"Kamu sudah sampai?" Aku mendengar Reyan di ujung sana, dengan semangat menerima telepon dariku. Aku tersenyum, "Alhamdulillah" ujarku. Reyan tertawa di ujung sana. "Kalau begitu, aku jemput ya?" Aku menaikkan alisku, "Bukannya kamu sakit?" Reyan tertawa diujung sana.
Aku mengambil posisi duduk di sebuah kafe Bandara Soekarno Hatta. "Gak masalah" Aku menyeritkan dahiku, "No. Don't be a stubborn man. Okay? You need to get rest." ujarku dengan tegas. Ia menghela nafas. "Aw, come on. Its not that hard just to pick you up?"
Aku menghela nafasku, Reyan Kellen Utama, kekasihku yang sudah menjalin hubungan denganku selama hampir 3 tahun ini, membuatku pusing ketika ia sudah mengeluarkan sifat keras kepalanya.
"To Airport that Miles away from where you are? No. Riu jemput aku kok" ujarku sambil membolak balik daftar menu yang diberikan pelayan.
"Beneran? Kamu gak bohong kan? Aku bisa telepon Riu kalau kamu bohong" Aku mengangkat bahuku lalu tersenyum senang. "Ya, coba aja"
"Okey, okey. Take care bae" ujarnya menyerah, lalu aku mengangguk, walaupun ia tak bisa melihatku. "Ya, bae. Get well really soon" ujarku lalu kami memutuskan sambungan telepon. Aku memesan minum, sambil menunggu Riu, kembaranku, menjemputku di Airport.
30 Menit kemudian..
"Mbak Ve?" Aku mendongakkan kepalaku lalu melihat wajah yang familiar sekali denganku. Merkurius Damantio Hermawan, atau Riu, kembar identikku, sahabatku, orang yang paling menyebalkan dihidupku, tetapi bisa lebih manis dibanding Reyan.
"Hai, twinny!" Riu langsung duduk di hadapanku dengan wajah mengkerut. "Baru aja ketemu, langsung bikin kesel" gerutunya, lalu memesan minuman. "Kangen kamu tau" gumamku, dia tersenyum sombong lalu tertawa. "Hoho, ya pasti" Aku mencibir, lalu tersenyum sekilas. Adikku ternyata sudah besar, banyak perubahan selama aku meninggalkan Jakarta untuk merantau di daerah lain, kuliah maksudku. Sedangkan dia kuliah di Jakarta, Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Jakarta, atau Depok?
"Kamu kok bisa ganteng? Habis operasi di dokter mana?" cibirku. Riu menyeritkan dahinya dan menepuk dadanya pelan. "Didikan bunda dong" ujarnya. Aku tertawa dan kami menikmati obrolan kami, seputar apa saja yang terjadi di Jakarta selama 6 bulan aku tinggalkan, bagaimana kuliahnya berjalan dan bertukar cerita denganku, apa yang aku lakukan selama di Semarang, tempat perantauanku.
*****
Demam, itu yang aku rasakan sekarang. Mata merah, kepala seperti kesemutan, flu, batuk, dan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius. Ini gila! Jakarta punya virus apa? Atau antibodiku yang menurun selama di Semarang? Sejauh pengetahuanku, aku tidak pernah sakit barang sekalipun aku tinggal di Semarang.
"Kamu serius gak ke dokter?" Aku mengangguk. "Kalau bsk demamnya blm selesai, kita ke dokter ya" ujar Bunda. Aku hanya mengangguk, dan kembali melihat layar ponselku. Reyan muncul dengan 20 lebih chat, menanyakan kabar, dan bilang kalau dia harus ke rumahku, padahal dia juga sedang sakit.
"Dasar keras kepala" gumamku. Aku mengunci layar teleponku, lalu kembali menutup mataku, mengistirahatkan sejenak otakku yang sudah tak tahu arah berpikirnya kemana lagi.
****
Aku bangun dengan perasaan yang lumayan baik. Sakit kepalaku berkurang, walaupun flu dan batuk masih menyerangku. Yang pertama aku lakukan, tentu saja melihat layar ponselku, mengecheck segala hal yang ingin aku ketahui, dari KHS yang sudah terisi dengan nilai, dan juga, yang terpenting, Reyan.
((*KHS adalah semacam rapor untuk tingkat Mahasiswa.))
