Aku mengernyitkan dahi saat bau obat obatan menyeruak memasuki hidung. Seluruh tubuh ku terasa nyeri, membuat ku merintih saat bergerak.
"Nik, Ke, Vio udah bangun nih" salah seorang gadis berwajah samar dimata ku menggoyangkan tubuh Nike dan Keke secara bersamaan. Saat mereka sadar, kedua gadis itu berhambur mendekatiku.
"Lo udah sadar?
"Lo ga apa apa, V?"
"Badan lo masih sakit?"
"Bagian mana yg sakit?"Aku menghembuskan nafas jengah, "Suara lo pada ya," suara ku terdengar jengkel seraya memandang kedua anak itu. Ohh jangan lupakan Va'i yg berdiri di depan kasur dengan wajah bersalah. Dengan pelan aku bangun, tapi tertahan saat punggung ku terasa nyeri, rasanya seperti ingin patah saja.
Nike dan Keke dengan sigap membantu ku bangun dan menyenderkan punggung pada senderan kasur. "Istirahat aja, tadi katanya lo jatuh tertabrak bahu Va'i. Ehm, kayanya cukup keras sih, soalnya bunyi jatuh lo terdengar sampai indoor" cerita Keke memandang ku ragu, aku hanya mengangguk menyetujui.
Aku sendiri bisa membayangkan bunyi jatuh tadi terbukti dari sakitnya punggung ku saat ini. Aku yakin ini akan nyeri sampai seminggu kedepan. Berlebihan ga sih?
"Maaf ya Viola sayang, Mas Boy ga tau kalo lo ada di depan gue" Va'i yg semula ada di depan ranjang kini sudah berganti tempat di samping kanan. Bibirnya manyun memandang ku dengan mata meredup. Aku terkekeh, nyaris tertawa kencang jika saja sakit di punggungku ini tak terasa.
"Najis, jelek banget muka lo, Va'i" kataku geli. Jujur saja, ucapan ku terkadang terlalu jujur sampai membuat orang salah sangka tentang sifat ku.
Riva'i mengulum senyumnya, hidungnya yg bangir tiba tiba saja mengkembang-kempis di antara senyum. "Aaahh~ Vio emang yg terbaik, tercantik, tersayang, terhebat, tersabar. Jangan pernah pergi dari ku ya... Don't let me go...." ucap Va'i seraya mencubit pipi ku gemas. Aku ingin tertawa kencang tapi takut punggungku semakin sakit.
Nike dan Keke tertawa kencang melihat kelakuan Va'i pada ku. Aku berusaha mati-matian untuk tidak tertawa lepas, "Nanti kita pulang bareng yaa... Neng Vio mau di anterin naek apa? Mobil pribadi Mas Boy ada di bagasi sekolah ko, oh ya nanti mau A-A gendong kaya gimana? Ala penganten? SIAP ATUH!!" celoteh Va'i membuat ku mengerti jika sebenarnya ia lelaki baik. Walau terkadang menyebalkan karena sikap jailnya, tapi jika tidak ada makhluk ini di sekolah, dunia ku terasa sepi sepertinya. Karena hanya dia lelaki yg tak segan pada ku dan memandangku seperti gadis biasa layaknya teman-abang-saudara atau kakek(?). Tidak seperti lelaki di sekolah yg mendambakan ku hanya untuk di jadikan pasangan, blacklist Abitama.
"Si eneng ga mau di anterin pake gerobak ya, a..." cetus ku sanggup menebak maksud Va'i. Lelaki itu cemberut total.
"Eh btw, tadi siapa yg bawa gue kesini?" tanya ku mengubah topik, teringat salah seorang yg menyembul di antara gerombolan yg menabrakku tadi membuat hati ku menghangat, entah kenapa.
"Ah itu, ya ampun gue sampe lupa. Vio, dengar. Lo. Beruntung. Sumpah! Sialan! Lo di gendong Abitama tadi! Tahu ga sih lo, anak cewe yg lihat acara gendong-menggendong tadi histeris kaya orang utan ga pernah ketemu Shincan! Ya ampun, gue aja sampe bengong waktu liat si master piano tiba-tiba maju dengan gantle terus gendong lo. Lo tahu, Rey pun cuma bisa bengong liat kejadian tadi! Bisa lo bayangkan, Vio!!" penjelasan Nike yg histeris membuat ku tercenung.
Jantungku berdetak cepat mendengarnya. Sebelum pingsan, mataku yg mengabur memang sempat melihat salah seorang. Tapi aku tak tahu jika Abitama akan berepot repot ria memikirkan salah seorang gadis di sekolah. Bahkan setahu ku, jika ada yg pingsan di depan matanya lelaki itu akan memilih opsi kedua, menyuruh orang yg dekat di sana untuk menggotong gadis itu ke UKS.
Hawa... Jadi, insting ku tentang Abi tadi benar. Aku memang merasakan Abi di sana, di sekitarnya, memperhatikannya, tapi aku tak tahu jika Abi akan menggendongnya.
YA TUHAN!!!!
"V, oyy, yank, mata lu ngapa dah? Viona kesurupan ya itu?" sialan!
Tanpa sadar, pose ku kini sangat tidak keren untuk di pandang. Cepat-cepat aku mengerjap dan menutup mulut yang melebar sedikit.
"Se-serius lo?" tanya ku meyakinkan. Va'i mencibir, "Yaelah, nanya lagi nanya lagi. Gue cemburu nih"
Aku mendelik mendengarnya, "Lo rusuh, sono deh" tuding ku menunjuk Va'i yg kembali mencibir.
Kini aku menatap Nike dan Keke, kembali menanyakan hal yg sama. "Iya bawel, udah ah, gue mau balik ke kelas. Tau ga lo kita ini udah nungguin lo bangun dua jam. Lo pingsan apa molor? Udah ah, bye!" aku masih tercenung bahkan sampai Nike, Keke dan Va'i menghilang di balik pintu setelah sebelumnya mereka -terlebih Va'i melambaikan tangannya dengan dramastis seraya memandangku sedih seperti berkata, "Cepat sembuh sayang, aku akan menunggumu di kelas..." aku tak menghiraukan.
Abitama...
Mengapa aku bisa tergila-gila sama manusia itu sih?! Kenapa ga Rey yg jelas jelas menyukaiku? Atau Va'i -ehm, mungkin bisa di pikirkan lagi mengingat kelakuannya yg absurd.
Tapi ini berbeda, apapun yg ada di diri Abitama bagi ku berbeda. Awalnya, aku hanya kagum pada permainan pianonya satu setengah tahun yg lalu pada saat kali pertama aku menginjakkan kaki di ruang musik.
Lalu dilanjut dengan ketertarikkan ku untuk bergabung di dunia musik sekolah, aku mulai sering memperhatikan lelaki itu dalam diam. Setiap waktu, setiap detik, setiap saat, aku memperhatikannya dan tanpa sadar aku menghafal gerak geriknya sampai saat ini.
"Seorang gadis itu ga boleh berjuang untuk mendalatkan lelaki, kita ini ada untuk di kejar bukan mengejar" perkataan mama terngiang di telinga. Saat itu aku bertanya, "Mah, kalo Rere suka sama cowo di sekolah, Rere boleh bilang ga sama dia?"
Pala ku mendadak pening memikirkannya, cewe itu di kejar bukan mengejar. Tapi banyak juga cewe yg mengejar dan akhirnya dia dapet juga. Jangan jadi cewe murahan ah, dulu mama di kejar papah sampai bangun-jatuh itu bukan karena mama egois tapi karena pengorbananlah yg membuat kita yakin akan pilihan.
Lalu aku harus bagaimana? Berjuang atau memperjuangkan di saat aku tak tahu masa depan apa yg akan bermunculan nanti.
Tapi, jika aku tak bergerak sama sekali, Abitama tak akan tahu. Lalu, jika aku bergerak... Yeah, aku ingin memperjuangkan.
Mulai saat ini, aku akan memperjuangkan Abitama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow's You
Fiksi RemajaAressa yg sadar akan perasaannya pada Abitama sejak setengah tahun yg lalu Itu hanya mampu mencintai dalam diam. Tak ada satu orang pun yg tahu, bahkan Keke dan Nike -kedua sahabatnya- Aressa adalah seorang pemain biola di sekolahnya, gadis realisti...