"Maaf soal kemarin"
Aku menahan nafas saat matanya menatap ku dalam. Aku hampir tak berkedip membalas tatapannya.
"Itu kasar. Kemarin itu kasar" cicit ku membalasnya, beruntung kesadaranku segera kembali. Aku menghirup nafas dalam-dalam mengingat hal kemarin sambil menunduk menatap biola di pangkuan ku.
Aku mendengar jika Abi ikut menghirup nafas dalam-dalam. "Maaf" katanya sekali lagi penuh rasa bersalah. Mataku berkedip sekaligus kembali menatap matanya yang kini meredup.
Melihat matanya penuh rasa bersalah aku pun luluh, "Maaf di terima" sahut ku mengangguk canda. Jujur saja, aku sendiri masih sulit untuk melupakan kejadian kemarin tapi mengingat jika kita -aku dan Abi- tak pernah berbicara lebih dari 50 kata dalam percakapan, aku harus memupuk dalam-dalam sisa kekecewaan sikap kasarnya kemarin.
Bisa kah kami semakin dekat setelah ini?
Abitama ikut tersenyum tapi tipis sedangkan aku seperti orang bodoh yg tersenyum lebar, jadi senyum ku kembali meredup. Begitupula dengan harapan ku tadi. Apakah ini hanya formalitas dalam permintaan maaf sebagai teman baru atau teman lama? Ah ya, aku adalah teman barunya.
Aku menyingkirkan rambut depan ku di balik telinga lalu memutar kursi ke samping untuk membenahi barang bawaan ku yang berserak. Abi masih berada di depan ku dan aku sangat sadar jika lelaki itu tengah memperhatikan ku dalam diamnya. Aku gugup setengah mati saat ini.
Dia tak membuka mulut, tak ada suara selain bunyi gitar acoustic milik Ryan dan suara indah milik Tina dan suara vocal grup adik kelas ku yang akan tampil nanti. Jarak mereka pun di pojok ruangan lain. Dan itu semakin membuat ku gugup.
"Kenapa ga latihan lagi?" tanyanya tiba-tiba membuat ku terlonjak kaget. Suaranya sangat dekat dengan ku, padahal kursinya sudah ku miringkan. "Mau istirahat dulu. Abis itu ajari adik kelas mungkin, atau latihan lagi. Ga tau juga" ucap ku seperti berbicara sendiri.
Malas menanggapi kebodohan, akupun menatapnya, "Emang kenapa?"
Abi mengernyit menatap ku, "Jadi sekarang mau kemana?" aku membalasnya dengan gelengan bingung. Pulang sekolah sudah bubar sejak dua jam yang lalu, Keke dan Nike pastinya sudah dari tadi pulang tanpa kabar, ke ruang osis pun percuma aku tak akan mendapat bagian selain menyiapkan keperluan musik.
Jadi, pilihan kini hanya kantin dan perpus atau jika bisa pulang.
"Kantin dulu aja, yuk. Gue teraktir deh, abis itu kita latih manusia musik sekolah" ajaknya santai, tangannya hendak menarik tangan ku tapi tertahan saat aku berkelit. Berpura-pura membuka tas lagi. Aku hanya tak mau Abi merasakan tangan ku yang basah karena keringat dingin. Pasti jantungku semakin bersemangat bila itu terjadi.
Setelah mengambil buku novel aku kembali mendongak, "Ayuk, kita ke perpus dulu ya balikin ini" kata ku tanpa memperdulikan tatapannya.
Kini, aku yang merasa bersalah menolaknya.
XXXX
Ada yang berbeda dengan sikap Abitama saat ini. Ia tak kaku, tak dingin, dan tak arogan seperti biasanya. Yang aku lihat kini hanya Abitama yang sedang bahagia, entahlah, wajahnya sangat berbeda dari yang kulihat sebelum-sebelumnya.
Tak ada obrolan di antara kami, hanya keheningan tapi mampu membuatku nyaman. Kami berjalan sejajar, terkadang kulit Abitama bersentuhan dengan ku lalu pipi ku akan memerah setelahnya. Ya Tuhan, aku seperti bocah!
"Lo sakit?" aku menggeleng tanpa menoleh, "Ko pipi lo merah, ga enak badan atau nervous?"
Tetap aja mulutnya nyinyir.
Aku mendengus mendengar kata terakhirnya, mengapa dia selalu benar sih?
"Gue ga apa-apa. Hawanya panas, gue ga bisa kena panas" tukas ku acuh tak acuh. Abitama tertawa dan itu membuat langkah ku refleks berhenti. Dia tertawa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow's You
Teen FictionAressa yg sadar akan perasaannya pada Abitama sejak setengah tahun yg lalu Itu hanya mampu mencintai dalam diam. Tak ada satu orang pun yg tahu, bahkan Keke dan Nike -kedua sahabatnya- Aressa adalah seorang pemain biola di sekolahnya, gadis realisti...