Suara riuh siswa/siswi dilapangan membuat suasana menjadi lebih panas. Kubu kelas XII IPA 4 tertinggal 2 skor, namun tak memutuskan semangat para pemain. Bola yang digiring kesana kemari masih utuh meski tertendang beberapa kali oleh kaki pemain.
Dibawah pohon, seorang gadis berambut sebahu tak henti-hentinya bertepuk tangan memberi semangat kepada para pemain untuk mencetak gol. Terkadang ia memekik kala melihat pemain kelasnya yang terkena slentakan kaki dari pemain lain.
Tiba-tiba bahunya ditepuk, sontak membuatnya menoleh.
"Eh," serunya terkejut.
Sang penepuk tersenyum sebelum kemudian mengambil duduk disebelahnya.
"Masih awet aja." Katanya ikut memandang kearah lapangan.
Yang diajak bicara menolehkan kepalanya memandang sang penepuk.
"Yah ... mau gimana lagi. Udah stuck di dia, sih."
Ia berdecak, "Makanya move on! Harus berapa kali sih gue bilang. Lagian udah berapa ya? 4 eh 6 deng, udah 6 tahun lo suka Azka tapi masih gini aja nggak ada peningkatan. Lo harus usaha buat lupain Azka mulai dari sekarang. Karena Adeeva yang gue tau itu cantik dan yakin, pasti banyak yang suka."
Adeeva - atau biasa dipanggil Deeva terkekeh, "Lo nggak tau rasanya sih, Mel. Seorang Melati Putri mana tau perasaan yang udah tumbuh selama 6 tahun, sih? Kan yang lo tau Cuma putus nyambung doang." Sindir Deeva.
Pandangannya kembali kearah lapangan. Melihat kini kelas XII IPA 4nya sudah mampu menyamai skor. Tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gemas. Rasanya Deeva ingin berlari ketengah lapangan dan mengambil bola tersebut untuk kemudian ia masukkan sendiri ke gawang lawan.
"Eh, tapi serius ya. Lo nggak ada niatan gitu buat berpaling? I mean, lo mungkin nggak ada waktu lama lagi, kan?" tanya Mela dengan hati-hati. Takut-takut kalau ia salah bicara, ia akan menyinggung perasaan sahabatnya ini.
Sontak Deeva membeku. Ia tak lagi terfokus pada pertandingan dimana Azka sedang menggiring bola sekarang. Dengan kaku, Deeva menoleh pada Mela. Ia menghembuskan nafas sepelan mungkin. Mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Mungkin. Tapi disaat gue mau melangkah, gue udah ngerasa nggak ada kesempatan lagi buat gue. jadi ya, gue Cuma bisa mendem, doang." Jawab Deeva. Suaranya sebisa mungkin ia atur untuk terlihat tegar, walau kenyataannya ia masih harus berlatih untuk bersandiwara.
Setelahnya terjadi keheningan lama. Kedua sahabat itu masih fokus memandang para pemain, namun pikiran mereka bercabang kesana kemari bak labirin tanpa ujung.
Akhirnya setelah kehiningan yang cukup lama itu, Mela menggerakkan tangannya untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Eh bentar lagi masuk. Gue ke kelas dulu, ya" pamitnya kemudian beranjak dari tempatnya duduk. Membersihkan bagian belakang roknya sebelum ia bergerak menepuk pundak Deeva.
"Deeva! Fighting!!" seru Mela dengan sebelah tangan teracung ke udara.
Deeva tersenyum melihat kepergian Mela dari tempatya. Kemudian ia kembali mencoba fokus pada pertandingan sepak bola yang ada di depan sana. Meski waktu sudah menunjukkan lima menit sebelum jam masuk, mereka masih memilih mencari keringat daripada berleha-leha didalam kelas.
Namun tinggal beberapa menit sebelum bel masuk berdering, para pemain itu sudah mulai menyingkir dari lapangan. Pertandingan kali ini berakhir seri.
Deeva bangkit dari duduknya, kemudian menepuk belakang roknya yang kotor oleh rumput. Ekor matanya menangkap pemandangan yang membuat jantunganya mencelos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sepihak √
Krótkie Opowiadania[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] Di saat semuanya masih baik-baik saja, Deeva memilih memendam. Namun, di saat semua mulai memburuk, akhirnya Deeva sadar. Kenapa tidak sedari dulu ia mengungkapkannya? Copyright © 2016 by Erisyakw