1 - Samantha|If I Don't Wake Up Dead

108 5 1
                                    

11-03-2016

***

Ada secangkir kopi di hadapan ku. Sudah mulai mendingin, tidak tersentuh dari tadi. Seharusnya aku minum saja dari tadi. Cahaya matahari mengintip dari balik tirai dan mengenai meja-meja di restoran ini, menghinggapi kopi ku, seakan mengejek perbandingan suhu yang sangat berbeda itu-- Bodoh sekali, kenapa aku memikirkan ini?

Aku menyesap kopi ku, berharap rasanya masih enak. Aku tidak mau $ 2 ku terbuang sia-sia. Aku menelan kopi ku; rasanya sama saja, hanya sedikit kental dan menjijikkan. Mungkin rasa semua kopi memang sama. Restoran ini ramai setiap hari, tapi jarang seramai ini, namun aku masih bisa melihat orang yang kucari sedari tadi.

Aku mengerling ke sudut ujung sebelah kanan restoran itu, melihat seorang laki-laki pirang yang memang sudah biasa duduk disana setiap hari. Tidak, tidak setiap hari, hanya pada hari Jumat dan Sabtu. Dia juga biasa datang kesini pada hari Minggu. Entah kenapa aku memasang perhatian kepada orang itu, mungkin karena dia selalu datang sendirian, tidak pernah benar-benar berbicara, atau mungkin karena dia selalu menyembunyikan setengah wajahnya dari teriknya matahari.

Dia memiliki mata abu-abu. Mungkin, aku tidak bisa melihat wajahnya secara jelas.
Sepertinya umur dia berada di awal-awal 30-an. Yang jelas lebih tua daripada diriku. Aku yakin orang lain di tempat ini tidak pernah memperhatikan pria ini, dia terselubung diantara ramainya orang-orang -bayangannya saja nyaris tidak terlihat.- Dan aku juga yakin dia lebih tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.

Aku tahu dia; dia dulu satu sekolah dengan diriku, tapi aku tidak tahu namanya. Mungkin dia dari kelas lain. Entahlah, aku tidak pernah benar-benar memperhatikan seseorang dengan begitu mendetail. Mungkin aku yang sebenarnya tidak peduli dengan orang-orang di sekitarku.

Dia menundukkan kepalanya, tapi aku bisa melihat sebagian dari wajahnya. Dia tidak bergeming, tidak melakukan apa-apa. Hanya melihat pangkuannya. Sepertinya dia sedang banyak pikiran, tetapi dia memang selalu begitu setiap kali aku datang kesini. Mungkin kotak berbentuk hatinya sedang berwarna biru tua. Dia melihat sesuatu, mungkin pergelangan tangannya. Dia menggaruk-garuk tangannya, membuatnya sedikit merah.

Aku melihatnya menghela nafas, lalu kembali ke posisi awal. Menunduk, seperti sebuah per yang terlalu lama ditarik sehingga renggang dan menunduk kedepan, tidak bisa kembali seperti semula. Matanya melihat sekeliling, namun badannya tetap tidak bergeming. Aku melepaskan pandangan dari orang itu dan melihat keadaan diluar.

Tidak ada yang aneh. Orang-orang berjalan dan mengobrol dengan ponsel mereka. Anak kecil berlarian dan berteriak. Wanita-wanita paruh baya yang menggosip tentang tetangga mereka yang baru membeli tas baru. Seperti sebuah film lama yang kau putar berkali-kali; kau sudah tahu setiap bagian dan semuanya mendadak terasa biasa saja. Aku merasa bersyukur -dengan dua kutip- dengan fakta bahwa hidupku tidak se-cliché itu.

Hidupku sebenarnya biasa-biasa saja. Aku bekerja di kantor yang lumayan bagus, otakku juga tidak terlalu tumpul, dan aku juga hidup berkecukupan. Permasalahannya adalah fakta bahwa aku hanya tinggal dengan Ibu ku -dia menceraikan Ayah ku karena suatu alasan yang pastinya tidak ingin aku ketahui-, tempat tinggalku yang selalu pindah-pindah karena pekerjaan Ibu ku, dan bahwa aku tidak suka bersosialisasi sehingga aku hampir tidak memiliki teman. Lagipula aku tidak yakin memiliki teman akan membuat hidupmu jauh lebih menyenangkan.

Aku merasakan rasa panas di belakang kepalaku, seakan-akan seseorang sedang melihat kearah ku. Aku berbalik dan ternyata tidak ada siapa-siapa yang melihatku, lelaki tadi juga masih tidak bergerak; kau mungkin akan mengira dia adalah mayat yang sudah mengeras dalam keadaan menunduk seperti itu. Aku kembali memandang ke arah film lama membosankan yang sudah terlalu sering aku tonton itu.

"Change Me."Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang