Part 10

1.5K 56 0
                                    

Selepas sholat subuh Fei kembali naik ke atas tempat tidur, ia tak menghiraukan teguran Wildan agar turun dan ikut membantu di dapur. Kopi yang di pinta Wildan pun tidak dibuatkannya. Fei memiringkan badannya membelakangi Wildan yang berdiri disisi tempat tidur, ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Wildan menghela napas lalu melangkah keluar kamar.

Setibanya di dapur Ia bertemu Bi Onah yang baru selesai mencuci sawi. Bi Onah menyapa dan menanyakan apa Wildan ingin di buatkan sesuatu. Wildan mengatakan Ia ingin minum dan bisa membuatnya sendiri tapi Bi Onah menolak dan memaksa Wildan untuk duduk dan menunggu selagi Bi Onah membuatkan.
Wildan duduk, tangannya bertumpu pada meja makan. Matanya menyelusuri se-isi dapur.

"Ini Den, kopinya, silahkan diminum!" seru Bi Onah seraya tersenyum, Wildan membalas senyum Bi Onah tulus.

"Makasih, Bi." Wildan mengangkat gelas yang baru saja di letakkan Bi Onah di hadapannya lalu meminumnya.

"Apa Aden, perlu sesuatu lagi?"

"Tidak Bi, terimakasih. Oya Bi," Wildan menatap Bi Onah yang juga menatapnya menunggu, "Bibi jangan panggil aku Aden, panggil saja sama seperti Bibi manggil Dewa," ucap Wil.

Bi Onah menatapnya heran,"Loh, kenapa Den?"

"Gk kenapa-napa sih Bi, biar sama aja. Hee," Wildan nyengir.

Bi Onah tersenyum. Ternyata Den Wildan baik juga ramah orangnya. Beda sekali dengan apa yang Mba Fei katakan; jahat, sombong, angkuh, egois, tidak sopan dan menyebalkan tidak ada manis-manisnya. Buktinya sekarang Den Wildan sangat terlihat manis dan sopan.

"Bi. Bibi," Wildan memanggil Bi Onah yang terlihat melamun.

"I-iya, Den?"

Wildan tersenyum. Benarkan Bi Onah melamun.

"Bibi, melamun?"

"Tidak, Den!" sergah Bibi cepat.

"Bibi melamun, buktinya gk ingat harus manggil aku apa."

"He... Maaf Den... Eh, Mas."

Wildan terkekeh melihat Bibi yang salah tingkah dan merasa gk enak. Lucu.

"Bibi lanjut masak dulu, Mas."

"Kkekek... Iya, Bi." Wildan kembali terkekeh melihat Bibi buru-buru melangkah ke wastafel mengambil sawi yang telah di cuci untuk di potong-potong.

Drrt... Drrt... Drrt..

Wildan mengambil ponselnya yang ada di saku celana piamanya. Menggeser ibu jarinya keatas, kunci terbuka dan langsung menunjukan kotak masuk. Wildan menyentuh nama Vivi muncul lah pesan yang dikirim Vivi padanya yaitu 1 pesan memberitahukan jam pergi mereka serta 1 pesan lagi mengingatkan agar Wildan jangan terlambat. Wildan mengetik kata 'Oke' lalu mengirimnya.

"Nak Wil, sudah bangun?"

Wildan menoleh kebelakang dimana ada Ibu mertuanya yang jalan mendekat. Wildan tersenyum menyambut.

"Dimana Fei?" tanya Andin setelah sadar anak perempuannya yang baru saja melaksanakan resepsi perkawinannya itu tidak bersama Wildan maksudnya tidak menemani Wildan suaminya.

"Setelah sholat subuh, Fei kembali tidur, Bu."

"Yaampun anak itu, kebangetan banget. Sudah punya suami juga, bukannya ngurus suami malah enakkan tidur." Andin mendomel. Tidak habis pikir dengan kelakuan anaknya.

Dari sebelum menikah Fei memang sudah sulit untuk bangun pagi 'benar-benar bangun pagi'. Andin pikir kebiasaan tidur sehabis sholatnya itu akan hilang jika Fei menikah karena harus ngurus suami, ternyata... Andin menghela napas. Ia memang selalu harus di suruh sabar  menghadapi Fei anak satu-satunya itu.

FeilisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang