Bab Tiga Belas

87 7 5
                                    

Tidak pernah sekejappun Natasha tertidur malam ini, hingga fajar menyingsing. Ketika sinar mentari menyeruak masuk dari jendela kaca butik Ivan, matanya masih saja terbuka. Dan ia masih terus meneteskan air mata. Ia pilu sekali ketika mengingat nasibnya sendiri. Oh betapa malangnya ia, ketika disadarinya bahwa kekasih hatinya, lelaki yang begitu dicintainya, dan yang akan menjadi suaminya, telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkannya. Dan betapa getirnya lagi ketika ia harus menerima kenyataan pahit itu, dan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak dicintainya. Oh, mengingat itu semua, Natasha tak henti meneteskan air mata kepedihan.
Ivan yang datang dari belakang membawakan secangkir teh hangat untuk sahabatnya itu, hanya mendengus dan geleng-geleng kepala ketika melihat Natasha. Ia mengusap pundak perempuan itu, Natasha menoleh padanya dan tersenyum hambar. Ivan dapat melihat mata perempuan itu yang sembab, mungkin karena kelamaan menangis dan semalaman tidak tidur.
"Tash, berhentilah menangis begini. Minumlah teh ini," ujar Ivan dan memberikan cangkir berisi teh hangat tadi kepada Natasha. Perempuan itu menerimanya dan meminum isinya.
"Terima kasih Van," bisik Natasha. Ivan duduk disamping sahabatnya itu.
"Natasha, kapan kau akan siap menerima kenyataan ini? Kapan kau akan tersenyum lagi?" tanya Ivan gusar. Natasha menggeleng lemah.
"Rasanya baru kemaren aku berkenalan dengan Erik, berpacaran dengannya, menghabiskan hari-hariku bersamanya. Oh, kejadian itu begitu lekat dikepalaku. Dan rasanya itu semua terjadi baru kemaren," ujar Natasha lemah.
"Dan sekarang Erik sudah pergi Natasha, dia sudah meninggal dunia. Kau harus dapat menerimanya. Kau tidak akan dapat bersatu lagi dengannya,"
"Tidak Van," sergah Natasha cepat. "Kau salah. Walaupun Erik sudah tiada, aku tetap akan menikah dengannya. Walau hanya dengan nisannya saja. Aku dan Erik masih bisa bersatu,"
"Jangan gila Natasha," tukas Ivan. "Siapa yang akan merestui pernikahan gila semacam itu? Kau jangan mengukir sejarah baru. Tidak pernah selama ini ada orang yang menikah dengan nisan kekasihnya. Itu benar-benar tidak masuk akal,"
"Aku tidak butuh restu dari siapapun, yang penting aku bahagia,"
"Aku tidak habis pikir denganmu Tash," keluh Ivan seperti kehilangan akal. Ia kemudian diam sekian lama, tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Sebab tidak mungkin rasanya bagi Natasha dapat menerima nasehat siapapun saat ini. Otaknya seolah kehilangan pemikiran jernih.
Sekitar pukul delapan pagi, sebuah mobil berhenti persis di depan butik Ivan. Lelaki itu yakin sekali kalau itu adalah keluarga Natasha datang menjemput sesuai isi pesan singkat yang mereka kirim tadi malam. Sementara Natasha kelihatan mulai cemas.
"Siapa itu Van?" tanyanya gusar.
"Mungkin pelanggan," jawab Ivan berbohong.
"Sepagi ini?"
"Ya. Bisa jadi," tukas Ivan lagi. Tak berapa lama kemudian, pintu butik Ivan terbuka dan masuklah beberapa orang dengan paksa. Natasha langsung terbelalak luar biasa ketika disadarinya yang masuk itu adalah keluarganya. Kedua orang tuanya, orang tua Erik, adiknya, dan Reihan, orang yang akan dinikahkan dengannya itu.
"Ivan, aku harus pergi," tukasnya dan berniat berlari menuju belakang. Namun Ivan menahannya dengan menggenggam lengan perempuan itu.
"Kau tidak bisa pergi Natasha. Kau tidak bisa menghindar dari takdir,"
"Lepaskan aku Ivan," hardik Natasha geram.
"Maafkan aku Tash, kali ini aku terpaksa membuatmu sedikit sakit,"
"Natasha, kembalilah pulang," tegur Hadinoto pertama kali menghampiri putrinya itu.
"Aku akan pulang asalkan Papa mengikuti keinginanku, nikahkan aku dengan Erik, walau hanya dengan nisannya saja," tukas Natasha. Hadinoto tercengang.
"Tidak mungkin Natasha, tidak mungkin. Tidak akan ada yang akan menikahkanmu dengan batu nisan itu,"
"Kalau begitu Tasha tidak mau pulang," ungkap Natasha.
"Tasha, sadarlah Nak. Tidak ada yang bisa menikah dengan benda mati. Batu nisan itu hanya benda mati Natasha," tukas Anggun pula.
"Bagi Tasha itu adalah Erik Ma. Jiwa Erik ada disitu,"
"Tash, kalau kau tidak mau menikah denganku, it's okay. Fine. Carilah pemuda lain yang dapat membahagiakanmu. Tapi tidak untuk ide gilamu menikah dengan batu nisan itu," sembur Reihan ikut-ikutan panik.
"Tidak ada pemuda lain yang dapat membuatku bahagia selain Erik," jawab Natasha.
"Kenapa Erik lagi Erik lagi Erik lagi? Ketahuilah Natasha, dia sudah meninggal," tukas Reihan lantang. Suaranya bahkan menggema diseantero ruangan. Ia bahkan kini tidak peduli lagi bahwa disana juga ada orang tua Erik, Indra dan Sylvana.
"Tutup mulutmu Reihan, kau tidak berhak berkata begitu," sergah Natasha.
"Om, sebaiknya nikahkan saja Natasha dengan Reihan," usul Ivan pula. "Aku yakin setelah pernikahan itu nantinya Natasha dapat berubah setelah merasakan kebahagiaan dengan pernikahannya itu. Dan bayangan Erik pasti akan sirna perlahan-lahan dari otaknya. Kapan perlu setelah menikah suruhlah mereka bulan madu ke tempat yang jauh dan damai,"
"Ivan, kau gila. Aku tidak mencintainya, aku tidak mau menikah dengannya,"
"Tasha, benar apa yang dikatakan Ivan. Sekarang juga kita ke penghulu, kau dan Reihan akan langsung menikah hari ini juga," ujar Hadinoto tegas.
"Tidak mau," kilah Natasha. Namun tangannya segera ditarik oleh Hadinoto dan menyeretnya ke mobil. Anggun dan Winda beserta Sylvana menahannya agar ia tidak dapat kabur lagi. Sementara itu, Indra yang membawa mobil dan Ivan menyusul dengan mobilnya sendiri di belakang.
* * *
Hari ini, Natasha sudah dirias sedemikian rupa oleh Ivan di dalam kamarnya. Dikenakkan baju kebaya yang menarik, rambutnya disanggul, wajahnya di poles dengan make-up. Ia menyerupai seorang bidadari dari surga. Namun, meski begitu, tidak sedikitpun ada rona kebahagiaan terpancar dari wajah Natasha. Ia masih murung dan bersedih.
"Tasha, tersenyumlah. Hari ini adalah hari bahagiamu. Kau akan menikah," bisik Ivan.
"Bagaimana aku dapat tersenyum jika aku menikah dengan orang yang tidak kucintai," ujar Natasha meneteskan air mata. Ivan mendengus. Sejenak kemudian, Winda memasuki kamar dan menghampiri kedua orang itu. Ia mematut kakaknya dan tersenyum manis.
"Kakak cantik sekali, seperti bidadari dari surga. Aku berjanji, aku tidak akan tomboi lagi. Aku ingin cantik seperti Kakak. Ohya, perlu Kakak ketahui, Billy datang kesini. Dia sudah on the way, nanti aku perkenalkan dia pada Kakak ya," ujar Winda. Natasha tidak menjawab, ia menyeka air matanya dan menoleh kepada adik satu-satunya itu.
"Kamu beruntung dapat bersatu dengan lelaki yang mencintai dan kau cintai," bisik Natasha tersenyum getir. Winda tiba-tiba kehilangan senyumnya.
"Kak, kita tidak pernah tahu akan takdir kedepannya. Dan Kakak jangan pernah merasa tidak beruntung. Kakak itu terlalu beruntung, karena diberikan fisik yang sempurna, lelaki yang gagah, dan yang akan menjadi pemimpin Kakak nantinya," ujar Winda.
"Kakak tidak mencintainya Winda. Haruskah aku menikah tanpa rasa cinta ini?"
"Cinta bisa datang seiring berjalannya waktu Kak. Seperti kata Mama, dulu dia dan Papa juga tidak saling cinta. Bahkan mereka hanya bertemu beberapa hari sebelum menikah. Tidak pernah pacaran, karena mereka dijodohkan. Tapi buktinya, pernikahan mereka awet sampai sekarang. Kakak dan Mas Reihan nanti pasti juga akan awet," tukas Winda. Natasha tiba-tiba sesegukan. Ia dapat mambayangkan betapa pilunya nasibnya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dicintainya, meski orang itu pernah hadir di masa lalunya, dan yang pernah ia cintai. Tapi saat ini, rasa cintanya sudah habis untuk Reihan. Rasa cintanya kini hanya untuk Erik seorang. Tetapi mengapa malah ia harus menikah dengan Reihan? Oh, pilunya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka lagi, dan Andien melongokkan kepalanya dari luar.
"Hei, Reihan sudah siap dan Pak penghulu serta keluarga semua sudah hadir. Ayo segera turun. Mereka hanya menunggu kamu saja Natasha," ujar Andien.
"Ya," sahut Ivan. "Ayo Tash," bisiknya pula kepada Natasha. Sejenak Natasha mengusap matanya yang tak henti meneteskan air mata itu.
"Van, Win, Mbak Andien, beri aku waktu lima menit saja. Ijinkan aku sendirian di kamar ini. Nanti aku akan turun," bisik Natasha. Ivan dan Winda saling pandang, namun sejenak kemudian, mereka mengangguk dan melangkah perlahan meninggalkan Natasha seorang diri. Natasha masih duduk di depan kaca rias itu ketika mereka keluar dari kamar dan menutup pintu. Selepas kepergian orang-orang itu, Natasha menghela napas berat. Hatinya masih saja belum bisa menerima pernikahan terpaksa ini. Ia tidak henti mendengus dan sejenak kemudian, ia memejamkan mata dalam diam. Suasana kamar itu begitu sunyi, senyap, tidak ada suara apapun yang dapat ditangkap gendang-gendang telinga Natasha. Hingga akhirnya, sayup-sayup ia mendengar bunyi langkah kaki seseorang mendekat kepadanya. Sentuhan lembut dipundaknya akhirnya membuat Natasha perlahan membuka matanya. Ia menatap dirinya di kaca, ternyata kali ini ia tidak lagi sendirian di dalam kamar itu. Ada Erik berdiri dibelakangnya dan memegang pundaknya dengan begitu mesra. Wajah lelaki itu bercahaya, ia memakai pakaian serba putih.
"Selamat menempuh hidup baru Natasha. Aku bahagia jika kaupun merasa bahagia bersamanya," bisik Erik lembut. Ia tidak henti tersenyum. Natasha terperangah.
"Erik..." bisik Natasha bergetar. "Kau datang lagi. Erik, bawa aku dari sini. Bawa aku ke surga, ke tempat keabadian. Disana kita dapat bersatu kembali, mempertautkan cinta kita lagi,"
"Natasha, alam kita sudah berbeda. Kita tidak dapat bersatu lagi Natasha. Aku hadir disini, ingin menjadi saksi hari pernikahanmu ini," ungkap Erik tulus.
"Tidak," sergah Natasha bangkit berdiri dan menghadap Erik. "Aku tidak dapat menikah dengan Reihan, aku ingin menikah bersamamu Erik,"
"Tapi kita sudah tidak dapat bersatu lagi. Turunlah, dia sudah menunggumu. Aku bahagia Tasha, aku bahagia jika kau menikah bersamanya," bisik Erik dan mencium kening perempuan itu. Sejenak kemudian, ia berjalan menjauh dan tubuhnya semakin mengecil di pandangan Natasha, hingga tidak nampak lagi. Erik sudah hilang. Natasha mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, dan Erik tidak pernah kelihatan lagi. Tanpa terasa bening bergulir dari ruang mata Natasha, ia rasanya tidak sanggup lagi jika harus kehilangan Erik. Maka, iapun mulai mencari akal bagaimana caranya menggagalkan pernikahannya bersama Reihan. Ia berharap dapat bersatu juga dengan Erik, lelaki yang dicintainya. Bukan dengan Reihan, lelaki yang sama sekali tidak dicintainya lagi. Natasha akhirnya mendapatkan akal, ia menarik selimut dan spreinya lalu menyambungkan keduanya membentuk sebuah tali yang cukup panjang. Pangkal tali itu diikatkannya di salah satu besi pagar teras kamar. Dan dengan tali panjang itu, ia menuruni kamar menuju halaman depan. Ia tahu, kalau ia kabur melalui ruang depan, tentu orang dapat melihatnya. Maka, cara alternatifpun ditempuhnya. Setelah sampai di halaman depan, Natasha segera berlari menuju keluar rumah. Ia menyetop sebuah taksi yang kebetulan saja lewat. Dengan menumpangi taksi tersebut, Natasha yang masih memakai kebaya dan hiasan bak seorang pengantin itu kabur di hari pernikahannya. Menuju tempat yang seharusnya, pusara Erik, lelaki yang dicintainya. Yang diingininya menjadi suami sah baginya.
* * *
Sudah hampir setengah jam dan Natasha belum juga keluar dari kamarnya. Seluruh tamu yang hadir mulai resah. Terutama orang tua perempuan itu. Sementara Indra dan Sylvana yang ikut hadir menjadi saksi acara sakral itu terlihat saling pandang dengan kebingungan. Sementara itu Winda, yang duduk bersama Billy disampingnya, kelihatan begitu gusar. Baru kali ini, Winda memperkenalkan kekasihnya itu kepada orang tuanya. Ivan dan Andienpun kelihatan mulai cemas, jangan-jangan Natasha melakukan sesuatu lagi. Sementara itu Reihan yang sudah siap duduk dihadapan penghulu, tidak henti menyorotkan pandangan keresahan.
"Masih lama calon pengantin wanitanya?" tanya penghulu mulai resah pula. Seluruh yang hadir diruangan itupun riuh.
"Sebentar Pak," jawab Hadinoto. "Winda, kau lihat kakakmu," bisiknya pula kepada putri bungsunya. Winda mengangguk dan segera undur diri dari hadirin. Gadis itu melangkah menuju lantai dua. Tak berapa lama kemudian, suara teriakannya menggema diseantero ruangan. Seluruh yang ada sontak menoleh kepadanya. Hadinoto, Anggun, Indra, Sylvana, Reihan, Ivan, dan Andien segera menyusul Winda menuju lantai dua.
"Ada apa Win?" tanya Reihan pertama kali.
"Kak Tasha tidak ada di dalam kamarnya Mas," tukas Winda panik.
"Sudah kau cek yang benar?" tanya Hadinoto pula.
"Sudah. Selimut dan spreinya tergantung diteras kamar," jawab Winda cepat. Semua segera menghambur ke dalam kamar dan memeriksa kamar itu. Reihan menemukan sprei dan selimut itu memang terikat disalah satu besi pada pagar teras kamar. Benda itu menggantung ke bawah hingga ke halaman depan yang ada dibawah kamar.
"Om, kurasa Natasha kabur melalui jalan ini," ungkap Reihan. Hadinoto menghampiri pemuda itu dan meraih tali panjang yang sudah dibuat Natasha. Ia perlahan menangis dan meratap. Tidak disangka Natasha telah mempermalukan keluarganya seperti ini. Dengan cara kabur di hari pernikahannya, Natasha sudah mempermalukan pihak keluarganya juga.
"Maaf Om. Sepertinya Natasha memang tidak bisa menikah dengan saya. Saya tidak bisa menjadi suami dari orang yang tidak mencintai saya Om," ungkap Reihan lemah.
"Tapi kemana Natasha? Kemana dia?" tanya Hadinoto pula.
"Jangan-jangan dia..." ucap Anggun tertahan.
"Sepertinya aku tahu kemana dia," tukas Reihan pula memotong.
"Memangnya kemana?" tanya Hadinoto cepat. Ia memandang Reihan dengan pandangan penuh tanda tanya. Reihan tidak segera menjawab, ia diam sejenak. Menghela napas, baru kemudian segera mengatakan firasatnya tentang keberadaan Natasha.
"Dikuburan Erik," jawabnya pasti.

To be continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang