Sebelumnya saya mohon maaf atas typo yang bertebaran dan ketidakjelasan alur. Selamat membaca.
Kemarilah, maka Ia akan mengajakmu berpetualang.
Menuju negeri yang menghilang.
Negeri Lucian.
Alkisah, dahulu terdapat sebuah negeri yang dikenal akan kekayaan alamnya yang melimpah bak surgawi milik-Nya. Negeri itu terletak jauh di antara benua maupun samudera. Negeri itu jauh lebih subur dan lebih makmur dibanding Amaris, di mana pepohonan menyerahkan berkah dari-Nya kepada Lucian dan hewan-hewan mengabdikan hidupnya untuk melindungi Lucian. Orang-orang berilmu belajar dan orang-orang berjubah biru menjaga. Tak ada kegelapan yang menyentuh cahaya dari Lucian.
Ia disebut Tanah Kebebasan.
Begitulah yang dijanjikan sang Raja kepada-Nya. Negeri itu dipimpin oleh seorang Raja yang terkenal akan kebijaksanaannya. Tak ada janji yang ia langgar, begitu kata semua orang yang menghormatinya. Begitu bijaksananya Sang Raja terhadap Lucian, negeri itu selalu diliputi kebahagiaan dan kedamaian para penduduknya. Baik hewan, tumbuhan, maupun manusia, tidak ada pertumpahan darah di antara mereka.
Hingga pergantian tahta mengguncang cahaya yang dipancarkan Lucian.
Angin barat menghembuskan luka di tengahnya gulita. Lucian yang bercahaya berada di ambang kehancuran. Tanah bergerak menyelamatkan diri. Pepohonan menangis sambil bermunajat kepada-Nya. Hewan-hewan mati mengenaskan diikuti pertumpahan darah yang mengotori cahaya Lucian.
Tanah kebebasan kini tak lagi menjanjikan kedamaian.
Sang Raja melanggar janjinya kepada-Nya dan Lucian. Membuat Ia murka, membuat Lucian meredup. Peri-peri hutan meronta. Tanah telah menjerit menagih janji Sang Raja. Anak-anak menangis di bawah kaki Dewi Selene memohon keselamatan Lucian. Hingga keajaiban terjadi.
Seorang gadis menepati janji Sang Raja.
Meninggalkan Dewi Selene sebuah buku usang beserta seorang anak yang tertidur di kaki sang dewi.
Pendeta tua itu terdiam menatap dua gadis yang berada di hadapannya. Beratus-ratus tahun ia hidup dan memimpin ritual ini, belum pernah ia merasakan ketakutan separah ini. Wajah tenangnya tak dapat menyembunyikan ketakutan yang membuat buku yang ia pegang bergetar. Berulang kali kepala pendeta itu mencoba menenangkan dirinya sendiri agar pendeta muda tidak lagi menatapnya khawatir, bahkan membawakan air suci untuknya.
"Cek keranjang di bawah kaki Dewi Selene!" perintahnya tegas. Setelah berhasil mengendalikan diri, ia mencoba menatap dua orang wanita yang menatapnya bingung sekaligus khawatir. Pendeta itu berdehem. Ia mencoba mencairkan suasana setelah ketegangan yang terjadi. "Beritahu identitas kalian, wahai yang terpilih."
Gadis di sebelah Rufina tampak malu-malu menatap sang kepala pendeta. Manik mata merah pekat miliknya memancarkan kebahagiaan dapat lolos setelah mengikuti Ritual suci ini. "N-namaku Rosalia Wilona. Umurku Sembilan belas tahun. Aku berasal dari Tengah Amaris," jawabnya diikuti anggukkan dari sang pendeta.
Manik mata merah mudanya asyik menelusuri setiap sudut kuil Azura. Dirinya mencari-cari sosok pria berambut kuning keemasan yang tadi ada di belakang pendeta. Pria itu dengan tidak sopannya memakan apel sambil membaca buku milik pendeta ketika wanita renta itu tengah membaca buku itu dengan air muka penuh ketakutan. Apa setiap ritual pria itu selalu mengganggu? Sungguh tidak bisa dibiarkan.
"Giliranmu, Nona."
"Namaku Cherry Rufina. Umur delapan belas tahun, profesi dokter muda di Utara Amaris," ujar Rufina memperkenalkan diri. Pendeta itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Maaf kepala pendeta, Ap―"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucian : Story of The Hidden Kingdom
FantasyBiarkan aku bercerita kepadamu. Sebuah buku usang mengatakan, dulu terbentang sebuah negeri yang diselimuti kebahagiaan dan berkah dari-Nya. Di mana tanaman tumbuh menjulang tinggi dan di dalamnya dipenuhi kehidupan yang damai nan tentram. Hewan ber...