"Isn't it funny how day by day nothing changes, but when you look back everything is different."
— C.S Lewis
***
Arjuna Dewangga tersenyum hangat pada beberapa karyawan yang menyapanya pagi itu, sementara ia mempercepat laju langkahnya ketika mendengar dentingan pintu lift terbuka dan dengan satu gerakan luwes memijit tombol nomor sepuluh.
Beberapa wanita yang berada dalam satu lift dengan Arjuna tak kuasa untuk tidak saling berbisik satu sama lain; entah itu membicarakan wajahnya yang tampan dan bersih, rambutnya yang tertata rapi, kemeja biru mudanya yang slim fit, atau senyumannya yang memikat.
"Pagi, Mas Juna!" sapa salah seorang wanita dengan blus berwarna merah marun sambil tersenyum lebar, memamerkan bibirnya yang dipoles dengan lipstick magenta yang senada dengan rona pipinya. Kalau tidak salah, wanita itu adalah salah satu staf HRD yang sejak awal kedatangan Arjuna di kantor, sudah getol 'mempepetnya' itu.
"Pagi!" respon Arjuna ikut tersenyum sebelum akhirnya lift terbuka dan ia berlalu menuju ruangannya.
Hari itu tepat bulan kedua Arjuna kembali ke ibukota untuk bekerja di perusahaan properti yang bernaung di bawah nama Dewangga Group untuk membantu kakak laki-lakinya, Yudistira Dewangga. Maklum, sepeninggal ayahnya tiga tahun lalu, ia dan kakaknya mengemban tugas sebagai pewaris perusahaan sekaligus tulang punggung keluarga.
Banyak orang menganggap Arjuna lahir dengan sendok perak di mulutnya, padahal tidak. Keluarganya merintis bisnis properti dari nol dan jalan menuju kesuksesan tidak dengan mudahnya diraih. Winston Churchill pernah mengatakan bahwa kesuksesan merupakan sebuah perjuangan yang dilakukan secara terus menerus, menerobos kegagalan-kegagalan dan halangan yang ada tanpa kehilangan keyakinan. Layaknya sebuah bisnis, usaha properti milik keluarga Dewangga juga tak luput mengalami fluktuasi dari satu generasi ke generasi lainnya—seperti sekarang ini. Itulah alasan kenapa akhirnya Arjuna memilih untuk pulang ke Jakarta, padahal bisnis yang baru dirintisnya di London sudah menunjukkan prospek ke arah yang baik. Sejak dulu, Arjuna tidak pernah memiliki niatan untuk mewarisi bisnis keluarganya. Ia ingin membangun 'kerajaannya' sendiri.
"Jadwal kamu hari ini apa, Jun? Sibuk nggak?" tanya Yudistira, yang biasa dipanggil Bang Yudis oleh ketiga adiknya itu.
Arjuna membaca sticky note yang ada di depan komputernya, matanya memindai tanggal hari itu untuk mengetahui jadwal apa yang ia miliki.
"Hmm, sejauh ini belum ada jadwal apa-apa sih," jawab Arjuna sebelum kemudian melanjutkan, "Ada apa, Bang?"
Yudistira mengangguk mengerti sambil mengelus janggut tipisnya, terlihat berpikir keras. Umurnya yang berbeda hampir sepuluh tahun dari Arjuna itu membuatnya kelihatan terlampau dewasa daripada adik laki-laki satu-satunya itu.
"Kalau gitu, hari ini kamu rapat sama tim divisi keuangan. Tolong pertegas untuk jangan sampai ada kesalahan dalam memberikan dokumen-dokumen untuk keperluan tutup buku akhir bulan. Soalnya kita butuh penyesuaian lagi, berhubung tahun ini kita sudah nggak pakai jasa kantor akuntan yang lama."
"Oke," Arjuna tersenyum singkat sambil mengangguk. Sedikit-banyak ia mengerti persoalan yang berhubungan dengan audit ataupun pembukuan karena ketika kuliah dulu ia mengambil jurusan International Business and Management di London School of Economics and Political Science.
***
SMA Tiara Bangsa, 2009
Hari sudah menjelang petang ketika anak-anak OSIS angkatan Arjuna pamit pulang, setelah cukup lama membahas tentang program kerja mereka selama kurang lebih setahun kedepan. Arjuna sendiri masih memilih untuk berada di sekolah yang kala itu sudah mulai sepi, yang tersisa hanyalah anak-anak yang mengikuti ekskul pada hari itu
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Jakarta
Romance❝Senja itu romantis. Dia yang paling banyak berkorban dari Siang dan Malam. Hadirnya sesaat, cuma sebagai peralihan. Walau Senja sadar kalau dia indah, tapi dia nggak egois. Nyatanya, ia memilih untuk mengalah.❞