6. You Don't Feel Me Here

6.5K 884 75
                                    

Siang hari itu, Diayu berdiri di balkon apartemen dengan secangkir kopi panas di tangannya. Menatap kehidupan Kota Jakarta dari lantai delapan gedung apartemen yang terletak di pusat kota Jakarta. Hari yang ramai. Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Satu batang rokok ia isap sebagai teman di kala sepi. Tidak semudah itu baginya untuk menjauhi rokok maupun kopi walau sudah diperingati Egar sebelumnya. Bicara soal Egar, ada kelegaan yang sukar untuk dijelaskan saat dirinya kembali mengingat janji Egar untuk segera menikahinya.

Menikah?

Perempuan itu tertawa sendiri mengingat satu kata itu. Dulu, tidak pernah sekalipun Diayu memikirkan akan menikah muda seperti ini. Apalagi dengan Egar, seseorang yang ia pikir tidak akan pernah bisa tergapai karena begitu banyaknya perbedaan di antara mereka.

Tapi itulah hidup. Dulu, Diayu paling benci dengan kehidupan yang terlalu banyak drama picisan di dalamnya. Dirinya selalu menatap jengah ketika Ligar dan Milan saling menunjukkan perasaan cinta masing-masing.

Life is a beautiful lie, love is beautiful pain, begitulah mindset yang tertanam dalam pikirannya. Cinta itu konyol menurutnya. Membuat bodoh orang yang pintar sekalipun.

Tapi itu dulu. Dan kini, Diayu seolah menjilat ludahnya sendiri. Kini ia percaya jika dirinya bisa dengan begitu mudah jatuh cinta pada orang yang sama sekali tak sama dengannya. Ia pun percaya, bahwa dua hal berbeda bisa disatukan untuk satu makna yang lebih dalam, karena satu alasan, yaitu cinta.

Di saat dirinya baru saja menyalakan rokok kedua, terdengar nada panggil dari telepon genggam miliknya. Ada nama Egar terpampang di layar ponsel.

"Halo!" sapanya, tak bisa menyembunyikan nada riang dari suaranya.

"Assalamualaikum, Di."

"Waalaikumsalam."

"Lagi di mana?"

"Di apartemen. Kamu masih di rumahnya Ligar?"

"Masih. Rencananya, weekend baru pulang ke Jakarta bareng Ligar. How was your day? Did anything surprise you?"

Perempuan itu tertawa sesaat sebelum menjawab, "Was good. Bayi kamu anteng sih, nggak banyak nyusahin. Jadi, masih enak buat diajak kerja."

"Syukurlah," balas Egar. "Kamu udah terima kiriman dari aku?"

"Kiriman apa?"

"Tadi aku kirim paket untuk kamu. Mungkin sekarang udah sampai. Nanti coba kamu cek di resepsionis,ya."

"Okay, nanti aku coba cek di resepsionis. But anyway... tadi malam Milan telpon aku."

"Oh, ya? Ngobrol apa aja?"

"Dia cerita kalau kamu dipukulin Ligar waktu cerita soal kehamilan aku."

Terdengar kekehan ringan Egar di ujung telepon sana, "Nggak dipukulin juga, sih. Cuma sekali pukul aja. Dan aku pikir itu wajar untuk anak cowok."

"Tapi kamu nggak apa-apa, kan?"

"Aku baik-baik aja, kamu nggak usah khawatirin aku. Ya udah, nanti aku telpon lagi, ya. Kalian baik-baik di sana."

"Okay."

"Di...."

"Hm?"

"Titip cium untuk anak kita."

Jantung Diayu berdegub mendengar itu. Satu kalimat sederhana yang diucapkan dengan begitu tulus. "Okay."

Setelah panggilan terputus, Diayu menghubungi resepsionis lewat intercom untuk menanyakan paket kiriman dari Egar. Satu buah dus karton dengan ukuran cukup besar ia terima saat security mengantarkan langsung ke unitnya. Dan begitu dibuka, dentaman jantung tak mengizinkan kedua matanya untuk tetap tenang.

TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang