Chapter 6 : Masa Tenang

14 1 0
                                    

'Akan datang hari di mana dualah yang terpilih. Sang fajar dan Sang senja. Malam akan terbangun dan Negeri akan menangis. Yang terkasih akan pergi, yang pergi akan kembali. Yang baik akan berkhianat, yang dibenci akan dipercaya. Percayalah, hanya ia lah yang membawa perdamaian.'

*****

"Rosa!"

Gadis itu tersungkur. Jejak kaki darah itu terhenti tepat di langkah yang membuatnya tersungkur. Ia mencoba bangkit, namun kakinya terlalu lemas untuk digerakkan. Tubuhnya gemetar hebat. Aroma dupa kematian semakin menyengat. Suara jejak kaki itu semakin dekat padanya.

Jejak kaki hitam legam itu menghapus jejak darah di tanah yang ia lewati. Jubah hitam miliknya terbuka seiring aroma darah yang semakin dekat dengannya. Sesekali salivanya menetes membayangkan nikmatnya buruannya. Sosok yang ia cari selama ini. Sosok yang akan membuatnya kekal di dunia ini.

Apa yang harus ia lakukan, Tuhan?

Tidakkah engkau mengingatnya?

Dengan tenaga yang ia punya, gadis itu bersimpuh dalam ketakutannya. Manik mata merah muda itu telah tertutup, dan kedua tangannya ia tautkan, memanjatkan doa-doa keselamatan yang mungkin dapat menyelamatkan nyawanya. Setidaknya, apa yang tidak mungkin dalam pikirannya dapat segera hilang karena kepercayaannya pada Sang Pemilik Nyawa, Sang Pemilik Alam.

Juga menitipkan pesan pada-Nya untuk menjaga kakaknya dan orang yang ia kasihi untuk diberi keselamatan dan kesehatan.

Tidakkah engkau mengingatnya?

Dalam Sang Pemilik Nyawa pun mengabulkan doanya.

Pria berambut kuning itu menjawabnya dengan senyuman simpul. Tangannya membelai rambut Rufina yang tergerai. "Ruu, waktuku tidak banyak. Besok, temui aku di dalam hutan Lucian, namun jangan beritahu ini kepada siapa pun, meskipun itu Fredella dan Rosalia. Ketika kamu merasakan hawa panas mendekat, bawa ini dan sematkan di telingamu."

Haidar memberikan sebuah anting kepada Rufina. Tangannya membelai wajah Rufina. Darahnya berdesir namun ia berusaha tetap tenang. "Ruu, Kakakmu baik-baik saja, Theodore juga. Kamu boleh bangun sekarang."

"Aku tidak tahu apakah ini berhasil atau tidak," ujar Rufina meragu. Ia sematkan sebuah anting pemberian "Pria Pemakan Buah Nenek Fredella" pada telinga kirinya. "Semoga anting ini membawa kabar baik untukku, Pria Pemakan Buah Nenek Fredella."

Dari kejauhan, pria berambut kuning itu mengikik mendengar harapan Rufina. Ia menggerutu kecil. "Sudah kubilang namaku bukan Pria Pemakan Buah Nenek Fredella."

Hawa dingin berembus lembut pada Rufina. Begitu lembut, hingga menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang yang ada di belakangnya. Tubuhnya berguling-guling di atas tanah, menabrakkan diri pada akar dan duri yang ada di tanah hingga membuat jalan yang ia lewati dipenuhi darah yang muncul dari puluhan luka yang tergores di tubuhnya. Rufina tidak lagi mampu mempertahankan tubuhnya untuk tetap sadar. Pada akhirnya ia menangis, mengeluarkan doa terakhir sebelum ia tidak sadarkan diri.

Sedang kupu-kupu lainnya pun berhasil melarikan diri dari jeratan laba-laba.

*****

Matahari belumlah menampakkan sinarnya, namun kegaduhan terjadi di kandang kuda milik keluarga Alben. Theodore, satu-satunya hewan peliharaan keluarga Alben, terlihat gelisah di dalam kandangnya. Beberapa kali Theodore mengetuk-ngetuk jendela rumah menggunakan kepalanya, sesekali menarik-narik pintu menggunakan giginya lalu kembali mengetuk-ngetuk jendela rumah.

Si pemilik rumah bangun dengan gerutunya. Matanya melirik ke arah luar, masih terlalu dini untuk waktu jalan-jalan Theodore. Ia membuka pintu jendelanya, dan nampaklah Theodore yang tengah gelisah. Ia pun membelai kuda kesayangan adiknya. "Apa yang membuatmu ribut sesubuh ini, Theo? Apakah Rufina selalu mengajakmu bepergian sesubuh ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Lucian : Story of The Hidden KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang