Mencintaimu itu seperti penyakit.
***
Mencintainya itu seperti penyakit. Menyakitkan dan selalu terbawa pikiran. Aku mencintainya seperti aku memiliki penyakit. Di mana pun dia berada, kapan pun, dia akan selalu membawa kesakitan bagiku. Tapi bodohnya, aku masih saja mencintainya setiap hari seperti takkan berakhir. Aku tahu, mungkin dia tak tahu bahwa aku mencintainya sehingga dia mengumbar keromantisannya bersama pacarnya. Aku tahu dan aku terlalu bodoh untuk terus mencintainya.
Saat itu, aku sedang berjalan sendiri di lorong. Memang lorong sepi, mengingat sekarang jamnya istirahat sehingga para murid lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di kantin. Tapi tidak denganku, aku lebih memilih berjalan di lorong sendiri.
"Lo udah makan, Tan?"
Suara itu terdengar begitu menyejukkan di telingaku. Akhirnya, aku menghentikkan langkahku. Itu suara Fadio.
"Udah, lo udah?"
Itu suara indah milik Tania. Tania memang sempurna. Sangat sempurna. Jadi tidak salah jika Fadio memilih Tania.
Setelah itu, aku tak mendengar suara apa pun. Hingga Tania berbicara lagi,
"Belum makan? Yuk, makan," ujar Tania.
Aku tak dapat melihat mereka. Karena aku bersembunyi di balik tembok lorong. Aku tak dapat melihat Tania dan ekspresi Fadio.
Aku masih betah bersembunyi di balik tembok, hingga teriakkan Tania menyentakku.
"Fadio?! Fad? Fadioooo?"
Bodohnya saat itu, aku terlalu panik. Aku tidak menghampiri Tania. Aku malah lebih memilih untuk berjalan menjauhi mereka. Berlari agar diriku tidak ketahuan menguping pembicaraan mereka.
Sungguh, saat itu tindakan meninggalkan Tani dan Fadio merupakan hal yang sangat bodoh.
Lalu...
Dua hari setelah kejadian itu, aku tak pernah melihat Fadio dan Tania lagi. Sungguh, aku sudah datang ke kelas mereka. Namun bangku mereka kosong. Aku tak tahu mereka ke mana dan di mana.
Mengetahui hal itu, pikiran negatifku kembali berkecamuk.
"Lo cariin Fadio?"
Suara Raven menyentakku saat aku berada di depan kelas Fadio dan Tania. Aku mengangkat kepalaku karena Raven cukup tinggi dibanding diriku yang mungil ini.
"Eng-engga kok," elakku. Bagaimana dia bisa tahu?
Tiba-tiba, Raven terkekeh, "Jangan bohong. Fadio dan Tania bolos sekolah, nggak tau ke mana."
Jawaban Raven membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Untuk apa Tuhan memberi hati jika pada akhirnya dihancurkan? Lebih baik tidak usah memberi dari pada akhirnya hati itu hancur.
Untuk apa Tuhan memberi cinta jika pada akhirnya cinta itu tak berbalas?
Untuk apa Tuhan mempertemukan jika pada akhirnya dipisahkan?
Tiga pertanyaan itu terus berkecamuk di dalam otakku.
"Lo terlalu banyak pikiran. Mau ke kantin? Gue traktir deh," ujar Raven berusaha menyemangatiku.
Tapi aku malah tersenyum, "Gue bawa bekal."
Akhirnya, Raven mengangguk dan meninggalkanku.
Dari situ kenyataan kembali menamparku,
Fadio telah memilih siapa yang boleh masuk ke dalam hatinya. Dan gadis itu adalah Tania.
Gadis sempurna.
[a/n]
Holaaa! Siapa yang udah lihat gerhana matahari? acungin jempol kaki! HAHAH.
Jan lupa votes dan comments yaaa!
Regards,
Dera
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Diam [7/7 End]
Novela JuvenilKamu akan tahu bagian paling brengsek dari mencintai dalam diam: ketika orang yang kamu cintai ternyata mencintaimu, namun dia telah lama berhenti sedangkan kamu masih mencintainya seperti takkan berakhir. "Kalau kamu tahu cintamu takkan berbalas, m...