca buku, tidur lagi lalu mulai bermimpi kira-kira pada pukul sebelas.

Dalam mimpiku tadi, aku sedang nonton konser bersama teman kencanku itu (sebut saja dia R). Konsernya kecil: panggung mini, tidak banyak penonton, dan digelar pada siang hari di luar sebuah gedung putih membosankan. Di tengah tontonan kami, R izin pergi ke toilet. Aku ditinggal sendiri di tengah kerumunan penonton, kemudian seorang anak perempuan --berusia tidak lebih dari lima atau enam tahun-- menghampiriku.

"Di mana R?" tanyanya.

"Ke toilet," jawabku. "Ada apa?"

"Dia ayahku."

"Kamu bercanda," dengusku.

Konser tiba-tiba terhenti. Pemain gitar, bass, dan drum melepaskan tangan dari instrumen-instrumen mereka. Vokalis masih memegang mikrofon, berucap, "Ya, dia ayah anak itu," disertai anggukan dari kurang lebih lima puluh penonton.

Mata semua orang tertuju kepadaku, terutama anak kecil itu. Bila kau belum tahu, tatapan banyak orang membuatku gugup. Aku pun melepaskan diri dari kerumunan, hendak menjauhi lokasi konser, sebelum dua orang satpam menghampiriku.

"Kami harus mengecek tas Anda dulu, Mbak," ucap salah satu satpam.

Aku mengelak dalam keherananku. "Harusnya kalian memeriksanya sebelum konser?"

Namun kedua satpam segera membuka paksa tas punggungku. Mereka menggeledah isinya, mengeluarkan kotak bekal dan botol minum yang tersimpan dalam tasku. Kotak bekal tersebut berisi plastik-plastik obat berisi bubuk putih. Satpam satunya menghirup isi botol minumku. "Narkoba dan alkohol. Anda tidak seharusnya membawa ini ke sini."

Aku, yang tambah tidak mengerti dengan situasi ini, juga heran mengapa ada kotak bekal dan botol minum tidak wajar di dalam tasku, segera menarik diri dari mereka. Dan bila kau belum tahu juga, pemaksaan meningkatkan level temperamenku secara drastis.

Klexos (Cerpen+Puisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang