Chapter 3 :yang Bergerak di Kala Malam

25 5 0
                                    


Sebelumnya saya mohon maaf atas typo yang bertebaran dan ketidakjelasan alur. Selamat membaca.

Aku akan menuntunmu kasih.

Aku akan menciptakan 'dirinya' di dalam dirimu.

Kunang-kunang sedang berdansa malam ini. Sayap kecilnya menari-nari di bawah sinar bulan, pun kaki-kaki jangkrik menjadi musik pengiring tarian. Hewan-hewan tertidur dalam cahayanya, begitu pun angin tak berani mengusir mereka pergi dari pemukiman.

Namun pemuda berambut kuning itu mengganggu pesta dansa mereka. Ia meluncur dari kuil menuju desa, menyebabkan kunang-kunang itu tersapu angin yang pemuda itu ciptakan.

Maaf kunang-kunang, pemuda itu ingin kalian libur hari ini.

Kaki telanjangnya turun menyetapaki tanah.Tubuhnya yang bersinar kini meredup, menunjukkan sesosok pemuda berpakaian lusuh. Kaki-kaki kusamnya membawanya menuju tempat peristirahatan gadis-gadis persembahan. Pemuda itu tersenyum, sinar bulan kembali menyinari tubuhnya.

Pendeta muda itu bangun dari lelapnya. Seorang kakek tua berada di hadapannya. Kakek itu terlihat lusuh, pakaian yang ia kenakan sangat kumal pun tubuhnya yang kusam dipenuhi penyakit kulit. Pendeta muda itu menyirit namun berusaha ramah kepada si Kakek. "Ada yang bisa saya bantu, Kek?"

"Saya ingin bertemu gadis-gadis itu," jawab Kakek itu. Suaranya terdengar bergetar. "Gadis-gadis persembahan itu, saya ingin tahu rupa mereka, Nak Pendeta."

"Maaf, Kakek, namun sesuai peraturan, gadis-gadis itu tidak diperkenankan siapa pun hingga dua minggu kedepan," jelas Pendeta itu ramah. Di wajahnya tersirat rasa geli mendengar permintaan si Kakek. Matanya kembali memperhatikan postur tubuh si Kakek, rambut kuning keemasan itu bukan berasal dari Amaris. "Apakah Kakek seorang pengembara?Mari saya antarkan menuju penginapan, Kek."

"Saya ingin bertemu gadis-gadis itu, Nak. Biarkan saya menemuinya, sebentar saja," pinta si Kakek seraya memohon. Kedua kakinya bersimpuh di hadapan Pendeta Muda itu, lantas saja membuat Pendeta muda itu kewalahan. "Saya belum pernah sekali pun melihat mereka, Nak Pendeta. Saya telah menantikan ini sejak lama."

"Dengan berat hati saya tidak bisa mempertemukan mereka dengan Anda, Kek," tolak Pendeta muda itu sekali lagi. Ada perasaan tidak tega menyelimuti hatinya begitu melihat ekspresi si Kakek yang memperlihatkan kekecewaan mendalam. Kakek itu akhirnya kembali berdiri, namun raut wajahnya terlihat muram. Kakek itu memberikan kantong kecil kepada pendeta itu dan menyuruhnya untuk membukanya. "Sebuah anting?"

"Tolong berikan itu kepada siapapun yang tidak terpilih nanti, Nak Pendeta. Benda itu akan membantu kalian suatu saat nanti," jelas Kakek tua itu lalu melangkah mundur. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nak Pendeta. Saya harap berita baik selalu menyertaimu. Saya pergi dulu, sampai jumpa."

Langkah kaki kembali membawanya menuju halaman belakang rumah persinggahan. Salah satu jendela terlihat terang di lantai dua, sesosok perempuan bersurai merah muda sedang belajar. Kakek tua itu melempari jendela tersebut dengan kerikil kecil, dan berhasil membuat gadis itu melirik ke arahnya. Tanpa menunggu waktu, gadis muda itu melompat turun dengan makanan dan obat-obatan di tas kecilnya.

"Anda baik-baik saja, Kek? Astaga, penyakit ini harus diobati," ujar gadis itu lalu mengeluarkan persediaan obat-obatan yang ia bawa. Tangannya mulai meracik ramuan untuk Kakek tua itu, pun sesekali melirik ke arah si Kakek yang terlihat muram. "Apa ada sesuatu yang membuatmu sedih, Kek?"

"Pendeta itu tidak mempercayaiku," keluh si Kakek. Matanya menatap kedua kakinya yang mulai diolesi ramuan obat bertekstur salep itu. Si Kakek mulai memakan roti yang di berikan gadis itu. Ia melahapnya hingga kandas. Gadis itu tersenyum, sangat manis. "Ia mengira saya pengembara. Percayalah, saya penduduk Amaris."

The Lucian : Story of The Hidden KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang