Bab Satu

169 11 0
                                    


Winda sibuk mengotak-atik ponselnya disebuah sofa yang terdapat di dalam sebuah butik. Gadis tomboi itu sesekali mendengus dan menatap pada pintu ruangan yang ada dibelakangnya, masih tertutup. Huh, ia mendengus lagi. Lama sekali, bisik hati gadis itu kesal. Sembari menunggu, ia terus saja berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Membuka jejaring sosial miliknya dan memasang status yang berisi kalimat yang menyatakan bahwa ia kini benar-benar tengah boring. Kalau tidak disuruh Mama untuk menemani sang kakak ke butik ini, pasti aku sudah pergi keluyuran dengan teman-temanku, bisik hati gadis itu.
Sejenak kemudian, seorang perempuan muda berjalan menghampiri sofa yang diduduki Winda. Ia tengah membawa beberapa helai gaun dan akan dipasangkan kepada patung-patung yang berdiri tegak disudut ruangan.
"Mbak, ini sudah satu jam. Kakak saya masih lama tidak diruangan itu?" tanya Winda gusar kepada perempuan yang ternyata adalah karyawan butik tersebut.
"Masih fitting Dek," sahut perempuan itu. Winda mendengus lagi. Huh, benar-benar membosankan, pikir hati gadis berusia delapan belas tahun itu. Ini memang bukan hobinya, walaupun dia perempuan, tetapi sama sekali tidak tertarik untuk keluar masuk butik, seperti Mama dan kakak perempuannya. Ia lebih cenderung memiliki hobi yang menguji adrenalin seperti balap, menembak, mendaki gunung, dan kegiatan-kegiatan ekstrim lainnya yang banyak dilakukan kaum adam. Tapi itulah Winda, gadis tomboi itu.
"Bisa minta tolong tidak Mbak, belikan saya minuman dingin dong. Saya gerah disini lama-lama," ujar gadis itu lagi. Perempuan yang tengah memasang baju-baju pada patung itu menoleh dan mengernyitkan dahi. Padahal ruangan ini ber-AC, kenapa dia malah gerah, pikir perempuan itu heran.
"Tapi teman saya sedang istirahat dibelakang, kalau ada pelanggan nanti siapa yang melayani? Adek tidak tahu bukan harga-harga disini?"
"Nanti biar saya suruh tunggu sebentar, lagi pula Mbak yakin betul kalau akan ada pelanggan. Sepi begini," ujar Winda memperhatikan jalanan yang terlihat dari kaca butik itu, jalanan memang terlihat sepi.
"Ya sudah, nanti kalau ada pelanggan suruh tunggu sebentar ya. Mau minuman apa?"
"Es kelapa muda yang ada didepan jalan itu. Tidak jauh kok. Itu kelihatan dari sini," jawab Winda menunjuk pada sebuah pondok yang menjual es kelapa muda yang terletak persis diseberang jalan butik ini. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk.
"Ini uangnya," sambung Winda dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan kepada perempuan itu. "Kembaliannya ambil saja buat Mbak, anggap saja sebagai upah berjalan kaki kesana,"
"Terima kasih Dek," sahut perempuan itu dan mengambil uang yang diulurkan Winda lalu bergegas menuju keluar butik dan menyeberangi jalan menuju pondok tersebut. Sembari menunggu perempuan itu, Winda kembali sibuk mengotak-atik ponselnya.
Sementara di dalam ruangan yang tadi sempat dilirik Winda, seorang perempuan yang kira-kira berusia dua puluh lima tahun terlihat sibuk bercermin diri sembari memakai sebuah gaun pengantin. Ia terlihat begitu cantik dengan mengenakkan gaun pengantin yang berwarna putih bersih itu. Dalam hati perempuan itu, mulai timbul perasaan yang begitu bahagia. Ia sudah tidak sabar ingin menunggu hari bahagianya. Hari pernikahannya bersama sang calon suami.
"Bagaimana?" tanya seorang lelaki yang berpenampilan sedikit kemayu kepada perempuan itu. Ia juga tengah memperhatikan penampilan perempuan itu dan berdecak kagum.
"Sempurna sekali, kau memang desainer yang handal," puji perempuan itu.
"Of course. Kau terlihat begitu cantik, layaknya bidadari yang turun dari surga," balas lelaki kemayu itu pula memuji kecantikan si perempuan. "Tidak ada masalah bukan? Kamu comfort dengan gaunnya?"
"Ya. Kemaren aku bilang bagian punggungnya agak kebesaran, tapi kau sudah memperbaikinya. Dan sekarang, sudah nyaman sekali dikenakkan,"
"Oke. Berarti sudah deal ya. Ohya, kapan kau akan bawa calonmu kesini? Bukankah dia belum fitting kemeja dan jasnya, Natasha,"
"Iya. Sekarang dia masih di Jepang, dalam waktu beberapa hari lagi akan kembali ke Jakarta. Pokoknya begitu dia sampai di Jakarta, aku akan langsung mengajaknya kesini untuk melakukan fitting," sahut Natasha, nama perempuan itu.
"Ya sudah. Aku takut kalau terlalu kepepet dengan tanggal pernikahan kalian, kalau-kalau dia tidak nyaman dengan kemeja atau jasnya, nanti tidak ada waktu lagi untuk memperbaikinya. Bagaimana?"
"Tenang saja. Tanggalnya masih tiga minggu lagi bukan? Tapi aku mau lihat kemeja dan jasnya itu boleh?" tanya Natasha lagi.
"Tentu. Sudah aku gantung di dalam lemari agar tidak terkena debu. Tunggu ya," sahut lelaki itu, dan Natasha mengangguk. Lelaki bernama Ivan itu segera beranjak menuju sebuah lemari kaca yang ada di dalam ruangan dan mengambilkan pakaian yang tadi diminta oleh sahabat sekaligus langganannya.
"Perfect. Cocok sekali dengan gaun yang tengah kukenakkan ini," puji Natasha.
"Of course. Bukankah itu pesanan kalian? Ini bahannya aku beli dari Italy lho. Jangan salah. Coba rasakan dengan kulit tanganmu, lembut sekali bahannya," ujar Ivan. Dan Natasha melakukan apa yang diperintahkan sahabatnya itu, dan lagi-lagi ia berdecak kagum.
"Wah, lembut sekali, seperti sutra. Padahal kalau dilihat kesannya berat ya,"
"Itu dia. Kalau dipakai oleh kekasihmu itu, pasti dia terlihat gagah sekali dengan kemeja dan jas ini. Aku sudah tidak sabar ingin melihat kau bersanding dengannya cin," celutuk Ivan.
"Iya. Aku juga sudah tidak sabar sekali Van, ingin segera dipersunting olehnya,"
"Ohya, tapi nanti setelah menikah, kau akan hijrah ke Jepang atau tetap di Jakarta?"
"Itu belum kami bicarakan. Bisnisnya di Jepang memang tidak bisa ditinggalkan, tapi aku masih merasa berat untuk meninggalkan keluargaku. Terutama orang tuaku," bisik Natasha. Ivan mengusap lengan sahabatnya itu dengan rasa simpatik.
"Tapi nanti itu bisa dibicarakan. Yang terpenting kalian menikah dulu," balas Ivan.
"Ya. Ohya, tolong dibukakan dong gaunnya. Pasti Winda sudah resah menungguku dari tadi, kau tahu sendirilah bagaimana sifat adikku itu," ujar Natasha pula. Ivan tertawa sedikit dan membantu Natasha untuk melepas gaun pengantinnya lagi.
"Mau kau bawa langsung?" tanya Ivan sembari melepaskan gaun itu dari tubuh sahabatnya.
"Tentu saja. Bukankah tidak ada yang perlu di perbaiki lagi,"
"Ya," sahut Ivan.
Begitu siap melepaskan gaun tersebut dari tubuhnya, Natasha segera memakai pakaian yang tadi dikenakkannya sebelum memasang gaun. Sementara Ivan melipat gaun tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak. Setelahnya segera memberikannya kembali kepada Natasha.
"Ini. Kau simpan baik-baik, jangan dicoba-coba lagi sebelum tanggalnya tiba," pesan Ivan mewanti-wanti.
"Baiklah," sahut Natasha dan menerima kotak yang berisi gaun pengantinnya. Sejenak kemudian, kedua sahabat yang sudah cukup lama menjalin persahabatan itu bergegas keluar ruangan sembari bercakap-cakap. Ivan dan Natasha memang sudah kenal sejak lama, sejak mereka masih tercatat di salah satu universitas di Jakarta. Setelah sama-sama menyelesaikan kuliah, Ivan menjadi seorang desainer dan membuka sebuah butik di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Karena menjadi seorang desainer adalah cita-citanya dari remaja. Ia memang mencintai dunia fashion sejak dulu. Dan seluruh keluarganya mendukung akan hal itu. Sementara Natasha dulunya bekerja di sebuah perusahaan, dan sejak mengenal Erik, atasannya di perusahaan tersebut, keduanya saling jatuh cinta dan merajut asmara. Hingga akhirnya memutuskan untuk akan segera melangsungkan pernikahan. Natashapun sudah diminta Erik untuk berhenti dari pekerjaannya, sementara ia sendiri masih sibuk bolak balik Jakarta-Jepang demi mengurus bisnisnya di negeri Sakura tersebut.
"Astaga Winda..." seru Natasha sedikit terbelalak melihat sang adik sudah terkapar di sofa yang ada di ruangan depan butik. Sudah segelas es kelapa muda dihabiskannya, dan ponselnya tergeletak begitu saja di meja disamping gelas esnya. Gadis tomboi itu benar-benar sudah tertidur, dan tidak menyadari kehadiran sang kakak dan Ivan.
"Ya Tuhan..." bisik Ivan geleng-geleng kepala.
"Kau lihat kelakuannya?"
"Iya. Apakah dia sudah punya pacar? Aku tidak habis pikir bagaimana pacarnya menghadapi kelakuannya yang cenderung kelaki-lakian begini?" sembur Ivan pula. Natasha hanya geleng-geleng kepala dan mengguncang-guncang tubuh sang adik demi membangunkannya. Tak berapa lama, Winda membuka matanya dan mengusap-usap matanya.
"Lama sekali Kak," omel gadis itu sembari menguap, rasa kantuk masih menyerangnya.
"Ayo cepat bangun. Kita segera pulang. Kau tidak malu, di butik ini banyak orang. Kau malah tertidur," Natashapun mengomeli adik satu-satunya itu.
"Habisnya lama betul. Untung aku hanya tertidur, belum mati bosan,"
"Kau itu selalu begitu. Apa yang kau minum ini?"
"Es kelapa muda," sahut Winda.
"Kau beli dimana?"
"Aku suruh Mbak yang itu untuk membelikannya di depan situ," sahut Winda menunjuk ke pondok yang ada di seberang butik. Natasha dan Ivan ikut memperhatikan dan terbelalak.
"Astaga. Kau suka sekali jajan sembarangan, itu tidak higienis. Pondok di pinggir jalan. Kau lihat banyak sekali debu beterbangan di sekitarnya,"
"Aduh, mulut Kakak itu seperti mulut Mama. Bawel. Yang penting halal,"
"Kalau kau sakit nanti bagaimana?" sembur Natasha gusar.
"Aku sudah sering makan makanan dan minuman begitu Kak. Tidak apa kok. Jangan terlalu bersihlah. Apa-apa yang dimakan harus dilihat higienis atau tidak, cacing-cacing di perut Kakak menderita kalau begitu," omel Winda.
"Ya sudah," ujar Ivan menengahi. "Ini sudah sore, pulanglah. Nanti Mama kalian cemas lagi. Dua anak gadisnya belum pulang juga,"
"Yang akan dicemaskan itu hanya Kak Tasha, bukan aku Bang,"
"Hus, kau ini. Jangan panggil 'Abang'," bisik Natasha.
"Mbak dong," celutuk Ivan dan semua tertawa.
"Ya sudah, kami pulang dulu ya Van," tukas Natasha.
"Oke. Hati-hati di jalan, jangan ngebut bawa mobilnya Winda," pesan Ivan kepada gadis tomboi itu. Winda hanya tersenyum dan meraih ponsel yang diletakkannya di meja. Sebelum kakak-beradik itu keluar dari butik, Ivan ditemui oleh karyawannya karena ada pertanyaan dari seorang pelanggan. Maka dengan tangkas lelaki yang selalu memakai make-up seperti perempuan itu bergegas menemui si pelanggan. Sementara Natasha dan Winda langsung melangkah keluar butik. Mereka langsung menaiki mobil mereka yang terparkir di depan butik tersebut. Tak berapa lama, mobilpun melaju perlahan meninggalkan butik mewah tersebut.
* * *
Sore-sore begini, dimana-mana jalanan kota Jakarta memang selalu diwarnai kemacetan. Maklum, ini jam-jam pulang kantor, jadi kendaraan para karyawan kantoran tersebut memadati jalanan, sehingga timbullah kemacetan. Suara-suara klakson kendaraan memadati telinga Natasha dan Winda yang yang duduk di dalam mobil mereka. Karena geram, Winda yang duduk dibelakang kemudipun, memencet klakson mobilnya beberapa kali.
"Winda, jangan. Bising," omel Natasha gusar.
"Habisnya orang-orang itu membuatku geram. Telingaku pekak mendengar klaksonnya. Mereka pikir hanya mereka yang punya klakson," tukas Winda geram. Natasha hanya mendengus dan geleng-geleng kepala.
"Sabar saja," bisik Natasha lagi. Winda lalu menekan tape mobilnya dan memperbesar volume-nya yang memperdengarkan salah satu lagu One Direction. Natasha benar-benar geleng-geleng kepala dengan kelakuan adiknya itu. Dia dan Winda memang benar-benar berbeda, dia feminim, sedangkan Winda tomboi. Kesukaan merekapun sama sekali bertolak belakang. Natasha yang suka merias penampilan dan wajah, Winda yang begitu slengek-an. Natasha yang suka ke salon atau ke butik, Winda malah suka mendaki gunung atau menonton pertandingan bola atau balap motor. Kadang Natasha mencemaskan adiknya itu, namun mau bagaimana lagi, sifat dan karakter Winda memang tidak bisa diubah lagi.
"Win, Kakak heran padamu. Kau itu suka sekali berdandan seperti laki-laki, mempunyai hobi yang banyak disukai lelaki. Kau sudah punya pacar?" tanya Natasha.
"Apa Kak?" tanya Winda yang tidak mendengar karena suara musik yang begitu keras. Maka, Natasha dengan sigap memperkecil volume musik mobil.
"Kau sudah punya pacar atau belum?" tanya Natasha lagi.
"Pacar?" tanya Winda dan mendadak tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kau malah tertawa? Wajar saja Kakak menanyakan hal itu. Kau sudah dewasa, sudah kuliah," tukas Natasha.
"Heran. Selama ini Kakak tidak pernah bertanya tentang hal itu. Kenapa tiba-tiba sekarang menanyakannya?" sergah Winda sembari menahan gelak tawanya.
"Ya, karena sifatmu ini makanya Kakak sepertinya harus mengetahui tentang hal itu,"
"Aku sudah punya pacar. Namanya Billy, anak band Kak," sahut Winda.
"Anak band? Aduh, pacaran dengan lelaki yang wajar-wajar sajalah,"
"Itulah makanya aku tidak pernah menceritakan hal ini kepada Kakak. Kakak itu bawel seperti Mama. Biar saja, yang penting dia mencintaiku dan akupun mencintainya,"
"Ya. Tapi..." sebelum Natasha sempat meneruskan kata-katanya, sebuah suara klakson mobil di belakang mobil mereka mengagetkan keduanya. Ternyata kemacetan telah mereda, maka dengan segera Winda menekan pedal gas dan mobilpun melaju perlahan. Dalam perjalanan, Winda mengeluarkan sebuah flash disc dan memasangkan di USB tape mobil.
"Coba Kakak dengarkan lagu-lagu di flash disc ini. Ini semua lagu-lagu band-nya Billy," ujar Winda sembari memperbesar volume musik. Terderngarlah sebuah musik rock yang begitu memekakkan telinga. Membuat Natasha mengeryitkan dahi dan geleng-geleng kepala penuh keheranan. Sejenak kemudian, ponselnya berdering. Sebuah telepon masuk dari Erik. Maka mendadak wajah perempuan itu cerah kembali, ia lalu dengan cepat mematikan tape.
"Kok dimatikan Kak?" omel Winda.
"Sebentar. Erik menelepon," bisik Winda dan menjawab telepon masuk itu. "Moshi moshi..." sapa Natasha memakai bahasa Jepang sembari tertawa renyah.
"Hai. Genki desuka?" tanya Erik pula dari seberang sana.
"Apa artinya? Aku tidak tahu," jawab Natasha kebingungan.
"Katanya sudah belajar bahasa Jepang dari Sensei Ikeda,"
"Iya. Tapi aku lupa, Sayang," bisik Natasha terkekeh. Winda yang mendengar hanya mendengus dan geleng-geleng kepala sembari terus mengemudikan mobil. Maklum, gaya pacaran sang kakak memang tidak sesuai dengan gaya pacarannya sendiri. Dia dan Billy mana pernah berbicara mesra-mesra begitu.
"Itu artinya 'apa kabar', Sayang," bisik Erik dari seberang sana.
"Oh iya. Aku baru ingat sekarang," balas Natasha.
"Sayang, di Jakarta sekarang siang atau malam?"
"Sore, menjelang maghrib. Disana?"
"Disini masih pagi," sahut Erik.
"Oh. Kalau begitu, ohaiyou gozaimasu," bisik Natasha tersenyum.
"Ya. Itu kamu benar. Kamu sedang apa? Aku merindukanmu Sayang,"
"Baru saja dari butik Ivan, fitting baju pengantin kita. Ini sekarang sedang on the way menuju pulang," sahut Natasha.
"Kalau begitu kamu sedang menyetir? Ya sudah, nanti saja aku menelepon lagi,"
"Tidak tidak," tukas Natasha cepat. "Yang menyetir Winda kok,"
"Oh. Ohya, apa kabar gadis itu? Sudah lama aku tidak melihat gaya slegek-annya,"
"Baik kok dia," sahut Natasha tertawa renyah. "Sayang, kamu sedang apa?"
"Aku sedang di kantor. Ada waktu senggang, makanya aku meneleponmu,"
"Oh. Kamu kapan jadi balik ke Jakarta?"
"Kemungkinan dua hari lagi Sayang. Begitu urusan disini clear, aku akan secepatnya ambil flight kesana. Aku juga tidak sabar ingin segera kesana, ingin bertemu denganmu. Ingin segera bersanding denganmu di pelaminan," ujar Erik.
"Iya. Aku juga tidak sabar ingin meresmikan hubungan kita," bisik Natasha. Winda mendehem beberapa kali, dan Natasha segera mencubit pinggang sang adik. "Ohya, tadi Ivan pesan, katanya begitu kamu sampai di Jakarta langsung temui dia, kamu kan belum fitting baju pengantin kita," sambung Natasha.
"Oh iya. Aku hampir melupakan hal yang satu itu. Ivan apa kabar?"
"Dia baik kok,"
"Masih sama seperti dulu? Dengan gaya eksentrik-nya?"
"Ya iyalah. Ivan itu tidak akan pernah berubah," sahut Natasha. Erik tertawa. "Kamu sudah sarapan Sayang?" tanya Natasha lagi.
"Sudah. Tadi aku sarapan di apartemen, pakai bubur ayam Bandung. Aku rindu masakan Indonesia, makanya aku sengaja pesan ke restoran Indonesia yang ada disini. Sudah beberapa minggu ini makan masakan Jepang terus. Untungnya disini terdapat restoran Indonesia, jadi gampang kalau ingin merasakan masakan Indonesia. Walaupun, rasanya tidak selezat yang di Indonesia asli sih," cerita Erik.
"Ya. Aku tidak sabar ingin menjadi istrimu. Bisa membuatkan sarapan untukmu setiap pagi, menyiapkan pakaian kantormu. Aku ingin ini tidak sekedar angan-angan Sayang,"
"Tentu. Impian kita akan segera terwujud Sayang. Kamu doakan agar urusanku disini segera selesai, agar aku bisa kembali ke Jakarta,"
"Ya Sayang," sahut Natasha manja.
"Oke. Sudah dulu ya Sayang, aku harus kembali bekerja. Salam untuk Winda, Papa, dan Mama, kalau kamu sudah sampai dirumah," pesan Erik.
"Ya. Ini sudah hampir sampai. Ya sudah, Sayonara,"
"Bubbye honey," sahut Erik dan mematikan hubungan pembicaraan. Natasha kembali meletakkan ponselnya begitu pembicaraan sudah berakhir. Tidak pernah hilang garis senyum dibibirnya, setelah berbicara dengan sang kekasih yang akan segera menjadi suaminya itu. Winda yang diam-diam memperhatikan gelagat sang kakak, hanya mendengus.
"Ohya, tadi ada salam dari Erik buatmu Win," ujar Natasha.
"Oh. Iya," sahut Winda cuek. "Norak sekali cara pacaran kalian," komentar Winda.
"Norak bagaimana?"
"Ya, kalau menurutku itu norak. Karena gaya pacaranku dengan Billy tidak pernah bicara mesra begitu. Bahkan kami saling ledek, saling berkata kasar. Gokil," ujar Winda mengeluarkan suara paraunya dan tertawa serak.
"Tunggu, yang kau sebut Billy itu Ababil Ichsan, teman kampusmu yang pernah kau kenalkan dengan Kakak?" tanya Natasha mengingat-ingat.
"Iya. Panggilannya Billy Kak," sahut Winda.
"Ya ampun Win, itu anak terlalu amburadul. Tidak ada rapi-rapinya sama sekali. Rambutnya gondrong, pakaiannya berserakan, ada tato lagi ditangannya. Ih, masa kamu mau dengan model yang seperti itu. Memangnya tidak ada pemuda lain?"
"Ada. Tapi tidak ada yang aku suka. Hanya Billy yang kusuka Kak. Dan jangan pernah berkomentar macam-macam tentang kekasihku. Bagaimanapun dia, dia sempurna bagiku,"
"Ya sudah, terserah kau saja. Kakak hanya bisa berdoa dan berharap agar kau dengannya nantinya bisa bahagia," ujar Natasha lemah. Ia menoleh ke jalanan di depan, dan sejenak kemudian, ketika melewati sebuah rumah, ia mendadak berseru menyuruh Winda menghentikan mobil. Sontak, gadis tomboi itu terkejut dan menginjak pedal rem secara mendadak.
"Ada apa sih Kak? Bikin kaget saja. Untung tidak ada mobil di belakang," omel Winda.
"Itu rumah Sensei Ikeda. Aku belum memberikan undangan untuknya," tukas Natasha.
"Sensei Ikeda itu siapa?" tanya Winda.
"Guru bahasa Jepang-ku. Aku lupa memberikan undangan untuknya, untungnya masih ada bersisa. Segan kalau tidak diberi undangan,"
"Ya sudah, aku tunggu di mobil saja. Cepat turun, dan tidak usah lama-lama. Sebentar lagi maghrib," pesan Winda. Natasha mengangguk dan meraih kertas undangan yang diselipkannya di punggung jok mobil. Setelah meraihnya, perempuan berparas manis itu segera menuruni mobil dan melangkah menuju ke dalam rumah yang dimaksud. Winda hanya memperhatikan dari dalam mobil, sesekali, ia mengotak-atik ponselnya lagi.
"Sensei, genki desuka?" seru Natasha begitu seorang perempuan Jepang membukakan pintu. Ia sudah hapal bahasa yang tadi diucapkan sang kekasih di telepon.
"Natasha san. Hai', genki desu," sahut Ikeda, nama perempuan Jepang itu.
"Sensei, saya kemari mau memberikan undangan pernikahan saya dengan Erik nantinya. Tanggal 27 bulan ini. Masih ada tiga minggu lagi. Sensei datang ya," ujar Natasha, karena memang Ikeda sudah menguasai bahasa Indonesia. Sejak menjadi istri Lukman Hermawan, seorang Indonesia, Ikeda benar-benar sudah menguasai bahasa Indonesia.
"Tentu. Saya pasti datang. Selamat ya," jawabnya dengan bahasa Indonesia yang terbata.
"Iya Sensei. Ohya, saya tidak bisa lama-lama. Ini sudah hampir malam,"
"Tidak masuk dulu?" Ikeda berbasa-basi.
"Tidak usah Sensei. Lain kali saja," sahut Natasha, dan setelah berpamitan dengan Ikeda, perempuan itu kembali ke mobil dan masuk. Sebelum mobil berjalan, Natasha melambaikan tangan kepada guru bahasa Jepangnya itu, dan Ikeda membalasnya sembari tersenyum.
"Hebat Kakak, punya kenalan orang Jepang," komentar Winda di perjalanan.
"Dulu Erik yang memperkenalkannya padaku. Beliau itu adalah gurunya Erik juga. Dan aku disuruh Erik untuk belajar bahasa Jepang dengannya, karena siapa tahu nanti aku dan Erik akan pindah ke Jepang setelah kami menikah," cerita Natasha.
"Apa? Kakak akan ke Jepang?" sembur Winda kaget.
"Belum pasti. Lihat saja nanti. Sesungguhnya aku juga tidak tega meninggalkan adikku ini," celutuk Natasha. Winda mencibir ke arahnya. Tak berapa lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan rumah. Winda turun dengan tangkas lalu membuka pintu pagar, setelahnya kembali ke mobil dan memasukkan mobil ke dalam garasi dan menutup pintu pagar kembali. Natasha keluar dari mobil dan berjalan beriringan dengan Winda memasuki rumah mereka.
* * *

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang