Kring... Kring...
Sebuah sepeda melaju kencang. Terlihat tergesa-gesa dengan membelokkan stang ke kanan dan ke kiri mengikuti jalan setapak yang tak memiliki ujung. Tepat di bawah gunung terdapat sebuah pasar yang dipadati oleh orang-orang lalu lalang. Namun sayang sekali sepeda itu tidak memiliki rem yang berfungsi dengan baik.
Kring... Kring...
Tak ada pasang mata yang tak menatap sepeda berwarna biru safir itu. Kepanikan semakin merajalela diikuti orang-orang yang berlarian menghindari sepeda tersebut. Surai rambut merah muda menari-nari di angkasa seiring semakin lajunya sepeda berwarna biru safir itu membelah dua pasar.
BRAKK
Sepeda itu pun menabrak pohon dengan indahnya.
"Hati-hati kalau berkendara!" teriak salah satu pembeli. Gadis itu bangkit dan menenteng sepedanya menuju salah satu stand yang menjual peralatan memasak, tidak menghiraukan teriakan para pembeli yang kesal akan kelakuannya hari ini.
"Hah, kau lagi, Rufina. Besyukur kau tadi menitipkan belanjaanmu padaku," ujar seorang pria bertubuh kekar seraya tersenyum maklum. "Aku sudah mengamankan panci terakhir dari pembeli, tenang saja."
"Terima kasih, Paman Harold," sahut gadis itu berusaha menetralkan nafasnya. Ia merogoh kantung celananya lalu memberikan beberapa lembar uang kepada Harold. Pria berkepala licin itu mengacak rambut Rufina gemas lalu memberikan dua buah kantong plastik pada Rufina. "Kau memang penyelamat hidupku."
"Dah~ Paman~". Rufina melambaikan tangannya seraya tersenyum cerah. Ia mulai mendorong sepedanya riang, namun
BRAAKK
Kali ini ia benar-benar menabrak pembeli yang lalu lalang.
Gadis itu kembali mengayuh sepeda miliknya. Matanya kini memancarkan kemenangan diikuti senyum jahil yang terukir khusus untuk pembeli di pasar induk. Orang-orang yang menyuarakan sumpah serapah kepadanya itu semakin lama semakin jauh. Rambut merah muda miliknya kini kembalu melambai-lambai di udara.
Gadis itu bernama Cherry Rufina.
Mata merah muda miliknya seketika berbinar. Ia segera turun dari sepedanya dan melangkah menuju garasi. Tupai-tupai yang bersembunyi pun turut keluar dan membungkuk diikuti binatang lainnya yang menghormat tunduk. Gadis itu melempar senyum manisnya sejenak sebelum memasuki bangunan putih bertuliskan "Pusat Kesehatan". Seorang pria berjas putih tengah menunggunya di dalam.
"Aku Pulang~".
"Oh, Selamat datang," sambut pria tersebut lantas melepas jas putih miliknya. Ia merentangkan kedua tangannya yang langsung dihadiahi pelukan dari Rufina. Mata elang miliknya lambat laun menghangat seraya mengelus puncak kepala Rufina lembut. "Aku pulang, Rufina."
"Bagaimana pekerjaan Kakak? Apa semua lancar?" tanya Rufina seraya bergelayut manja di pelukan pria yang ia panggil Kakak. Pria itu melepaskan pelukan Rufina lalu melangkah menuju dapur. Tak luput tangannya menyambar belanjaan yang dibawa Rufina. "Aku membeli panci dan beberapa bahan makanan untuk bulan ini."
"Sepedaku baik-baik saja, kan?" Seketika Rufina menghentikan langkahnya. Pria yang kini memakai apron putih itu menyilangkan tangannya. Di tangan kirinya terdapat kotak P3K sementara di tangan kanannya terdapat cermin kecil yang menampilkan wajah Rufina. "Dahimu berdarah, Rufina. Kamu pasti dikeroyok lagi oleh penduduk, ya, kan?"
Chaesar Alben mendatangi Rufina yang terduduk di lantai. Pria setinggi enam kaki itu mulai membersihkan luka di dahi adiknya. Mata Rufina tefokus pada paras tampan kakaknya. Rambut putihnya mulai memanjang sementara dagunya dipenuhi rambut-rambut halus. Mata emerald milik Chaesar terlihat sayu diikuti kantung mata yang menggantung di bawah matanya. Tangan Rufina terulur membelai wajah kakaknya. Ada rasa bersalah mengusik hatinya melihat Chaesar terlihat berantakan setelah lama meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucian : Story of The Hidden Kingdom
FantasyBiarkan aku bercerita kepadamu. Sebuah buku usang mengatakan, dulu terbentang sebuah negeri yang diselimuti kebahagiaan dan berkah dari-Nya. Di mana tanaman tumbuh menjulang tinggi dan di dalamnya dipenuhi kehidupan yang damai nan tentram. Hewan ber...