Bab Empat

34 5 0
                                    

Reihan baru saja selesai mandi ketika pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Pria berkumis tipis itu segera memakai baju dan membuka pintu kamarnya. Ketika pintu kamar terbuka, pembantunya sudah berdiri dibalik pintu.
"Ada tamu Den," ujar si pembantu.
"Tamu? Siapa Bik?" tanya Reihan penasaran.
"Seorang perempuan. Bibik tidak kenal. Katanya teman lama Aden," ujar si pembantu lagi. Reihan mengernyitkan dahi, lalu setelah memperbaiki penampilan sebentar ia bergegas menuruni tangga rumah dan menemui orang yang dimaksud si pembantu. Dari tangga, Reihan dapat melihat seorang perempuan duduk disofa ruang tamunya. Wajahnya tidak begitu jelas, karena tertutupi poninya. Aneh, siapa yang mencariku sore-sore begini, pikir Reihan.
"Maaf. Anda mencari saya?" tanya Reihan begitu sampai di sofa. Perempuan yang dimaksud mengangkat wajahnya dan menatap Reihan. Reihan sedikit kaget dan tercengang tatkala bertemu pandang dengan tamunya. Seorang wanita yang pernah hadir dimasa lalunya. Mantan kekasihnya, ia masih ingat wajah perempuan itu.
"Apa kabar Rei?" tanya Natasha, perempuan itu, mengulurkan tangannya.
"Natasha?" bisik Reihan. Ia segera menjabat tangan Natasha. "Baik. Kau bagaimana?" sambungnya dan duduk dihadapan Natasha.
"Aku juga baik. Ohya, sudah cukup lama kita tidak bertemu,"
"Iya. Sekitar tiga tahun ya? Aku lupa," bisik Reihan mengingat-ingat.
"Ya. Sekitar itulah. Ohya, ibumu apa kabar?" tanya Natasha lagi. Mendadak rona diwajah Reihan berubah seketika. Ia terlihat sedih dan terpukul.
"Ibu sudah meninggal Tash. Satu tahun yang lalu," bisik Reihan pilu.
"Ya Tuhan, aku tidak tahu," sesal Natasha. "Maafkan aku,"
"Tidak apa," jawab Reihan.
"Kenapa? Setahuku beliau sehat-sehat saja,"
"Iya. Kecelakaan. Dalam perjalanan menuju Semarang waktu itu," kenang Reihan, dan segera mengusap air matanya yang mulai berlinang. "Ohya, sebentar. Aku buatkan minum,"
"Tidak usah Rei. Aku tidak lama. Aku kesini hanya mau mengantarkan ini," tukas Natasha memberikan sebuah undangan kepada pria yang duduk dihadapannya itu. Reihan meraihnya dan membukanya. Sejenak kemudian, tersungging senyum diwajahnya.
"Jadi kau akan menikah?" serunya senang.
"Iya. Tanggal 27 bulan ini. Kau datang ya,"
"Pasti. Ohya, selama ini kau tidak pernah memperkenalkanku dengan calonmu,"
"Maklum, kita sudah lama tidak berkomunikasi Rei. Ohya, aku tidak bisa lama-lama, soalnya Winda sudah menungguku diluar," ujar Natasha pula.
"Oh. Jadi kau dengan Winda? Kenapa dia tidak masuk?"
"Kau tahu sendirilah bagaimana kelakuan adikku itu. Ya sudah, kuharap kau akan datang nantinya," tukas Natasha dan bangkit berdiri. Reihanpun berdiri pula dan mengantarkan Natasha sampai di pintu pagar.
"Ohya Rei, kau masih..." Natasha menggantung kalimatnya.
"Lajang maksudmu?" tiba-tiba Reihan memotong. "Ya Tash, aku masih lajang,"
"Ya. Itu maksudku. Oh, kapan kau akan berencana mengakhiri masa lajang?"
"Belum tahu. Aku saja belum mendapatkan calonnya," jawab Reihan sedikit terkekeh. Natasha sempat tercengang, namun ia cepat-cepat memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya dia menunjukkan sikap demikian dihadapan Reihan. Kesannya dia seolah meremehkan, karena ia lebih dulu menemukan pasangan. Namun toh, jodoh Tuhanlah yang mengatur.
"Ya sudah, aku pulang dulu," ujar Natasha begitu sampai di depan pintu pagar. Mobilnya terparkir persis di depan pagar itu.
"Iya," sahut Reihan tersenyum. Tiba-tiba Winda menurunkan kaca jendela dan melongokkan kepalanya keluar.
"Mas Reihan," seru gadis tomboi itu.
"Hei Win. Tidak masuk dulu?" ajak Reihan berbasa basi.
"Tidak usah Mas. Lain kali saja," jawab Winda. Natasha segera menaiki mobil dan duduk dijok samping pengemudi. Sebelum mobil melaju, Natasha melambaikan tangan kepada mantan kekasihnya itu. Ia juga tersenyum, dan Reihan membalasnya.
"Jangan lupa datang ya," seru Natasha sebelum mobil benar-benar melaju meninggalkan rumah Reihan. Reihan mengangguk pasti.
"Pasti," sahut Reihan. Sejenak kemudian, tubuh Reihan terlihat semakin mengecil dari spion. Natasha mendengus, dan menutup jendela kaca mobilnya lagi.
"Makin ganteng saja Mas Reihan ya Kak," komentar Winda di perjalanan.
"Ya. Tapi tidak kusangka bahwa dia masih lajang dan belum mendapatkan calon. Yah, tapi jodoh memang merupakan misteri Ilahi. Aku bersyukur diberi kesempatan untuk segera menikah, dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi istri dari lelaki yang begitu kucintai," bisik Natasha penuh rasa syukur. Winda hanya mendengus dan geleng-geleng kepala. Ia terus memperhatikan jalanan hitam di depannya, dan mengendalikan lari mobil.
* * *

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang