Bagian Kedua

56 2 0
                                    

3 minggu berlalu..

"Ah, mbak udah mau pergi lagi aja" gerutu Riu sambil menghela nafasnya. Aku tersenyum lalu mengacak rambut adik kembarku itu. "Jaga diri baik-baik" ujarku, ayah dan bunda tidak dapat mengantarku karena ada urusan rapat mendesak saat itu. Aku maklum, karena biasanya mereka selalu mengantarku, pasti urusannya mendadak sekali jika itu harus memaksa mereka tidak mengantarku ke Bandara. 

"Untung bunda ga ikut. Kalau ikut, bisa pusing, nyetir sambil denger bunda nangis" gumam Riu. Aku tertawa kecil lalu memukul kepalanya. "Yuk, ngopi" ajakku. Riu mengangkat alisnya lalu mengangguk. Kami masuk ke dalam tempat boarding pesawat, atau waiting room. Tidak sulit bagiku atau Riu untuk masuk ke dalam waiting room walaupun yang punya tiket hanyalah satu diantara kami, karena papa punya kenalan orang bandara, lagipula aku tahu itu tidak adil untuk orang lain, tetapi kami tidak sedang melanggar peraturan berat kan? 

"Mbak? Kok diem?" Aku tersadar dari lamunanku, mataku tertuju pada sebuah kafe yang begitu familiar bagiku, tempat yang kini sudah ditempati orang, yang begitu membuatku pilu seketika. Aku ingat dia, Reyan, orang yang aku putuskan jauh 3 minggu yang lalu. Putus bukan kemauanku, ataupun kemauan Reyan, tetapi kemauan orangtuanya, terutama Ibunya. 

"Oh" ujar Riu sambil mengerti dan menarikku menjauh dari kafe itu. "Gak apa-apa ri, kita di sana aja" ujarku, dia menggeleng lalu mengajakku ke kafe lain yang agak jauh dari sana. Dia tersenyum mengejek lalu mengacak rambutku. "Mbak jangan sok kuat" ujarnya, aku lalu tertawa dan memukul lengannya. "Kamu" gerutuku. 

Kami duduk dan memesan minuman, tetapi setelah itu, ponselku berdering. Aku melihat layar ponselku dan sederet nomor yang tidak di kenal muncul di layar ponselku. Aku mengerutkan dahiku dan mengangkatnya. 

"Ve?" 

Sontak aku terkejut dengan nada suara yang begitu ku rindukan. Sudah 3 minggu tanpa kontak dengannya, bahkan sempat nekat menelpon nomornya yang baru atau lama, tetapi kontak kami terputus, dan 3 minggu yang begitu menyiksa, kini seakan sirna ketika suara itu muncul dari ujung telepon. 

"Iya?" Riu memperhatikanku dengan serius dan penasaran. Tapi aku tahu, dia sebenarnya tahu siapa yang menelponku. 

"Ve ini aku" 

"Aku tahu" ujarku singkat, terkesan dingin dari nada bicaraku, aku tahu. 

"Ve.."

Aku menutup mataku, dulu panggilannya begitu menghangatkan, begitupun juga sekarang, menghangatkan tetapi begitu menghujam. 

"Kenapa?"

"Kamu sedang dimana?"

"Bandara" 

Diam, tidak ada suara berarti dari Reyan, begitupun aku, terlalu terpaku dengan kejadian ini. "Have a safe flight, ya. Semangat kuliahnya." Aku mengangguk walaupun dia tidak bisa melihatnya. 

Riu tiba-tiba berubah ekspresi menjadi terkejut, entah aku tidak tahu kenapa. 

"Jangan lupa makan. Jangan lupa refreshing, jangan tugas melulu yang kamu kerjain. Semoga IPK semester depan membaik ya. Kurangi nonton youtubenya. Jangan lupa istirahat yang cukup." ujar Reyan panjang lebar, dadaku penuh dengan sesak yang luar biasa. Riu tiba-tiba pindah tempat di sebelahku. 

"Ve, aku gak pungkiri, aku masih cinta kamu, melebihi apapun di dunia ini. Cheesy but true. Selama ini, cuma kamu yang selalu ada 24/7 buat aku." ujarnya, terus, membuat aku bahkan kini sulit bernafas. 

"Andai kalau aku dulu bisa memohon dengan Tuhan, aku ingin kita ada dalam zona yang sama, dalam lingkup yang tidak dibagi, dalam keadaan yang tidak sesulit ini. Aku gak pernah menyesal kenal, bahkan sayang sama kamu sampai sekarang." ujar Reyan, suaranya makin ke sini makin berat, aku tahu dan aku merasakannya. 

EnchantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang