Apa yang kamu nanti, wahai fajar?
"Sang senja yang terlelap."
****
Pagi memanggil Rosa untuk bangun dari tidurnya.
Sebelum sinar mentari bersinar membangunkan dunia, ia telah lebih dulu menuruni bukit. Tangannya mengangkut tembikar kosong, begitu pun keranjang di punggungnya yang telah dipenuhi tanaman untuk ia dan Rufina makan. Manik mata merah muda itu tampak bersinar menembus gelap. Memudahkannya menapak bebatuan curam di hadapannya, tidak juga membuatnya terpeleset maupun tergores.
Air sungai pagi itu terlihat lebih pasang dari biasa. Ia mengangkut lebih dulu air untuk minum. Dua tembikar yang ia bawa telah terisi penuh, pertanda jika gilirannya untuk membersihkan diri. Rosa melangkah beberapa meter lebih jauh ,ia menemukan sepasang bebatuan besar yang berguna untuk menutupi dirinya. Kini ia tinggal menanggalkan pakaiannya dan berendam di dalam sungai.
Dinginnya air seperti tak berpengaruh untuk Rosa. Ia menikmati mandinya sambil menyelam mencari ikan. Pria berambut hitam terlihat memperhatikannya di balik semak-semak. Seringaian tampak jelas di wajahnya.
Ia telah menantikannya sejak lama.
Malam rupanya berada dalam masa terakhirnya.Terlihat dari guratan merah keunguan yang tampak dalam pandangan Rosa, gadis itu mulai menepi ke pinggiran sungai. Tubuh telanjangnya telah ia balut dengan handuk putih, rambut merah mudanya dibiarkan tergerai menutupi punggung. Ikan hasil tangkapan yang ia balut dengan daun pisang telah masuk ke dalam keranjang. Tembikar berisi air itu telah menantinya di hilir sungai.
Gadis itu mengatur nafasnya. Ia melangkah perlahan.
"Mungkin hanya perasaanku saja."
Aroma dupa menyapa indera penciumannya. Rosa kalut, ia segera berpakaian dan berlari meninggalkan sungai. Secepat apa pun ia berlari, secepat itu juga sosok tersebut mengejarnya dengan seringaian yang terukir di wajahnya.
"Kamu tak bisa lari dari takdirmu, wahai dewiku."
"AAA~KH!"
Kedua insan itu saling bertatapan. Manik mata merah muda itu membesar sesaat, namun secepat itu gerak-geriknya di ikuti hewan kecil di hadapannya. Ia memberanikan diri menyentuh kepala hewan itu dengan jemarinya. Alangkah terkejutnya ia ketika hewan kecil itu justru bersujud padanya. Senyum terukir di bibirnya.
"Kamu manis sekali." "Kamu manis sekali."
Hewan kecil itu terlihat nyaman berada di tangan Rufina.
Gadis itu tersenyum, tangannya terfokus pada pipi tembam si tupai. Teman barunya itu menarik perhatiannya begitu lama, hingga ia tersadar begitu suara ayam berkokok terdengar. Rufina terkejut.
"Kita harus kembali, Rosa pasti mengkhawatirkanku," gumam Rufina. Ia memapah keranjang obatnya sebelum digendongnya ke punggung. Rufina menurunkan tupai itu ke tanah. Ia hendak melangkah, namun tupai itu justru melingkar di kakinya. "Kamu ingin ikut bersamaku?"
Tupai itu segera duduk di pundak Rufina sebelum mendapat persetujuan.
****
"Rosa?"
Matahari mengintip di balik pepohonan. Di antara kabut pagi, surai merah muda itu terlihat mencolok. Surai sepinggang yang bergerak mengikuti tubuh pemiliknya, kaki-kaki telanjang yang menyusuri perbukitan Lucian.
Hewan nokturnal itu terlihat betah duduk di pundaknya. Mulutnya yang mengemut surai rambutnya, terlihat tenang sekali seperti dirinya yang tengah mengitari tanah Lucian. Keranjang di punggungnya terlihat sedikit luang. Hanya terdapat tanaman berbentuk unik dan dedaunan yang ia dapatkan selama di perbukitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucian : Story of The Hidden Kingdom
FantasyBiarkan aku bercerita kepadamu. Sebuah buku usang mengatakan, dulu terbentang sebuah negeri yang diselimuti kebahagiaan dan berkah dari-Nya. Di mana tanaman tumbuh menjulang tinggi dan di dalamnya dipenuhi kehidupan yang damai nan tentram. Hewan ber...