L.I.F.E (25)

41.4K 1.7K 217
                                    

Kicauan burung pipit beradu di pagi yang cerah ini. Sepasang pengantin baru yang masih merasakan sisa kebahagiaan dari resepsi dua hari lalu masih saja tak bisa saling berjauhan. Sudah seperti magnet saja. Prilly dan Ali menuruni tangga menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Ebie yang sedang menyiapkan sarapan.

"Selamat pagi, Mbak Bie?" sapa Ali.

Ebie menoleh melihat Ali merangkul pinggang Prilly mesra, sedang menghampirinya.

"Selamat pagi, Mas Prince, Nona Pepaya. Cieeeee, pengantin baru biasa, ya, jam segini baru bangun. Berasa seperti amplop sama perangko. Jadi iri." Ebie berkata centil dan mengedip-ngedipkan mata ke arah Ali dan Prilly.

"Makanya, bilang sama Angga biar segera melamar Mbak Bie ke sini. Pasti saya nikahkan segera kalian," ujar Ali menarikan kursi agar Prilly duduk terlebih dulu. Ali duduk di kursi sebelah Prilly.

"Doakan saja, Mas Prince, semoga cepat terlaksana. Tapi, Ebie sama Angga masih mau nabung dulu, biar nanti pesta pernikahannya bisa seperti Mas Prince." Ebie terkekeh dengan khayalannya itu.

Mana mungkin dia bisa menyelenggarakan pesta semewah itu, yang ada dia hanya bisa mengundang keluarga dan teman-teman dekatnya. Namun, jika memang itu dapat terwujud, Ebie pasti tidak akan melupakan hal istimewa itu.

"Mbak Bie mau pernikahannya nanti dirayakan? Mengundang teman-teman dan ngumpulin saudara dari desa?" tanya Prilly sambil mengambilkan nasi goreng untuk Ali.

"Iya mau dong, Non, tapi biaya pesta sekarang mahal. Daripada buat pesta, lebih baik buat beli rumah, Non. Kalau dipikir-pikir lagi, biaya pesta zaman sekarang sebanding dengan harga rumah," jelas Ebie membuat Ali bangga dengan cara berpikirnya yang maju.

Walau tingkah dan sikapnya konyol, Ebie ini wanita yang memiliki pemikiran yang dewasa dan mandiri.

"Kalau begitu mulai sekarang Mbak Bie nabung dulu, ya? Insyaallah kalau saya sama Ali ada rezeki lebih, akan bantu Mbak Bie buat pestanya." Prilly berkata tulus diangguki Ali.

"Yang benar, Non?" tanya Ebie dengan mata berbinar.

"Iya, Mbak Bie. Mana pernah saya bohong sama Mbak Bie," jawab Prilly meyakinkan Ebie.

"Aaaaaa, terima kasih, Nona Pepayanya Ebie. I lope yu, Non." Ebie memeluk Prilly bahagia dan menciumi pipinya.

"Iya, Mbak Bie," balas Prilly memeluk Ebie.

Ali yang melihat itu hanya tersenyum manis. Ternyata Nyonya Ghailan Ali Khadafi memiliki hati seperti malaikat, secantik wajahnya.

"Wah, wah, wah, ada acara apa nih kok peluk-pelukan segala?" tegur Selvi baru saja datang ke ruang makan.

Ebie melepas pelukannya dari Prilly. Lalu menghampiri Selvi yang terlihat susah payah berjalan karena perutnya semakin besar. Ebie menuntun Selvi agar duduk di depan Prilly.

"Ini, Sweety, Mbak Bie nanti kalau menikah pengen diadakan pesta. Dia mau gundang teman-teman dan keluarganya dari desa," jelas Ali.

"Oh, begitu, ya, Prince? Terus kapan Angga mau melamar?" Selvi menaik-turunkan kedua alisnya ke arah Ebie.

"Ah, Non Selvi jangan begitu. Aku kan jadi malu." Ebie bergeliat menyembunyikan wajah meronanya.

Semua terkekeh melihat wajah Ebie yang sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Selamat pagi," sapa suara pria tegas datang ke ruang makan.

Tawa itu terhenti, semua menoleh padanya.

"Pagi." Semua menjawab sapaan Dahegar.

"Enggak kerja lo?" tanya Ali saat Dahegar menghampiri Selvi dan mencium keningnya.

L.I.F.E (LIFE IN FLIGHT ENTERNAL) KOMPLITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang