Aku bangkit dari rebahan lalu memutar tubuhku untuk menghadap padanya. Dia menunduk, aku rasa dia menahan tangisnya. Aku mengangkat dagunya agar dia menatapku, dia tetap menunduk.
"Kenapa? Apa kamu mau kita berkomitmen yang lebih serius? Aku akan datang ke rumahmu untuk melamar."
Dia menggeleng cepat lalu menatapku dengan air mata yang sudah membasahi pipinya. Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba berubah seperi ini? Sejak aku dekat dengannya, dia tidak pernah menuntut lebih untuk hubungan kami. Aku justru yang selalu mendesaknya agar hubungan ini diperjelas, tidak seperti sekarang yang masih menggantung.
"Aku akan bertunangan dengan kekasihku," katanya membuatku seketika merasa sedih, lemas, ingin marah, pokoknya campur aduk.
"Jangan bercanda, Sayang, aku kekasihmu. Jika kamu ingin kita segera bertunangan, baiklah, aku akan segera melamarmu," sangkalku yang tidak bisa menerima jika itu memang kejujuran darinya.
"Tidak, Ali, selama ini aku sudah memiliki kekasih dan sebentar lagi aku akan tunangan sama dia," timpal Prilly yang sepertinya serius.
"Lelucon apa yang sedang kamu karang sih, Sayang, jangan bercanda," elakku dengan rasa yang sangat sakit di dalam hati.
"Aku tidak sedang bercanda, Ali." Dia mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. "Ini undangan untuk kamu. Aku harap kamu bisa menghadiri pertunangaku."
Dia memberiku undangan pertunangannya dengan pria lain. Tubuhku terasa lunglai, ingin rasanya aku teriak dan menyeretnya ke KUA malam ini juga, agar dia tidak dimiliki orang lain. Apa ini karma yang Tuhan beri untukku? Apa ini yang namanya sakit hati? Sangat sakit sekali rasanya.
"Maafkan aku, Ali," ucapnya meraba wajahku dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya.
Aku menyingkirkan tanganya dari wajahku, berusaha tegar dan kuat di hadapanya. Aku tidak ingin terlihat lemah karenanya. Aku tersenyum paksa dan mengelus rambutnya pelan.
"Pergilah dari hidupku. Terima kasih sudah mengajariku cinta dan luka. Jaga dirimu baik-baik, semoga pilihanmu tepat dan bisa memberikan kebahagian yang kamu inginkan."
Prilly terkejut dengan ucapanku tadi. Dia pikir aku akan memohon agar dia tetap tinggal. Tidak, Prilly! Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak akan rapuh karena cinta. Aku bukan lelaki seperti itu. Memang ini sangat sakit. Kamu sudah melukai dan mengecewakanku. Rasanya ingin sekali aku marah padanya, tapi entah mengapa aku tidak bisa marah apalagi melihatnya menangis seperti itu. Aku berdiri berniat pergi meninggalkannya, saat aku membalikan badan, aku merasakan Prilly memelukku erat dari belakang.
"Aku juga mencintaimu, Ali," ucapnya terisak di punggungku.
Aku tersenyum getir mendengar pengakuanya. Aku mengelus tanganya yang melingkar di perutku. Aku lepas perlahan dan memutar tubuhku menghadapnya. Dia menangis sesenggukan, sepertinya dia juga terluka sama sepertiku. Aku menghapus air matanya, lalu memegang kedua bahunya yang terguncang karena menangis.
Entah dari mana datangnya air, tapi aku merasakan air jatuh dari langit. Aku mengarahkan wajahnya agar menatapku. Air yang datang tiba-tiba itu semakin banyak membasahi tubuhku dan Prilly.
"Pulanglah, ini sudah malam dan hujan semakin deras. Kita balikan badan bersama. Jangan ada yang menoleh setelah melangkah pergi. Jangan kembali. Paham?"
"Kenapa?" Prilly menatapku bingung.
"Karena aku tidak ingin mengulang luka seperti saat ini. Kamu sudah mengambil keputusan untuk memilih dia dan meninggalkan aku. Jadi, pergilah dengannya dan jangan menoleh padaku lagi. Jika sampai kamu menoleh dan kembali, jangan harap aku akan melepaskanmu," ucapku serius padanya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
L.I.F.E (LIFE IN FLIGHT ENTERNAL) KOMPLIT
RastgeleCinta bisa berawal dan berakhir di mana saja, bahkan dia bisa tumbuh di atas burung besi yang terbang ribuan kaki di atas permukaan laut. Profesi pilot dan pramugari yang bekerja di atas pesawat sangat rentan dengan kisah asmara singkat. Kisah perci...