Part 14

392 39 18
                                    

Matahari tidak pernah lelah untuk menerangi bumi. Dia selalu mencoba menampakkan dirinya walau kadang awan usil mulai menggodanya. Dia tidak pernah goyah berjalan dengan teratur di setiap harinya. Selalu sabar saat beberapa orang mulai terusik dengan kedatangannya.

Pagi ini masih sama secerah hari-hari sebelumnya. Fei sudah menyelesaikan setengah dari sarapannya ditemani sang mama mertua yang sudah lebih dulu selesai. Jangan tanya kemana suami tampannya karena pagi-pagi sekali suaminya itu sudah bertolak ke Jakarta menunaikan tugasnya sebagai seorang dokter dari rumah sakit milik Ayahnya sendiri yang sebentar lagi akan berpindah tangan menjadi miliknya.

Fei meminum susu-nya setelah menelan habis nasi goreng buatan Mama Mertuanya. Fei berdecak kagum mengacungkan kedua jempolnya memuji nasi goreng buatan Ratna. Terlihat berlebihan, mungkin. Tapi, menurut Fei dua jempol saja tidak cukup harusnya Fei memberikan empat jempol. Sayang Fei hanya memiliki dua jempol.

"Maaf ya, Fei. Mama tidak bisa nemenin kamu dirumah," ucap Ratna menyesal. Merasa tidak enak meninggalkan mantunya seorang diri dirumah.

"Gk papa kok, Mah. Mama kan, harus nemenin Ayah. Fei malah ngerasa gk enak, gara-gara Mama nemenin Fei makan, jadinya Mama berangkat sendiri nyusul Ayah."

Ratna tersenyum. "Gk masalah. Kalo Wil ada dirumah, Mama juga sering berangkat sendiri, kok. Kadang Dia gk suka makan sendiri, ya, harus ditemenin kayak gini," ungkap Ratna dengan senyum tak lepas dari wajahnya.

Fei ikutan tersenyum membayangkan pak Wil yang super perfect itu ternyata manja juga. Fei saja makan tidak harus ditemenin.

"Selamat pagi Ma, Kak Fei," seru Rani riang.

"Loh?"

Fei terkejut dan bingung dengan kemunculan Rani yang tiba-tiba. Kapan datangnya? Bukannya Rani malam kemaren masih tidak ada dirumah.

Rani tersenyum setelah berhasil mengambil apel yang ada ditengah meja.

"Terkejut, ya?" tanya Rani. Fei nganggukin kepalanya. "Shubuh tadi aku nyampe rumah, Kak."

Gak tau kenapa Fei jadi rada canggung sama Rani. Mungkin karena baru pertama kali ketemu. Dan statusnya Rani sekarang itu adek iparnya.

"Kak Fei cantik juga, ya?"

"Eh?" Denger adek iparnya muji dia, Fei jadi kikuk. "Kamu juga cantik, Ran..."

"Oh, iya. Jadi kapan, nih Rani dikasih keponakan?" tanya Rani polos.

Fei melongo. Kok jadi keponakan, sih? Demi apapun, pagi-pagi bahas soal ponakan itu bukan sesuatu yang menyenangkan.

.

***

.

"Dari mana kamu?" tanya Wil setelah lihat istrinya baru masuk kamar pas jam delapan malem.

Wil sengaja pulang cepet, biar ketemu istrinya. Eh, sampe rumah yang dicari malah kagak ada. 'Kan sebel. Kirain cuma nunggu Fei pulang beberapa menit bagi Wil, nyatanya sampe dua jam.

"Kenapa, Pak? Kangen, ya?" Fei senyum ke arah suaminya. Dia jadi keinget obrolan panjang lebarnya tadi sama Rani. Obrolan tentang Wil dari yang oke sampe yang gak oke banget.

Setelah meletakkan bukunya di atas nakas, Wil turun dari ranjang. Nyamperin istrinya yang agak aneh menurutnya. "Kamu baik-baik aja 'kan, Sayang?" Wil nempelin punggung tangannya di kening Fei.

Fei mendengus. "Capek," ujar Fei sambil ngejauhin tangan Wil di keningnya. "Udah, ah. Fei mau bobok cantik dulu."

"Lah? Gk mandi?"

"Udah mandi tadi."

"Masa?"

"Pak Wil kok bawel banget sih?"

Wil yang gemes lihat tingkah istrinya yang tidur dengan menguasai kasur itu deketin Fei. Dokter tampan itu menggelitiki perut Fei tanpa ampun. Fei sendiri yang gak tahan geli tertawa sampe airmatanya keluar.

"Aduh, Mas! Geli, ih. Ampun!" pekik Fei yang tanpa sadar ngucapin kata 'Mas'.

Seketika Wil menghentikan aksinya itu. "Apa tadi?" tanyanya yang tadi samar-samar mendengar Fei yang mengucapkan kata 'Mas' padanya. "Ulangi lagi.."

Fei terdiam. "Apanya?"

"Itu yang tadi,"

"Apa, sih?"

"Yang tadi itu,"

"Apaan, Pak?"

Wil nyerah. Dia milih meluk Fei, sesekali nyiumin puncak kepalanya. "Besok lusa kita pindah ke rumah kita."

"Aku yang nata kamar, ya?"

"Tidak."

"Ayolah, Pak,"

"Sekali tidak, tetap tidak."

"Ih, nyebelin!"

"Udah, tidur."

Beberapa menit mereka terdiam. Fei dongakin kepalanya. "Pak.."

"Tidur, atau kucium kamu?" ancam Wil yang kini udah mulai berani ngomong agak frontal pada istrinya.

FeilisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang