Malam harinya, Egar berangkat menuju tempat tinggal Ligar di Pekanbaru. Beruntung karena bisa mendapatkan last minute flight deals beberapa menit menjelang waktu boarding.
Selama dua jam penerbangan, Egar terus-menerus memikirkan perkataan sang ayah. Tidak bisa memercayai jika dirinya kini telah mengkhitbah wanita lain.
Lalu bagaimana dengan Diayu? Bagaimana perasaannya jika tahu laki-laki yang telah menghamilinya dan berjanji akan menikahinya nyatanya malah mengkitbah wanita lain?
Apa tidak akan membuatnya sakit hati dan mungkin bisa berpengaruh pada kehamilannya?
Mengingat kembali nasib anak yang berada dalam rahim Diayu membuat Egar kembali gusar. Ia menyalakan LCD TV layar sentuh di depannya. Menghibur diri sebentar dengan menonton film yang disediakan di sana. Hingga tepat pukul sepuluh malam, pesawat yang ditumpangi olehnya mendarat dengan sempurna di Bandara Sultan Syarif Kasim setelah menempuh hampir dua jam perjalanan.
Laki-laki itu langsung menemukan keberadaan Ligar yang menjemputnya di depan pintu kedatangan. Saling berpelukan ala pria sebelum mengikuti langkah sang kakak ke arah tempat parkir dan langsung membawanya pulang.
Sejak dari jaman sekolah, Ligar memang selalu bisa membanggakan orang tua. Sifat bijaksana dan tanggung jawab yang diwariskan Fattah kepadanya, selalu dapat membuat orang tuanya bangga. Sedang Egar, hal besar apa yang pernah ia lakukan untuk membuat orang tuanya bangga? Tidak ada. Yang ada justru malah sebaliknya. Membuat aib yang akan mencoreng nama baik keluarga.
"Gila! Jadi inget film Good Night and Good Luck liat lingkungan tempat tinggal lo kayak gini. Milan nggak bakalan stress nih, nggak bisa nemu mall sekelas Plaza Indonesia di sini?" seru Egar ketika memperhatikan keadaan lingkungan tempat tinggal Ligar yang masih sangat asri dengan kesan perumahan Amerika tempo dulu.
Ligar tertawa sebelum menjawab, "Jalan-jalan aja dulu, baru komentar. Milan juga gitu, seminggu pertama ngomel terus, tapi sekarang udah kerasan aja tinggal di sini."
Akhirnya, mobil yang dikendarai Ligar berhenti di depan sebuah rumah minimalis dengan pekarangan kecil di depannya. Milan membukakan pintu dan menyambut kedatangan mereka.
"Loh, kok belum tidur?" tanya Ligar,memasuki rumah lalu mencium pelipis sang istri dengan lembut. Hal yang selalu ia lakukan ketika pertama kali memasuki rumahnya.
"Mima kebangun tadi. Biasa, jadwalnya minta mimi."
"Sekarang udah tidur lagi?"
Milan mengangguk. "Udah, tadi baru tidur lagi." Kemudian matanya menoleh ke arah belakang Ligar dan mengamati Egar yang sedang mengeluarkan tas ransel miliknya sebelum berjalan menghampiri mereka.
"Jauh ya, Gar, rumahnya?" tanya Milan saat Egar menghampirinya.
"Nggak juga. Udah biasa jalan lebih jauh dari ini."
"Umi sama Babah sehat, Gar?"
"Sehat, alhamdulillah. Pengin cepet-cepet lebaran katanya biar bisa ketemu cucu."
Milan terkekeh pelan. "Ya udah, kamu istrirahat dulu. Pasti capek habis terbang jauh dari Jakarta. Aku bikinin kopi, ya?" Milan bergegas menuju dapur setelah mendapat anggukan kepala dari Egar, meninggalkan kedua kakak beradik itu yang sama-sama duduk di ruang tamu.
"Bikin masalah apa lagi lo sampai jauh-jauh nyamperin gue ke sini?"
Dari dapur, Milan dapat mendengar jelas suara tegas Ligar saat bicara.
"Tau aja lo gue lagi ada masalah?" timpal Egar.
"Lagu lama! Dari dulu lo emang selalu nyari gue tiap habis bikin masalah, iya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow
Kurzgeschichten"Kamu ingat, dulu aku pernah bilang sama kamu, aku nggak akan pergi walau seburuk apa pun keadaannya nanti. Aku tetep di sini, nggak akan pernah tinggalin kamu" -Egar Arkana Karena satu hal mudharat, membawa mereka menuju sekarat. Karena ketika seka...