25-03-2016
***
Aku sudah bangun. Masih pagi sekali. Belum juga jam 4. Aku menggaruk kepala ku, berjalan ke kamar mandi. Aku masuk dan melihat pantulan diri ku yang ada di cermin kamar mandi. Aku terlihat lusuh sekali, seperti sebuah kertas brosur yang langsung dikepal sampai lusuh karena kau tidak tertarik dengan isinya.
Aku membuka keran air, membiarkan airnya mengalir, masih memperhatikan refleksi ku di cermin. Pikiran ku berkelebat dari semalam, tidak mengasihani kepala ku yang sudah penuh. Aku merasakan kepala ku berdentum, keras. Sakit.
Aku meringis dan terduduk di lantai, menutupi wajahku. Sakit. Pikiran-pikiran ini menggangguku. Seperti sebuah gitar yang di-strum dari A mayor, ke A, lalu ke A mayor lagi. Aku benci ketika ini terjadi.
Aku mengacak-acak tempat obat ku, mengeluarkan sebuah pil kecil berwarna putih, menenggak nya. Dentuman nya masih sama: A mayor, A, A mayor, A, A mayor, A, A minor, berhenti.
Aku merasakan pikiran-pikiran itu berhenti. Mereda, menjadi suara-suara yang tidak lebih dari bisikan. Dari teriakan menjadi bisikan. Dari tsunami menjadi gelombang lemah. Dari panas menjadi hangat. Dari siksaan menjadi normal. Dari hidup menjadi mati. Semuanya kembali statis secara dinamis.
Aku mendengar suara telepon berdering, menghela napas lalu berdiri untuk mengangkat nya. "Halo?" Aku bertanya, aku sudah tahu siapa itu.
"Kenapa kau terengah-engah seperti itu?"
"Panic attack." Aku menghela nafas, "Lagi?" Ibu ku terdengar cemas, tapi aku tidak begitu peduli. Napas ku masih terengah-engah. Aku mengangguk, lalu sadar kalau dia tidak bisa melihat ku. "Lagi."
Dia menghela napas, "Kau minum obat mu secara teratur kan?" Tidak, karena efek penenang nya hanya terasa saat aku mengalami serangan lagi. "Iya. Tentu."
"Kau tidak minum alkohol kan?"
"Tidak setetes pun."
"Merokok?"
"Tidak."
"Melukai diri sendiri?"
".. Tidak juga."
"Kalau begitu pasti ini karena hormon mu saja."
"Hm, mungkin."Aku berbohong lagi kepada nya, tapi aku tidak merasa bersalah. Terkadang aku merasa bosan di telepon setiap hari, jam, menit, detik, nanodetik.
Oke, hiperbola. Tapi aku memang bosan di telepon setiap hari.
"Jaga kesehatan mu ya?" Dia selalu bilang itu setiap saat dia menelepon ku, seakan aku punya penyakit baru setiap hari. Aku hanya menggumamkan iya sebelum menutup telepon nya. Aku melihat keluar jendela, melihat matahari terbit perlahan. Langit nya masih berwarna jingga dan biru gelap. Aku merangkak ke kasur ku dan bergelung di dalam selimut ku lagi.
***
Aku terbangun mendengar suara handphone ku. Benar, aku memiliki handphone, tetapi aku lebih senang memberikan orang nomor telepon ku, dengan begitu aku bisa tidak mengangkat nya dan bilang aku tadi sedang diluar.
Aku menjawab panggilan itu, tidak melihat ID penelepon nya karena hanya ada satu kontak di handphone ku. "Halo?"
"Kau tidak ada di café hari ini."
Aku melihat ke arah jam, 14.28. "Memang." Aku duduk, menyilangkan kedua kaki ku. "Kau kemana?" Dia bertanya lagi. "Apartment." Aku menggumam. "Kau memang tidak mau keluar hari ini?" Dia bertanya lagi, aku menyeringai. "Kenapa? Kau khawatir terhadap ku?" Aku hampir bisa melihat dia memutar matanya. "Berhentilah menjadi seorang idiot. Lagi pula kenapa aku harus khawatir terhadap bedebah sialan seperti mu?" Aku tertawa, "Pendapat mu masuk akal juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
"Change Me."
Romance"Jangan. Hidup ini hanya sebuah kincir ria: Terkadang diatas, terkadang dibawah." "Tapi kau juga tahu bahwa setiap kincir ria pasti berhenti di bagian bawah, bukan?" "Bagian bawah adalah kematian. Jadi ya, aku tahu." "Kau juga tahu bahwa kincir ria...