12. Analogi Bulan dan Bintang Jatuh

47.1K 3.2K 648
                                    

"Dri—"

"Di—"

"Ih, kok barengan gini sih!" celetuk Diandra sambil tertawa—jenis tawa yang mampu meluluhkan hati Adrian tiap kali ia mendengarnya. Keheningan yang terbangun sejak awal Diandra menduduki kursi penumpang di sebelahnya seolah-olah menguap begitu saja, semua tergantikan oleh sebuah gestur yang sederhana.

Ya, sesederhana itu memang untuk dapat memenangkan hati seorang Adrian Soeharsono; dengan hanya mendengar suara tawa Diandra.

Sambil tersenyum tipis, Adrian memberi kode dengan anggukannya agar Diandra bicara lebih dulu.

"Nggak, lo duluan aja."

"Gapapa, Diandra," sergah Adrian sementara ia mengecangkan pegangannya pada kemudi mobil sebelum akhirnya melanjutkan, "omongan gue juga nggak penting-penting banget."

Sejujurnya, apa yang baru saja ia katakan itu tidak sepenuhnya benar. Ada sesuatu yang mengganggunya selama perjalanan menjemput Diandra hari ini, sesuatu yang krusial mengenai mereka berdua. Mengingat umurnya yang sudah tidak lagi bisa dikategorikan sebagai remaja, Adrian merasa ia perlu menyuarakan apa yang bersarang di pikirannya beberapa bulan belakangan—terlebih akibat hadirnya 'sosok' yang tidak ia duga-duga sebelumnya dan mampu mengancam apa yang sudah susah payah ia bangun.

Adrian tidak memungkiri perasaannya yang selama ini tumbuh untuk Diandra, ditambah dengan intensitas kedekatan mereka yang semakin meningkat, ia merasa sudah saatnya ia memberanikan diri sebelum semuanya terlambat. Ia tidak ingin kehilangan siapapun lagi.

Seumur hidupnya, ia memiliki dua kehilangan terhebat yang membuatnya mulai mengonsumsi kopi hitam tanpa gula—karena pahitnya kopi yang ia rasakan itu tidak seberapa dengan kepahitan yang hidup suguhkan untuknya.

Pertama, ketika ia 'kehilangan' adiknya. Sejak dulu Adrian sadar kalau ia menjadi harapan utama orang tuanya dan ia harus mendapatkan pekerjaan yang baik demi ibunya yang membesarkan ia dan adiknya sendirian setelah bercerai dengan ayahnya, maka dari itu selama bersekolah sampai kuliah, ia memang benar-benar hanya fokus belajar demi mendapatkan nilai dan IPK yang maksimal. Ia bahkan jarang sekali pulang ke Jakarta walapun jarak antara Bandung dan Jakarta hanya terpisahkan oleh jalan tol Cipularang dengan rentan waktu satu jam tiga puluh menit saja.

Maka dari itu, ia kehilangan waktu untuk membangun hubungannya dengan adik laki-laki satu-satunya yang ia miliki, Reihan Soeharsono—yang kalau seandainya ia memiliki kapabilitas untuk memutar kembali waktu, ia ingin sekali memperbaiki itu semua. Ia menyesali waktu yang ia habiskan hanya dengan belajar, dan bukannya mengajak adiknya bermain lego favoritnya, mengajarkannya hitungan dasar matematika, menonton film superhero favoritnya, atau melihatnya tumbuh menjadi individu yang lebih dewasa. Ia kehilangan momen-momen itu, dan sekarang ia harus hidup dengan penyesalan itu di pundaknya.

Kedua, ketika ia kehilangan ibunya. Bagi Adrian, ibunya adalah sosok wanita yang sangat tegar, yang ia hormati setengah mati. Ibunya adalah cinta pertamanya; orang pertama yang mengajarkannya mengenai filosofi kehidupan, sebuah pelajaran yang tidak akan bisa didapatkan di instansi pendidikan. Satu hal yang ia masih ingat sampai sekarang adalah di saat orang-orang akan menertawakan sosok pengemis dan memberi tahu anaknya untuk menjadi orang sukses agar nasibnya tidak sama seperti pengemis itu, ibunya malah mengatakan hal yang kontradiksi; "Jadilah orang yang sukses supaya kamu bisa bantu pengemis itu, Nak, karena sesungguhnya sebagian dari rezeki yang kamu miliki itu merupakan hak mereka".

Senja di JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang