Mata Natasha terbuka perlahan karena mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Perempuan itu mengusap matanya yang sembab dan bangkit dari tidur. Ia melirik sekilas ke jam sebelum membuka pintu. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ya Tuhan, dia kesiangan. Ia masih ingat, tadi malam, ia tidak bisa tidur. Ia terus saja menangis sepanjang malam, sampai akhirnya tertidur begitu saja dalam lautan air mata. Hingga suara ketukan di pintu kamar pagi ini, membangunkannya kembali.
Natasha membuka pintu kamar dan sedikit terjingkat melihat sesosok wajah tampan yang berdiri dibalik pintu kamarnya. Reihan Ramadhan, lelaki itu, tersenyum padanya. Namun Natasha hanya membalas tanpa ekspresi.
"Guten morgen..." sapa Reihan dan memberikan sekuntum mawar merah kepada Natasha.
"Maksudnya?" tanya Natasha tidak mengerti.
"Selamat pagi. Kau sudah lupa bahasa Jerman?"
"Oh. Ya, aku sedikit melupakannya. Karena kemaren harus fokus belajar bahasa Jepang," jawab Natasha, dan sejenak pikirannya kembali dihantui sosok Erik ketika mengingat dan menyebut Jepang. Karena Erik memang bekerja disana. Lalu ia melirik kepada bunga mawar merah yang diacungkan Reihan kepadanya.
"Lalu ini apa maksudnya?" tanyanya tidak mengerti.
"Bunga yang cantik untuk gadis yang cantik," tukas Reihan tersenyum manis. "Aku berusaha bersikap romantis, walaupun terkesan norak. Tapi kuharap kau mau menerima dan menghargai usahaku ini," sambung Reihan.
"Kau mau menghinaku? Bukankah kau tahu aku sedang berduka? Aku tidak suka dengan caramu," tukas Natasha dan berniat menutup pintu kamarnya, namun Reihan menahannya.
"Dukamu sudah berlalu Tash, dan sekarang kau harus kembali move on. Lupakan kesedihan, tataplah dunia dengan senyumanmu yang baru," ujar Reihan.
"Kau pikir gampang? Bicara memang enak Rei," sergah Natasha ketus.
"Makanya kau harus berusaha untuk bangkit kembali Tash," tukas Reihan. "Aku akan membantumu," sambungnya lagi. Sejenak Natasha terdiam, air mata kembali melinangi rongga matanya.
"Kau dapat membantu apa hah? Apa yang dapat kau lakukan untuk mempersatukanku dengan Erik lagi?" tanya Natasha dengan bibir gemetar. Kali ini, Reihan yang terdiam.
"Ikutlah denganku. Kau akan melihat Erik," jawabnya kemudian. Natasha mengernyitkan dahi, pertanda ia tidak mengerti.
"Memangnya..."
"Sudah. Sekarang kau mandi dan bersiap-siap. Sepuluh menit kurasa cukup. Aku akan menunggumu dibawah," sergah Reihan memotong ucapan Natasha. Sejenak kemudian, Natasha terlihat bersemangat. Ia mengangguk dan menghapus air matanya.
"Baiklah. Aku akan segera siap," tukasnya cepat.
"Tunggu. Kau harus menerima bungaku ini. Dan tersenyumlah," sergah Reihan lagi. Natasha melirik bunga mawar merah yang masih diacungkan pemuda itu padanya. Kemudian, iapun meraihnya dan tersenyum manis.
"Kau cantik sekali kalau tersenyum," puji Reihan sembari tersenyum pula. "Baiklah, aku tunggu dibawah. Sepuluh menit dari sekarang," sambungnya dan segera meninggalkan pintu kamar Natasha. Pemuda itu bergegas menyusuri tangga dan menemui Hadinoto, Anggun, dan Winda yang tengah sarapan pagi diruang makan.
"Bagaimana Rei?" tanya Anggun pertama kali. Reihan duduk disamping Winda.
"Saya akan berusaha Tan. Pagi ini, saya akan ajak dia jalan-jalan," jawab Reihan.
"Reaksinya bagaimana?" tanya Hadinoto pula antusias.
"Dia kelihatan senang, karena tadi saya mengiming-iminginya dapat melihat Erik," tukas Reihan. Hadinoto dan Anggun saling pandang.
"Mas Reihan bagaimana sih? Buat Kak Tasha melupakan Mas Erik, bukan mengingatkan dia terus tentang nama itu," tukas Winda pula. Reihan mendengus dan menoleh kepada gadis itu.
"Ya Win. Tapi butuh proses, tidak segampang membalikkan telapak tangan. Kita harus pelan-pelan, dan semoga saja dia dapat menerima kenyataan ini nantinya," jawab Reihan.
"Ya sudah, kami semua berharap darimu Rei," bisik Anggun pula. Reihan tersenyum hambar dan mengangguk lemah. Meski ia tidak yakin, tapi akan tetap dicobanya. Tak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki Natasha menghampiri ruang makan. Dan benar saja, perempuan itu sudah muncul dengan wajah yang sedikit lebih fresh dari biasanya. Ia mengenakkan gaun yang simpel, rambut digerai sepunggung, dan sentuhan make-up yang natural.
"Sudah siap?" tanya Reihan melihat perempuan yang masih dicintainya itu.
"Ya," jawab Natasha mengangguk.
"Baiklah Om, Tante, Winda, kami jalan dulu," ujar Reihan kepada keluarga Natasha.
"Ya. Hati-hati, jangan pulang terlalu larut," pesan Anggun seperti kebanyakan ibu lain. Reihan mengangguk sopan dan setelahnya melangkah meninggalkan ruang makan bersama dengan Natasha. Reihan sengaja tidak memarkir mobilnya di dalam pekarangan rumah, agar memudahkannya. Ia menghentikan dan memarkir mobilnya tadi di depan pagar rumah Natasha. Dan ketika sudah sampai dimobil, Reihan terlebih dulu membukakan pintu untuk Natasha agar perempuan itu dapat masuk dengan cepat. Setelahnya, ia baru masuk dan duduk dibelakang kemudi. Sebelum menjalankan mobil, terlebih dulu Reihan memakai safety belt dan kaca mata hitamnya. Kemudian, baru menekan pedal gas dan mobilpun berjalan perlahan.
"Kita kemana?" tanya Natasha di dalam perjalanan.
"Sudah. Ikut saja. Duduk manis di tempatmu, dan jangan banyak bertanya," tukas Reihan.
"Rei, kau tidak membohongiku bukan?" tanya Natasha lagi. Reihan menoleh kepadanya.
"Sudah kubilang bukan, jangan banyak bertanya. Sekarang, kau dengarkan musik ini," tukas Reihan lagi dan menyalakan tape recorder di mobilnya. Tak berapa lama lagu Moving On yang dinyanyikan oleh penyanyi solo Andien menghiasi perjalanan mereka. Reihan terlihat bersenandung mengikuti lirik dan irama lagu, ia melirik sekilas kepada Natasha yang duduk disampingnya. Natasha masih saja memperlihatkan wajah gundah.
"Hei, tersenyumlah. Sudah kubilang, kau itu cantik kalau tersenyum," bisik Reihan.
"Aku belum bisa sebelum aku dapat melihat keberadaan Erik," balas Natasha berat. Sejenak kemudian Reihan mendengus dan mengusap rambut Natasha perlahan.
"Ohya, kenapa kau tidak bekerja lagi? Kudengar dari Winda katanya kau sudah berhenti dari pekerjaanmu," ujar Reihan.
"Ya. Erik yang memintaku untuk berhenti, ia mau agar aku fokus mengurus rumah saja. Karena kami memang berencana akan segera menikah begitu ia kembali dari Jepang," jawab Natasha dan air mata berlinang kembali disudut matanya. Reihan mendengus, ia pikir dengan bertanya begitu, ia dapat menghilangkan Erik dari pikiran Natasha. Ternyata sebaliknya, itu justru semakin mengingatkannya.
"Bagaimana kalau kau bekerja lagi? Ditempatku ada lowongan. Kau lulusan akuntansi bukan? Dan IPK-mu cukup baik, kurasa kau dapat diterima disana. Apalagi atas rekomendasi dariku, itu pasti akan lebih dipertimbangkan lagi,"
Natasha menatap Reihan. "Erik tidak ingin aku bekerja Rei,"
"Tapi..." potong Reihan, dan sejenak kemudian iapun terdiam. Oh, rasanya belum saatnya ia menjelaskan kepada Natasha tentang calon suaminya itu yang sudah meninggal dunia. Ini belum saatnya, Reihan yakin itu. Maka dari itu, ia tidak jadi meneruskan kalimatnya.
"Memangnya kau bekerja dimana?" tanya Natasha pula.
"Aku bekerja disebuah perusahaan yang bergerak di bidang retail. Aku bagian Area Coordinator," ungkap Reihan sambil tersenyum manis. Natasha manggut-manggut. "Ohya, kau belum sarapan ya, kita singgah di kafe yuk,"
"Tidak usah, aku tidak lapar," sergah Natasha cepat.
"Kalau begitu kau mau tidak menemaniku, aku lapar sekali. Kebetulan aku belum sarapan dari tadi," tukas Reihan pula. Natasha terdiam sejenak dan akhirnya mengangguk. Reihan akhirnya menepikan mobilnya pada sebuah kafe yang ada dipinggir jalan. Mereka bergegas turun dari mobil dan melangkah memasuki kafe. Seorang pelayan segera menghampiri mereka, begitu keduanya sudah duduk disalah satu meja.
"Aku pesan bubur ayam, agak pedas ya Mas," ujar Reihan kepada pelayan lelaki itu. Si pelayan mengangguk dan mencatat. "Kau yakin tidak akan makan Tash?" tanya Reihan pula kepada perempuan yang duduk dihadapannya. Natasha menggeleng.
"Kalau begitu minum saja ya. Kau masih suka capuccino?" tanya Reihan lagi. Ia masih ingat betul bahwa Natasha sangat menyukai capuccino.
"Tidak Rei, aku sudah lama menghentikan minum capuccino. Kata Erik itu kurang menyehatkan, aku sekarang lebih suka minum green tea," jawab Natasha. Sontak Reihan terperangah, ternyata setiap kegiatan yang akan dilakukan Natasha tidak akan bisa melepaskan ingatannya dari Erik. Lelaki itu benar-benar sudah berhasil menyelimuti ingatan Natasha.
"Ya. Aku pesan green tea saja," ujar Natasha pula kepada si pelayan. Dan pelayan segera mencatat pada sehelai kertas kemudian bergegas meninggalkan meja mereka. Sembari menunggu pesanan mereka datang, Reihan celingukan sebentar memperhatikan orang-orang yang tengah sarapan di kafe tersebut. Tidak ada yang dikenalnya. Kemudian, iapun beralih pandang kepada Natasha yang masih duduk termangu dihadapannya.
"Hei, kenapa melamun?" tanya Reihan sedikit mengagetkan Natasha.
"Tidak," jawab Natasha cepat. "Aku hanya teringat Erik. Dulu, aku dan dia sering sekali sarapan makan roti buaya dan minum green tea," kenang Natasha dengan air mata menggenang.
Reihan mendengus perlahan. "Ohya, kau suka dengan bunga yang kuberi tadi?" tanya Reihan mengalihkan pembicaraan.
"Menurut Erik, buaya adalah binatang yang setia pada satu pasangannya. Jadi roti buaya adalah perlambang kesetiaan terhadap pasangan. Dia dan aku sudah berjanji untuk sama-sama setia hingga maut memisahkan kami," bisik Natasha seolah tak mendengar pertanyaan Reihan. Ia memejamkan mata perlahan, dan air mata mengalir membasahi pipinya. Ia dapat membayangkan kembali kejadian beberapa waktu yang lalu. Disaat ia dan Erik sering makan roti buaya dan minum teh hijau sebagai menu sarapan mereka.
"Buaya adalah binatang yang setia terhadap satu pasangannya," tukas Erik kala itu sembari memberikan satu porsi roti buaya kepada Natasha.
"Ohya?" tanya Natasha seolah tak percaya.
"Ya. Kau baru tahu? Nah, berarti roti buaya ini adalah perlambang kesetiaan terhadap satu pasangan. Aku berjanji akan selalu setia kepadamu sampai maut memisahkan kita, apakah kau juga berjanji?" tanya Erik tulus. Natasha menatapnya lekat-lekat dan tersenyum manis kemudian mengangguk.
"Ya. Aku berjanji," jawab Natasha dan mulai menggigit roti buayanya, begitupun Erik.
Masih segar diingatan Natasha setiap detik peristiwa yang dilaluinya bersama Erik selama dua tahun itu. Tidak akan pernah terhapus begitu saja. Perlahan Natasha membuka matanya kembali dan melihat seorang lelaki duduk tersenyum menghadapinya. Erik. Ya, ia melihat Erik duduk dihadapannya sambil mengacungkan sebuah roti buaya.
"Erik..." bisik Natasha bergetar. Tangannya terjulur hendak meraih roti buaya itu.
"Tasha, aku Reihan," tukas lelaki itu. Sontak Natasha terkesiap dan mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, hingga sosok Erik hilang dan bergantilah pada kenyataan yang dihadapinya sekarang. Ya, Reihan duduk dihadapannya tanpa mengacungkan apa-apa.
"Maafkan aku," bisik Natasha penuh sesal sembari menyeka air mata yang berlinangan.
"Tidak apa," jawab Reihan sembari mendengus. Sejenak kemudian, pelayan tadi datang membawakan pesanan yang mereka minta. Dan Reihan segera menyendok bubur ayamnya, sementara Natasha mengaduk-aduk teh hijau yang sudah dipesannya. Sembari makan, Reihan masih terus memutar otak bagaimana caranya menghilangkan Erik dari pikiran Natasha. Bagaimana caranya? Rasanya tidak akan mungkin.
"Ohya, kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Reihan sembari makan.
"Apa?" tanya Natasha mengernyitkan dahi.
"Apakah kau suka dengan bunga pemberianku tadi?"
Sejenak Natasha terdiam. "Erik tidak pernah memberikanku bunga mawar merah. Dia selalu memberiku bunga mawar putih. Karena menurutnya, warna putih melambangkan kesucian dan ketulusan cinta," bisik Natasha terkenang akan hal itu. Dimana Erik sering kali memberikannya setangkai mawar putih.
"Bunga mawar putih melambangkan kesucian dan ketulusan cinta," tukas Erik kala itu sembari mengulurkan setangkai mawar putih, dan Natasha menerimanya sambil tersenyum.
"Terima kasih Sayang," bisik Natasha.
"Terima kasih saja? Cium dong," ujar Erik. Dan Natasha segera mencium pipi sang kekasih sembari tersipu malu. Ia memang benar-benar merasakan perhatian yang lebih dari Erik dibanding dengan Reihan, mantan kekasihnya itu. Dan kini, apa yang dilihatnya? Bukan Erik yang duduk dihadapannya, melainkan Reihan.
"Aku merasa bahagia jika kau menemukan orang yang tepat sebagai penggantiku," sergah Reihan. "Mungkin aku lebih dulu mengenalmu dibanding Erik, tapi aku tidak bisa membahagiakanmu. Dan aku merasa bersyukur dia dapat mengobati luka yang tidak sengaja pernah kutorehkan dulu dihatimu. Ya, aku bahagia jika kau bersama Erik Tasha. Tapi ketahuilah sekarang, bahwa Erik..." sambung Reihan dan sontak terdiam. Ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Reihan menghela napas berat, dan menelan air minumnya hingga tandas.
"Kau kenapa Rei?" tanya Natasha gusar.
"Tidak. Aku tidak apa. Tehmu sudah habis? Ayo kita pergi," ajak Reihan dan segera bangkit dari duduk lalu menuju meja kasir untuk membayar apa yang sudah dinikmatinya. Sejenak kemudian, ia dan Natasha bergegas meninggalkan kafe bersama mobilnya.
* * *
Mobil Reihan terparkir indah disebuah taman kota. Dan tidak jauh dari sana, terlihat ia dan Natasha berjalan-jalan bersisian sambil menikmati indahnya taman kota. Reihan sengaja membawa Natasha berjalan-jalan disini, agar dapat menghilangkan pikiran suntuk dari mantan kekasihnya itu.
"Kenapa kau membawaku kemari Rei?" tanya Natasha sembari berjalan disisi Reihan.
"Memangnya kenapa?" tanya Reihan pula sembari menoleh.
"Mana janjimu? Katamu kau dapat memperlihatkan Erik kepadaku,"
Reihan menghentikan langkah dan menatap wajah perempuan yang tegak disampingnya dengan pandangan sedih. Natashapun balas menatap mata mantan kekasihnya itu dengan pandangan tidak mengerti. Sejenak, bola mata mereka beradu dalam diam.
"Tasha, aku harus memberi tahumu sesuatu. Erik sudah meninggal Tash, dan dia tidak akan pernah hidup lagi," tukas Reihan lantang. Sontak Natasha terbelalak, air mata kembali mengisi ruang matanya. Wajahnya serasa ditampar dengan begitu keras.
"Jangan pernah ucapkan hal itu," sergahnya.
"Tapi itu yang terjadi Tasha. Dia sudah meninggal dunia, dan kau harus terima kenyataan. Live must go on, waktu tidak dapat dipaksa berhenti apalagi bersurut. Hidup akan terus bergulir bagi kita yang masih hidup. Jadi, sampai kapan kau akan seperti ini? Sampai kapan kau akan dilanda kesedihan seperti ini? Kau harus bangkit Tash," ungkap Reihan lagi. Dan Natasha segera menutup kedua telinganya sembari menggeleng-geleng kuat. Ia tidak mau mendengar apa-apa dari Reihan, ia tidak mau. Baginya, Erik masih hidup. Dan ia pasti dapat berjumpa lagi dengan calon suaminya itu. Walau di surga sekalipun.
"Kalau begitu bunuh aku sekarang juga," tantang Natasha keras. "Bunuh aku Rei. Agar aku dapat menyusulnya ke surga, dan mempersatukan cinta kami untuk selamanya,"
"Kau jangan gila Natasha. Itu tidak mungkin kulakukan,"
"Kalau begitu jangan halangi aku," sergah Natasha lagi. Ia segera berlari menuju tepian jalan. Banyak kendaraan yang lalu lalang disana, dan Natasha segera berdiri di tengah jalan. Membiarkan kendaraan itu menabraknya. Beberapa kendaraan membunyikan klakson panjang, bahkan ada beberapa orang pengemudi yang mengumpat kesal.
"Woi, mau mati?" hardik orang-orang itu. Natasha tidak mempedulikan itu, ia terus saja berdiri ditengah jalan dan memejamkan mata. Sejenak kemudian, Reihan terpaksa menghentikan beberapa kendaraan agar ia dapat membawa Natasha kembali ke tepi jalan. Sempat terjadi macet sedikit, namun untunglah segera reda.
"Kau sudah gila apa?" hardik Reihan kesal begitu ia sudah berhasil menyeret Natasha kembali ke tepi jalan.
"Aku bilang jangan halangi aku," sergah Natasha keras.
"Tidak. Aku akan tetap menghalangi apapun yang dapat membahayakan keselamatanmu. Aku minta ijin kepada orang tuamu tadi. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku yang menjadi sasaran mereka. Dan aku tidak mau itu sampai terjadi," tukas Reihan panik, ia menggenggam tangan Natasha dengan begitu kuat.
"Lepaskan tanganku Rei," pinta Natasha. "Jangan pisahkan aku dari Erik,"
"Stop it Natasha! Tidak ada yang berniat memisahkanmu dengan Erik, hanya Tuhan. Sekarang kalau kau mau marah, apa kau sanggup marah pada Tuhan? Sadarlah Tash, Erik sudah meninggal. Diapun tidak akan tenang dialam sana jika melihatmu begini,"
"Kau sudah berbohong padaku," bisik Natasha penuh kegeraman.
"Aku hanya berniat ingin membuatmu sadar, membawamu kepada dunia. Kau harus melihat dunia baru, jangan sedih terus. Dengar Natasha, aku juga pernah kehilangan orang yang begitu berarti dalam hidupku dengan cara yang tragis pula. Dia adalah ibuku, orang yang sudah melahirkanku ke dunia, yang sudah melimpahkan kasih sayang kepadaku. Kau tahu, betapa menyakitkannya itu? Sementara kau hanya kehilangan Erik, lelaki yang hanya hadir dalam hidupmu selama beberapa waktu. Yang pernah memberikan kasih sayang kepadamu dalam sepenggal waktu, dan itu yang terus kau tangisi hingga sekarang? Aku tahu dia begitu berarti bagimu, dan ibuku juga lebih begitu berarti bagiku. Tapi lihat aku, aku bisa bertahan Tash. Aku bisa kembali tersenyum dan menikmati hari-hariku, dan kaupun seharusnya lebih bisa," ungkap Reihan panjang lebar. Ia berharap, dengan adanya perbandingan, Natasha bisa menimbang-nimbang. Natasha terdiam, ia tahu, waktu ia memberikan undangan dulu kerumah Reihan, lelaki itu menceritakan kepadanya bahwa sang ibu sudah meninggal akibat kecelakaan.
"Tapi itu berbeda Reihan," tukas Natasha berbisik.
"Beda apanya? Mungkin aku jauh lebih terpukul darimu seharusnya, karena orang yang pergi itu adalah orang yang begitu berarti dalam hidupku. Kalau dia tidak ada, aku tidak mungkin terlahir ke dunia. Begitu pentingnya Ibu bagiku. Dan kau dapat bayangkan betapa terpukulnya aku ketika dia meninggal dunia bahkan dengan cara yang tragis? Tapi, aku dapat kembali bangkit. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk bersedih, karena aku tahu beliaupun tidak akan tenang jika aku bersedih terus," ungkap Reihan dengan air mata menggenang. Ia dapat merasakan kepiluan yang ia rasakan saat pertama kali mendengar berita tentang kematian sang ibu beberapa tahun yang lalu. Namun, ia segera menghapus air matanya, ia tidak mau memperlihatkan kesedihan terlalu lama di depan Natasha.
"Tapi itu ibumu, coba yang pergi itu adalah orang yang akan menjadi calon pendamping hidupmu? Dan kau sudah mempersiapkan segala-galanya untuk menikah dengannya. Apa kau dapat berkata begitu hah?" sergah Natasha dengan pandangan tajam. Reihan mengernyitkan dahi, ia tidak mengerti lagi bagaimana caranya menjelaskan kepada Natasha agar membuat perempuan itu mengerti. Ia mendengus dan membuang muka, sementara itu Natasha menunduk. Ia sesegukan dan sejenak kemudian, iapun mengangkat wajahnya kembali.
"Antarkan aku pulang," bisiknya kepada Reihan. Reihan menoleh dan mengangguk. Sejenak kemudian, mereka bergegas meninggalkan taman kota menuju mobil mereka yang terparkir. Setelah mereka sama-sama masuk, Reihan segera menekan pedal gas dan mobilpun berjalan perlahan meninggalkan pelataran parkir.
"Kali ini jangan halangi aku lagi," bisik Natasha di dalam perjalanan. Reihan tidak mengerti, ia menoleh kepada Natasha sambil mengernyitkan dahi. Natasha melepas sabuk pengamannya dan mulai membuka kunci pintu mobil. Dalam keadaan mobil yang melaju kencang itu, ia membuka pintu mobil dan siap melompat keluar. Reihan terbelalak, ia segera menekan pedal rem dengan cepat dan meraih lengan Natasha. Untung saja tidak ada kendaraan di belakang mereka. Reihan terengah-engah menahan rasa keterkejutannya.
"Lepaskan aku Rei," tukas Natasha mencoba melepaskan tangan Reihan dari lengannya.
"Tidak Tash. Aku tidak akan melepaskanmu. Kau benar-benar sudah gila. Maafkan jika aku melakukan ini," sergah Reihan dan membelitkan sabuk pengaman ke tangan dan tubuh Natasha agar perempuan itu tidak dapat bergerak lagi. Setelah memastikan bahwa Natasha tidak dapat bergerak lagi, Reihan menutup pintu mobil yang tadi sempat dibuka Natasha dan menjalankan mobilnya lagi.
"Lepaskan aku Rei," bisik Natasha penuh permohonan.
"Sesungguhnya aku tidak tega melakukan ini padamu Tash. Tapi perbuatanmu sungguh keterlaluan. Sebenarnya aku kasihan kepadamu. Baiklah, kita akan segera pulang dan aku akan bicarakan ini kepada keluargamu," tukas Reihan lagi. Ia konsentrasi kepada jalanan hitam dihadapannya, dan terus mengendalikan laju mobil.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Di Surga
RomanceSetiap manusia hanya bisa berencana, dan keputusan tetap berada di tangan Tuhan. Itulah yang dialami Natasha, seorang perempuan yang berencana akan segera mengakhiri masa lajangnya dengan menikah bersama lelaki yang begitu dicintainya. Semua sudah d...