Move On, Bio!

61 14 0
                                    

"Assalamu'alaikum" aku membuka pintu rumah dengan lemas, entah mengapa tubuh ku terasa panas sejak istirahat ke dua, padahal pagi tadi -tepatnya saat pertemuan di perpustakaan- aku masih baik baik saja.

Sakit di punggungku sudah tak terlalu sering lagi karena di pijat Bi Inah kemarin malam, walaupun masih terasa ngilu sedikit sih, tapi setidaknya itu lebih baik.

"mamaah" suara terdengar nyaring saat memasuki ruang keluarga yg sepi. Biasanya di sana ada mamah sedang menonton acara drama atau gosip, tapi kini ruangan itu kosong.

Aku membuka sepatu dan menaruhnya di pojok ruangan, menyalahkan lampu redup -karena hari masih siang- dan menduduki sofa dengan pasrah sampai Sampai tubuh ku tenggelam pada lipatan sofa yg empuk.

Dulu, saat sofa ini di beli kali pertama pada umur ku 8 tahun, aku selalu protes pada ayah karena sofa di kamar ku tidak seempuk ini. Mamah akan ribut jika aku merengek untuk di tukar, ia akan memperjuangkan sofa ini seperti sofa yg sangat berharga lebih dari nyawanya sendiri.

Pernah, sekali waktu aku merajuk pada mamah. Membuat strategi agar wanit paruh baya kesayangan -yg sayangnya- menyebalkan itu akan luluh pada anak perempuan bungsunya. Aku menarik sofa di dalam kamar ku sampai keluar dan mengurung diri dengan tulisan di depan pintu hingga menghalangi jalan keluar Bio, 'tukarkan sofa ini!'.

Oh Childishnya...

Apa hasilnya? Dua hari aku mengurung, hanya ayah dan Bio saja yg merayu ku. Dan yg lebih menyebalkan, ternyata mamah juga tidak pernah pergi dari sofa! Ia akan pergi jika buang hajat, mandi dan masak saja. Selebihnya ia akan duduk di sana dengan menonton film drama yg akan membuatnya menangis tersedu-sedu.

Dan setelah kejadian itu, ayah bercerita tentang sofa yg begitu di perjuangkan mamah. Ternyata, ayah membelikan mama sofa ini karena dulu -saat mereka masih belum punya uang cukup- ayah selalu memperhatikan diam diam wanita uniknya itu selalu melihat nanar pada sofa ini.

Uang tak punya sepeserpun, pihak ayah maupun mama bukanlah orang terpandang dengan harta dimana mana. Ayah hanya seorang lelaki sederhana yg bekerja sebagai karyawan tetap dengan gaji hanya 200 ribu perbulan, sedangkan mama hanya gadis SMA yg jatuh cinta pada lelaki yg berkerja keras itu.

Akhirnya, saat ayah mati-matian memperjuangkan cintanya demi mama yg saat itu masih bersekolah dan dilarang keras oleh nenek, satu tahun setengah kemudian mereka menikah dan merantau ke Jakarta.

Saat itu, ayah sedang putus asa mencari pekerjaan di kota sedangkan pekerjaannya dulu sudah tidak menerimanya lagi, dengan sabar mama mendorong semangat ayah dengan berkata, "kamu lelaki hebat, ayah. Berdoa dan sholat lah agar di beri petunjuk. Jangan putus asa, aku ga akan lari dari mu". Ugh, so sweetnya....

Beberapa bulan kemudian ayah sudah mendapat pekerjaan. Bulan pertama mendapat upah 500 ribu, ayah mengajak istrinya ke jajaran toko dan pasar. Membeli beberapa peralatan rumah tangga sederhana dan murah di rumah kontrakan kecil.

"rumah itu banyak banget kenangannya, dek. Dulu kami ini ga berani bermimpi terlalu jauh dan hidup makmur seperti ini, punya rumah ngontrak dengan harga kecil aja kami udah bersyukur"

Dan lebihnya lagi, setelah ayah menabung akhirnya tanggung jawabnya sebagai suami perlahan demi perlahan terlaksanakan.

Sofa ini adalah hasil beli kali pertama mereka pada dua tahun menikah dengan harga yg cukup mahal bagi mereka dulu. Ya aku memang tahu jika ayah dan mama sudah bersama sejak nol sampai sekarang. Tapi yg aku tidak tahu, ternyata mama sebegitu cintanya pada setiap pemberian ayah.

Dan itu membuat ku sangat kagum. Sangat sangat kagum sampai bertatap muka dengan mama saja aku sangat malu.

BUGH

Shadow's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang