Bagian Keempat

33 1 0
                                    

Aku menyeritkan dahiku, tak percaya melihat Mas Noah sudah berada di atas motornya di depan gerbang belakang parkiran sipil. 

"Pasti bercanda" gumamku. Aku menghela nafasku sambil menggelengkan kepalaku, terserah Mas Noah mau apa, hal terpenting adalah aku tidak perlu susah-susah mencari angkot lagi. 

"Ve!" Aku mengangguk. "Ternyata malah lebih awal" gumamku. Dia tertawa dan mengangkat bahunya. 

"Noah" ujarnya seperti bangga pada dirinya sendiri. Aku mencibirnya. "Oke, ayo" ujarku sambil naik di motornya. Dia mengangguk dan memacu motornya keluar dari komplek Universitas. 

Aku menyeritkan dahiku ketika kami berhenti di depan sebuah restaurant yang kebetulan dekat dengan kosku. "Kenapa ke sini?" tanyaku. 

Dia tersenyum kecil. "Laper" gumamnya. Aku menggeleng-gelengkan kepalakku sekali lagi. Akhirnya Mas Noah makan sedangkan aku hanya memesan minuman karena sudah makan di kampus. "Kamu kenapa pilih sipil? Gak mesin?" Aku menghela nafasku. "Memangnya aku cowok? Lagian, aku lebih tertarik bikin rumah dibanding bikin mesin" ujarku. Dia tertawa. 

"Wah, masa? Bikin rumah tangga sama aku bisa?" ujarnya, aku mendengus. "Terserah mas" gumamku, lalu beralih ke ponselku yang sudah penuh dengan chat jarkoman atau apapun itu. Aku menghela nafas, bukan apa, tetapi aku akui dia tampan luar biasa, pintar, cerdas dan segala hal sempurna di dunia ini ada padanya. Tapi Mas Noah bahkan belum menyingkirkan Reyan dari pikiranku, sejengkal pun.

Aku tidak berpikir bahwa dia bisa menyukaiku, tetapi dari tingkahnya yang begitu menyiratkan kalau peduli sekali denganku walaupun belum seminggu kenal, sama sekali tidak menghilangkan bayang-bayang Reyan. 

*****

"Rapat hari ini" Aku memutar badanku dan menemukan Mas Noah berdiri di belakangku dengan tangannya seperti biasa memanggul tasnya. "Iya, aku tau" ujarku sambil berjalan melewatinya, menuju taman. 

Tidak, aku tidak menjauhinya, lebih seperti mencoba menenangkan jantungku yang beberapa hari ini tiba-tiba berdebar setiap dia muncul tiba-tiba, mungkin kaget? Ya mungkin. 

"Kamu kenapa?" tanya Mas Noah, duduk di hadapanku. Aku menyeritkan dahiku dan memiringkan kepalaku. "Mas yang kenapa? Lalu, urusan mas ke sipil ada apa?" tanyaku. Dia mengangkat bahunya dan melirik ke kanan dan ke kiri. "Mau menemui kamu. Memangnya gak boleh?" Aku menaikkan alisku. "Buat apa?" 

"Mengingatkan nanti malam ada rapat?" ujarnya setengah bertanya, setengah memberikan pernyataan. Aku menggelengkan kepalaku. "Mas kan bisa chat aku aja" ujarku. Dia tertawa. "Ya memangnya ada larangan mas ke sipil?" Aku hanya mengangguk asal, membuka catatanku dan mulai mengerjakan tugas yang sudah menumpuk, sambil menunggu Nayla selesai praktikum. 

"Ve, kok pada ngeliatin mas ya?" tanya Mas Noah yang kini sudah berpindah tempat kesebelahku. Aku menyeritkan dahiku dan melihat keseliling kami. Dan oh ya, benar. Ditambah lagi pasang mata itu milik angkatan atas. 

"Mati aku" ujarku sambil menutup wajahku dengan buku catatan. Mas Noah cemberut dan mengangkat alisnya. "Kenapa sih?" tanyanya. Aku menggeram dan menatapnya sebal. "Mas Noah tau mas itu famous banget?" Dia mengangguk. "Wajar, kan aku kadiv BEM FT, aku juga aktif di BEM Universitas. Terus kenapa?" tanyanya. 

Aku menepuk dahiku. "Mas tau, mas itu mesin?" Dia mengangguk sekali lagi dengan wajah bingung yang membuatku akhirnya tertawa. 

"Artinya sebentar lagi aku di panggil kakak tingkat, kenapa bisa membawa petinggi Mesin ke sini" jawabku sambil tersenyum simpul. Dia masih mencerna apa yang telah ku katakan, asumsiku. Karena sejak tadi dia menunjukkan muka shock dan bingungnya. "Eh, aku bukan komandan tingkat angkatanku" ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Tapi kan pernah jadi wakil ketua himpunan?" Dia menganggukkan kepalanya sambil menggaruk-garukan tengkuknya. "Ah, kamu masih ada kelas ga?" tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. "Tapi aku ada urusan dengan temanku yg sekarang lagi praktikum" ujarku. Dia mengangguk-angguk. 

"Nanti malam, mau mas jemput ga pas rapat?" tanyanya. Aku meliriknya dan menggeleng. "Aku bisa sama alpha." ujarku. Dia menatapku dengan sungguh-sungguh. "Mas yang jemput ya" Aku menghela nafasku. 

"Itu namanya pernyataan bukan pertanyaan" ujarku. Dia tertawa dan mengangkat bahunya. "Pokoknya oke aja ya?" pintanya. Aku mengangguk akhirnya. 

"Noah?" Kami sama-sama menolehkan kepala, dan menemukan sesosok perempuan cantik yang sangat aku tau, tetapi tidak pernah mengenalnya. Siapa yang tak kenal ia? Kakak tingkat paling cantik di jurusanku, mungkin. 

"Oh, Jess? Sudah lama" ujar Mas Noah sambil berjabat tangan dengan Mbak Jessica. "Lo ngapain? Ke sini gak bilang-bilang" ujarnya duduk di samping Mas Noah. Aku hanya mendengarkan sambil mengerjakan tugasku lagi. Agak nggak nyaman, karena pasang mata yang memperhatikan kami makin banyak. 

"Iya, ada urusan." 

Oh, urusan? Kayaknya daritadi hanya ngobrol denganku. 

"Oh, urusan apa?" 

"Gak penting kok. Lo habis darimana aja?" 

Aku langsung menyeritkan dahiku. Oh ya, kan memang sedari tadi hanya ngobrol denganku, tidak terlalu penting. Benar katanya, tetapi kenapa rasanya aku tidak terima ya?

"Habis dari Jakarta, cari proyek buat Kerja Praktek. Lo gimana? Masih berkutat sama organisasi?"

"Iya, bentar lagi tapi pensiun lah, mau fokus akademik juga. Ya ini juga karena amanahnya ketua himpunan kemarin karena gue juga gak mau maju buat jadi calon himpunan tahun ini." ujarnya dengan santai. Makin ke sini, mereka makin serius ngobrol, dan aku seperti lalat diantara dua manusia sempurna. 

Hendak pergi, tetapi sebelum pergi aku mendengar pernyataan Mbak Jessica dan kata-kata Mas Noah yang mungkin, bagiku sebagai staffnya, menusuk sekali.

"Sekalian gebet Maba*?" 

"Ya gitu deh. Cari yang fresh" ujarnya. Dan aku berlalu tanpa mereka tahu. 

*(Maba = Mahasiswa Baru)

*****

"Kenapa daritadi diem aja?" tanya Nayla. Aku menggelengkan kepalaku, lalu menyeruput es jerukku lagi. Sungguh, kata-kata Mas Noah tadi begitu menusukku, sampai terngiang-ngiang di kepalaku. 

Memang, tidak semua ocehannya aku masukan dalam hati, tetapi hal ini berbeda. 

"Hm? Engga" jawabku sekedarnya. Wajah Nayla kemudian berubah menjadi sangat serius. "Tadi ngobrol apa sama Mas Noah?" Aku mengangkat alisku. Setahuku, dia tidak tahu aku bersama Mas Noah tadi. 

"Aku memang gak tahu, semua orang membicarakanmu dan dia. Mereka berpikir kalian jadian" ujar Nayla. Aku menyeritkan dahiku dan menghela nafasku. "Dia katanya ada urusan, sekalian ngobrol denganku." ujarku. Nayla mengangguk-angguk. 

"Oh iya, kamu tahu akibatnya bawa anak Mesin ke sini?" Aku mengangguk dan menghela nafasku lagi. "Masalah lagi. Padahal bukan aku yang bawa, dianya aja ke sini" gerutuku. 

Nayla tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu itu buta atau apa?" 

"Apanya?" ujarku malas. Dia tertawa kecil dan mengeluarkan pernyataan yang menurutku, benar-benar tidak masuk akal.

"Seorang Noah Argapratama Rendra begitu menyukaimu."

Dan untuk kesekian kalinya, jantungku berdebar mendengar namanya disebut.

"Jangan bercanda" gumamku. Nayla menggelengkan kepalanya. "Aku terlalu serius sekarang untuk dibilang bercanda" gumamnya. Aku mengangkat pundakku, tidak peduli, atau lebih berusaha untuk tidak peduli.

**

PART 4 IS UP! 

Maafkan sudah lama ga update, dan baru sekarang. Baru dapet libur jadi ya gini:'). 

Semoga suka, vote dan komen ttg kritik dan saran selalu ditunggu ya!;D

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang