Televisi di depanku menampilkan tayangan yang terus berganti setiap lima detiknya, seiring dengan gerakan tangan kananku yang memang terus menggantinya dalam maksud mencari tayangan yang setidaknya membuatku tertarik. Tapi faktanya, tak ada yang bisa membuatku tertarik jika ada gadis ini di sampingku. Aku meliriknya yang tengah menyenderkan kepalanya di bahu kiriku.
Namanya Athalia, dia tinggal tepat di samping kanan rumahku. Kami sudah bersahabat sejak kecil saat masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar sampai sekarang saat kami sudah berada di kelas dua belas semester akhir di sebuah sekolah menengah atas.
Sepuluh tahun sudah kami bersama, tidak hanya gelak tawa yang kami rasakan, pil yang paling pahit dalam hidup pun sudah pernah kami telan. Sepuluh tahun kami lalui, dengan status sebagai sahabat.
Aku menghela napas berat jika mengingatnya. Sepuluh tahun jelas bukan rentang waktu yang sebentar, sepuluh tahun terbilang cukup lama. Terlebih bagiku untuk menyimpan rasa ini dalam-dalam. Rasa yang telah kurasakan bahkan sejak dua tahun awal kami menjalin persahabatan. Bukan hal yang mudah bagiku untuk menyimpannya perasaan ini sendirian, terlebih lagi jika melihat gadisku ini memang sering bergonta-ganti pasangan.
Namun ada satu hal yang selalu ku syukuri, gadis ini akan selalu bersamaku apapun kondisinya. Baik sedang jatuh cinta atau patah hati. Baik sedang ingin tertawa atau menangis. Baik sedang bahagia atau bersedih. Dan... Baik sedang ada pasangan ataupun tidak.
Tak jarang Athalia putus dengan kekasihnya karena sang kekasih kerap kali cemburu dengan kedekatanku dan Athalia, mereka selalu meminta Athalia menjauhiku jika ingin masih berhubungan dengan mereka. Dan Athalia selalu memilihku. Selalu.
Perhatian-perhatian Athalia yang kecil itulah yang membuatku bertahan disisinya.
Selama delapan tahun.
Lamunanku buyar ketika merasakan pergerakan dari sebelah kiriku. Kulihat Athalia tengah merubah posisi tubuhnya menjadi berbaring di dada kiriku, kedua kakinya sudah terbaring lurus di sisi sofa bagian depan yang memang sengaja ku buka tadi sebelum menyalakan televisi.
Aku mengelus rambutnya yang berwarna kecoklatan, wangi rambutnya yang selalu beraroma jeruk selalu menjadi kesukaanku. Aku tersenyum simpul melihatnya yang semakin tampaknya nyaman berbaring dalam dekapanku. Lalu mataku beralih ke arah tangannya.
Jari jemari kanannya sibuk memainkan sebuah cincin yang terpasang di jari manis tangan kirinya. Dahiku berkerut seketika, ini baru pertama kalinya aku melihat cincin itu terpasang di tangan kirinya. Dan gadis itu tampak sibuk memainkannya sedari tadi.
"Cincin baru, ya?" tanyaku saat sudah tak bisa menahan penasaranku sedari tadi. Athalia langsung mengangkat kepalanya mencoba melihat wajahku, aku bisa melihat senyuman manisnya sesaat sebelum gadis itu menganggung mengiyakan.
"Bagus, kan?" tanyanya sambil terus memutar-mutarnya disekeliling jari manis.
"Bagus," jawabku sambil melihat cincin itu seksama. Cincin berwarna abu-abu metalik itu tampak bukan seperti cincin biasa, sangat aneh jika melihat seorang gadis menggunakannya jika hanya untuk sebagai aksesoris. Cincin itu jelas bukan tipe cincin yang berfungsi sebagai pemanis
"Beli dimana?" tanyaku berbasa-basi. Hanya untuk mengorek informasi darinya.
"Di mall," jawabnya. Aku bertaruh pasti gadis ini masih tersenyum sambil memandang cincin itu.
"Aku beli buat hadiah dua bulanan aku sama Erga," sambungnya yang langsung membuatku terdiam membeku. Bisa kurasakan hatiku terasa ingin jatuh dari tempatnya. Sesak ini lagi.
Aku mencoba menarik napas untuk menenangkan kerja jantungku yang semula kupikir akan berhenti seketika. "Kalian pakai cincin couple?" tanyaku mencoba menutupi rasa sakit yang terasa.
Athalia mengangguk bersemangat, aku hanya bisa tersenyum miris sambil terus mengelus rambut coklatnya. Entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang berbeda jika mendengar Athalia menceritakan segala hal tentang Erga. Rasa sakitnya sama seperti saat Athalia menceritakan kekasih-kekasihnya terdahulu, tapi sakit yang saat ini entah mengapa terasa lebih sakit.
Athalia tampak begitu memuja Erga dengan segala kesempurnaannya di mata Athalia. Walau di mataku Erga bahkan tampak begitu menjijikan, cowok itu jelas tipe cowok yang gemar mematahkan hati perempuan. Aku tahu Erga juga bukan tipe cowok yang setia dengan satu perempuan, kerap sekali berita perselingkuhan cowok itu menggemparkan sekolah selama tiga tahun masa kami bersekolah. Itu yang ketahuan, bagaimana dengan yang tidak?
Aku sudah pernah memperingatkannya sekali kepada Athalia saat gadis itu pertama kali bercerita kalau Erga mulai mengajaknya berkenalan. Aku bilang kalau Erga bukan cowok baik-baik yang bisa saja mencoba untuk mematahkan hati Athalia, namun yang terjadi malah akulah yang membuat Athalia menangis terlebih dahulu karena aku memperingatkannya untuk tak begitu dekat dengan Erga. Athalia menangis sesegukan dan demi tuhan aku tak bisa melihatnya begitu sedih. Aku pun merelakannya dekat dengan cowok itu dan selalu suka rela menjadi sandarannya jika Erga melakukan kesalahan.
"Aku seneng banget pas denger Erga juga suka dengan cincin yang aku kasi," ucap Athalia yang lagi-lagi membuat hatiku mencelos. Aku tak membalas perkataannya kali ini dan hanya mengeratkan rangkulan ku dibahunya. Menghirup aroma rambutnya dalam, dan mencium puncak kepalanya.
-----------------
"When you speak of him, you look so happy
It's good that you can be this happy
You say you really love him, want to be with him forever
You trust him completely"
-GD feat. Se7en - That XX (Translate)-