Setelah berhenti menjual brownies-brownies keparat itu, Lara memang sedikit melega. Dengung-dengung di telinganya mulai melemah, Dera jarang pulang, meskipun masih ada desah-desah bedebah di kala malam hampir berakhir.
Seperti pada jam tiga lewat lima belas menit ini. Ketika petugas ronde malam yang makin mengantuk telat mengetuk pentungan sebanyak tiga kali. Ketika frekuensi lolongan anjing --bukan Dera-- di luar mulai meningkat.
Andai Lara bisa mengatur waktu dia terbangun dari tidur, dia jelas tidak akan memilih pukul tiga pagi. Waktu andalan pada film-film horror untuk mencapai klimaks. Waktu yang sempurna bagi kelebat angin untuk mengetuk bingkai jendela, menelusup melalui celah kecil di sana, lalu mencekik Lara hingga sesak napas. Waktu yang paling mungkin bagi mendiang kucing hitam Lara untuk bangkit kembali dari kubur tanah sempitnya. Sayangnya, waktu yang juga bertepatan dengan memenuhnya kandung kemih.
Usai menyelesaikan urusan di toilet, Lara kembali membaringkan diri di atas ranjang, memandang kosong pada langit-langit kamar yang gelap. Mencium bau apak dari tumpukan pakaian kotor yang terbengkalai. Menghirup debu dari boneka-boneka kusam yang tak lagi diminati. Mendengar tawa lirih laba-laba di sudut jendela.
Di atas itu semua, Lara kembali merasa cengeng dan murah.
Sudah tidak ada lagi si kucing hitam yang meniduri perutnya.
Pun tidak ada dengung-dengung yang bisa mengalihkan pikirannya.
Bahkan seribu ibu peri bertongkat sihir hanya sekadar melewati dirinya. Masih abai terhadap permintaan-permintaan Lara. Mungkin Tuhan menyuruh mereka demikian. Satu dari segala kemungkinan lain yang membuat Lara semakin mempertanyakan pernyataan Tolstoy: God sees the truth, but waits. Namun sampai kapan Lara harus menunggu Tuhan yang menunggu?
Cengeng. Lara hanya ingin menangis sampai kelenjar lakrimarisnya berhenti memproduksi air mata.
Murah. Dia merasa sangat gampangan sampai-sampai dia akan meladeni semua bedebah yang mengajaknya mabuk.
Lara semakin enggan memejamkan mata, tahu bahwa bila dia tertidur lagi pada pukul tiga ini, mimpi-mimpi buruk akan menggerayanginya lagi seperti malam-malam sebelumnya. Menampilkan ketakutan-ketakutan terbesar Lara, yang kian hari kian mewujud nyata. Menghunjam tubuh Lara rapat-rapat di atas kasur, hingga dia terlonjak bangun akibat beban tak kasat mata yang menimpa dadanya.
Sampai-sampai Lara tidak bisa menentukan mana yang lebih menyeramkan: mimpi atau kenyataan?
Bulir air membasahi pipi Lara. Sisanya masih menggenang di permukaan bola mata.
Dari luar terdengar pentungan berbunyi empat kali. Pukul tiga telah terlewati. Dalam benaknya, Lara semakin yakin, hari ini dia harus memungut kucing baru lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klexos (Cerpen+Puisi)
Historia CortaEndearing cover by: @kiranada Antologi puisi pertama. Klexos: the art of dwelling on the past (The Dictionary of Obscure Sorrows). Kumpulan puisi, cerpen (>1.000 kata), dan fiksi mini (<1.000 kata). Identik dengan nama-nama bunga dan kucing (y). Buk...