Aku terkejut dengan notif yang begitu banyak dan misscall yang bertubi-tubi. Reyan, kenapa?
Aku langsung menelpon balik nomornya, tetapi yang kudapatkan hanyalah kotak suara operator. Kemana dia? Ada apa dengannya? Aku langsung bangkit dan keluar dari kamarku.
Riu ada di ruang tamu, dengan serius menatap layar ponselnya. Bunda dan Papa sedang bekerja, karena aku tidak melihat kehadiran mereka. "Ri, tadi Reyan ke sini?" Aku melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Artinya aku sudah tidur selama 5 jam, dan mungkin saja dia datang.
Riu menatap ke arahku dengan perasaan yang, tak bisa ku ucapkan. "Kenapa?" tanyaku, lalu aku duduk di sampingnya. "Mbak.." Aku menyeritkan dahiku, kenapa dia?
"Kenapa, Ri? Ada yang salah sama Mbak? Mbak emang baru bangun tidur" ujarku tak mengerti. Dia menggeleng. "Rey gak ke sini" Aku menaikkan alisku, perasaanku mulai berubah tidak enak. Kenapa? Seharusnya aku senang dia tidak membahayakan dirinya sendiri dengan keadaan yang tidak begitu baik.
"Terus kenapa kamu begitu?" Riu menggeleng, aku melihat dia menelan ludahnya, perasaannya kini menyatu dengan perasaanku. Tak pelak, kami adalah satu jiwa, dia kembaranku. "Mbak, Reyan mau ngomong" Aku tambah menyeritkan dahiku.
"Mbak sudah telepon nomornya, tapi gak aktif." ujarku, mulai khawatir. Ada apa dengannya?
"Coba yang ini" ujar Riu sambil memberikan ponselnya kepadaku, aku melihat sederet nomor baru di ponsel Riu. Seingatku, Reyan tidak suka ganti nomor, karena nomor itu nomor yang ia beli bersamaku 7 tahun lalu. Aku lalu meneleponnya, terdengar nada sambung, yang berakhir pada suaranya.
"Ve?" Aku mendengar suaranya, serak, dan terdengar putus asa. Astaga, ada apa dengannya?
"Kenapa, Rey?" tanyaku. Dia menghela nafasnya keras, seperti frustasi. "Kamu kenapa?" tanyaku lagi, aku melihat ke arah sekelilingku, Riu menghilang dari pandanganku. Mereka tidak sedang membuat lelucon untukku kan?
"Orangtuaku" Aku menyeritkan dahiku. Orangtuanya? Orangtuanya kenapa? "Kenapa?" kata-kata itu lagi yang keluar dari mulutku. "Mama, tadi nangis, teriak-teriak" suaranya bergetar. Aku ingat, terakhir kali aku mendengar suara ini, mendengar cerita yang sama persis dengan ini, ketika dia di tolak mamanya untuk mengejar cita-citanya dan mengikuti kemauan mamanya yang inginkan dia di sekolah Kedokteran.
Tentu mudah saja baginya, ia pintar, cerdas, tak sulit untuk masuk ke jurusan manapun yang ia mau. Lalu kenapa ini terulang lagi? "Terus kenapa, Rey?" tanyaku lagi. Dia menghela nafas kembali frustasi.
"Mama, gak pernah setuju sama kita."
Tunggu, apa?
Dan akhirnya, aku tahu hari ini akan datang.
******
Hai! Sudah lama banget ya aku gak nge post cerita lagi, maklumlah Mahasiswa jadi sibuknya ampun-ampun sama tugas haha. Maaf ya, cerita yg Melody of Us blm lanjut, dikarenakan ide yang stuck banget. Aku gak mau kalau ceritanya lanjut terkesan kepaksa. Jadi biar tunggu wahyunya turun aja ya:) Tolong dimaklumi.
Cerita ini insyaAllah akan lanjut dan seterusnya. Vote dan comment tentang kritik dan saran sangat di perlukan, terimakasih!<3
Have a nice day
KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted
RomanceKesempatan itu hilang seiring orang itu pergi. Diam, ku tak tau harus bagaimana ketika setengah jiwaku, terhalang bersatu dengan setengah jiwaku yang lain. Tembok penghalang begitu tinggi, bahkan untuk melihat ujungnya, aku dan orang itu tak bisa. K...