21-03-2016
***
Aku pergi ke café itu lagi. Setiap tahun, setiap bulan, setiap minggu, setiap hari. Aku melihat kopiku; Kopi hitam, namun tidak sepahit yang kuharapkan. Aku menyesap kopi itu, panas. Ditambah udara panas, jauh berbeda dengan cuaca kemarin.
Aku jadi teringat kemarin Austin mengantarku pulang. Aku tidak bisa mengelak bahwa aku merasa tidak nyaman, tapi tetap saja aku menerima tawaran itu. Dia juga meninggalkan payung dan mantel nya. Mengerikan. Aku tertawa kecil; Ternyata lelaki yang misterius tidak hanya ada di dongeng, bahkan di dunia nyata.
Lidah ku terbakar, tapi aku menghiraukannya. Tapi tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan nya sepenuhnya; Mataku berair, aku mengulum bibirku. Aku mendengar sesuatu di taruh dengan keras ke mejaku, aku melihat segelas air. Aku melihat siapa yang membawanya; Austin. Aku lama-lama bisa paranoid dengan pria ini karena selalu datang tiba-tiba.
"Lidah mu menghitam." Dia mengomentarinya, seakan dia baru saja membacakan ramalan cuaca. Aku menggeram, mengambil air itu dan menempelkannya ke bibirku. Aku berkumur dengan air itu, lalu menelannya. Dia memakai hoodie dari jins dan baju hitam. Baju nya polos, hanya ada sebuah trapesium dengan mahkota diatasnya. Aneh.
Dia duduk lagi di depanku, mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Ketukannya tak bernada, bahkan tidak seperti lagu. Seakan dia hanya melakukan itu untuk menyingkirkan pikiran yang menganggu dirinya sekarang. Aku muak, akhirnya aku bertanya, "Mau apa kau ke sini?"
Dia hanya menatapku, mata coklat nya lebar. "Tidak." Dia menyeret kukunya di ubin-ubin tua yang menjadi penutup dinding café ini, menggumamkan sesuatu yang seperti alunan. Aku mengacuhkannya, melihat ke arah jendela lagi.
Tercipta sebuah keheningan yang tidak nyaman. Lama. Sunyi. Akhirnya dia berkata, "Oke, dengar, aku... Aku minta maaf jika aku membuat mu kesal karena selalu datang tiba-tiba." Dia meminta maaf, tidak menciptakan kontak mata sama sekali. Aku hanya menyenderkan kepalaku ke jendela. Dia menghela nafas, lalu menarik secarik kertas: Sebuah struk belanja. Dia mengambil pena dan menuliskan sesuatu disana. Alamatnya.
Aku mengangkat sebelah alis ku, menanyakan apa maksudnya. Dan dia bilang itu nomor teleponnya. "Tentu saja aku tahu itu alamat mu," aku memutar mataku, "maksudku kenapa kau memberikan ku ini?" Aku melambaikan kertas itu.
Dia menghela nafas, "Baiklah, ini akan terdengar agak -maksudku sangat- aneh. Melihat kau hanya mengenalku kurang dari sebulan. Aku tahu kau datang kesini setiap hari, jadi aku juga datang kesini setiap hari--" Dia mencoba menghindari inti dari pembicaraan ini, "Langsung saja. Tidak perlu menghindari inti obrolan ini."
Dia menggigiti jarinya, mengerutkan alisnya. "Jadi..." dia gelagapan, seperti ikan laut di aor tawar. Dia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. "Datang saja ke alamat itu. Hari ini. Terserah jam berapa." Dia menaikkan hoodie nya, lalu beranjak pergi. Aku melihat alamat itu lagi. St. Fremont, nomor 4, lantai 3. Aku tidak begitu asing lagi dengan alamat itu.
***
Aku berjalan ke apartment Austin. Apartment itu sudah kumuh, tapi ramai. Orang-orang berlalu-lalang disini. Sebagian besar remaja dan lansia. Aku menaiki anak tangga ber karpet putih kusam apartment itu. Seorang perempuan mendekatiku, umurnya sekitar 50 tahun-an. Dia tersenyum kepada ku, "Ada yang bisa kubantu?"
Aku bingung. Jelas. Karena aku jarang sekali berkomunikasi secara sosial. "Iya. Aku ingin bertemu dengan, uh, Austin?" Aku menjawab, tetapi lebih terdengar sebagai pertanyaan. Perempuan itu bergumam, "Tentu, kau hanya tinggal naik ke lantai enam dan masuk ke kamar nomor 182." Dia memberitahuku. Aku berjalan ke atas, tidak ada lift atau eskalator disana, jadi aku menaiki tangga. Aku benar-benar tidak percaya aku menyetujui ajakannya kesini.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Change Me."
Romance"Jangan. Hidup ini hanya sebuah kincir ria: Terkadang diatas, terkadang dibawah." "Tapi kau juga tahu bahwa setiap kincir ria pasti berhenti di bagian bawah, bukan?" "Bagian bawah adalah kematian. Jadi ya, aku tahu." "Kau juga tahu bahwa kincir ria...