Teguran

54 9 1
                                    

Aku berharap kau menoleh. Memberi ku tatapan teduh nan sayang, dan pelukan tegas seakaan berkata 'aku adalah tempat-mu'.

Aku hanya ingin dirimu yg merentangkan kedua tangan dengan aku yg akan berlari kencang menujumu.

Hingga saat ini, aku masih menunggu hari itu.

XXX

"YAK! LO NYEBELIN, REVAN!"

Entah ada angin apa, Revan, si sepupu ku yg tampan-manis-seksi tapi sayangnya menyebalkan itu tiba tiba muncul di ruang keluarga. Ia dengan senyuman bodohnya menatap ku polos, "Mangap" ucapnya santai.

Aku mendorong tubuhnya yang semakin membesar dengan kesal, merasa terhimpit oleh keberadaannya, "heh, badan lo makin gede aja. Bahagia ye lo?" tanya ku setengah menyindir sebenarnya liat sofa yang sebelumnya lega mendadak sempit.

Revan bersungut sembari meringsut turun pada karpet bulu, aku melipat kedua kaki dan memeluk bantal. "Antara iya dan enggak" sahutnya mendadak suram. Aku melongok sebentar untuk melihat wajahnya.

"Jadi, Fentika ga nerima lo?" tanya ku tepat sasaran. Revan tampak tak terima, lelaki itu melempari kacang yang entah dari mana datangnya pada ku, "Belom, bukannya enggak" koreksinya memaksa.

Aku hanya menggelengkan kepala prihatin. Kisah percintaan lelaki ini sepertinya lebih parah dari yang ku alami. Bertemu dengan masa lalu yang tak mengenalnya di masa kini, sepertinya Revan butuh waktu yang lama. Hmm....

"Emang lo ga bilang aja semuanya ke dia? Tentang masa lalu kalian. Ini udah hampir dari lima tahun yang lalu, Rev" kata ku menyadarkannya. Dia menggeleng lemas, mulutnya masih mengunyah kue ringan dengan lamban.

"Maksain kalo kaya gitu, gue ga mau" jawabnya tegas. Terkadang, sisi Revan yang seperti inilah yang membuatnya tertekan, memaksakan keputusannya.

"Dan lo udah dua tahun dekati dia belum ada perubahan, kan? Lo nyiksa diri lo sendiri, Rev" sahut ku malas. Jika lelaki itu di paksa untuk sadar pun sepertinya akan berakhir dengan pertengkaran.

Revan mendongak, menatap ku yang duduk di sofa. "Lah? Apa kabar sama lo, V?" sindirnya balik dengan seringainya. Membuat ku merengut tak terima, "Itu 'kan beda permasalahan".

"Kita sama, V. Sama-sama jadi bayangan, bedanya lo cuma kurang percaya diri buat deketin doi dan gue cuma nunggu takdir yang jalani" terangnya membuat ku tercenung.

Aku, Biola, Revan. Kisah kita sama, Revan dengan cintanya yang di tuntun dengan ramalan, Biola yang mencintai sampai gila hingga saat ini, dan aku yang mengagumi berubah mencintai.

So, berdoa saja agar kisah ku tak berakhir seperti Biola dan menunggu gila seperti Revan. Tapi, bagaimana jika akhirnya nasib ku seperti mereka?

Aku menggigit bibir bawah gusar, kebiasaan saat berimajinasi jelek sejak kecil, lalu mendesah lelah saat melihat binar kebenaran di mata Revan. "Ga segampang itu, Rev. Gue kan cewe" kata ku akhirnya. Mendengar itu, Revan segera naik kembali ke sofa dengan gerakan sembrono.

"Heh, kutu babi. Kalo lo mau berjuang, berjuang yang bener! Itu sepadan sama hasilnya. Lagi juga, helloowww jaman sekarang tuh lagi booming cewe ngejar cowo" katanya dengan semangat, tangan kirinya terangkat dan di gerakkan dengan dramastis.

Aku mengernyit melihat sikap konyolnya yg semakin aneh tiap harinya, terakhir aku melihatnya dua bulan lalu sedang mencukur bulu ketiaknya di balkon kamar Biola. "kayanya gue belom bisa terbiasa sama sikap aktif lo lagi deh, Rev" kataku memandangnya aneh.

Revan terkekeh seraya mengacak puncak rambutku, tentu saja aku berang. Jika saja lelaki ini mengacaknya dengan lembut mungkin aku hanya bersungut, tapi ini? Ia mengacak rambut ku seperti ingin mencabut kepala dari leher, kasar sekale.

Shadow's YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang