Bab Tiga

40 5 0
                                    


Sinar mentari pagi yang menyeruak melalui fentilasi kamarnya, membangunkan Natasha. Perempuan itu mengusap-usap matanya yang silau karena sinar itu. Setelahnya ia segera bangkit dari tidur dan baru menyadari bahwa semalam ia tertidur dengan tetap memakai gaun pengantinnya. Oh Tuhan, aku bahkan lupa melepaskannya, bisik hati Natasha. Maka, dengan sigap ia menuruni ranjang dan melepas gaunnya. Dengan hanya mengenakkan pakaian dalam, Natasha melangkah menuju kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya. Tak berapa lama kemudian, suara guyuran air terdengar menimpa tubuh Natasha.
Setelah selesai mandi, Natasha melangkah ke ruang makan. Disana, sudah terlihat Anggun yang tengah menikmati sepotong roti bakar. Selain ibunya itu, tidak ada orang lain. Mungkin sang ayah sudah berangkat ke kantor, dan Winda sudah berangkat kuliah. Natasha menduga-duga. Ia segera duduk disamping ibunya dan mengambil sepotong roti tawar.
"Papa sudah berangkat Ma?" tanya Natasha sembari mengolesi rotinya dengan selai.
"Sudah," sahut Anggun mengangguk.
"Winda sudah kuliah? Dia tidak lupa janjinya bukan? Mama ingatkan dia tidak?"
"Ya, dia sudah berangkat. Tadi Mama ingatkan kok," jawab Anggun yang kini telah menghabiskan roti bakarnya, dan mulai menyeruput susu kedelainya.
"Ohya Ma, tadi malam Erik menelepon. Katanya dia baru bisa pulang minggu depan,"
"Lho? Katanya dua hari lagi?" tanya Anggun menoleh.
"Iya. Tapi katanya ada urusan mendadak. Mau bagaimana lagi,"
"Ya sudah, jangan kau desak-desak dia. Biarkan saja dia bekerja. Toh yang dilakukannya itu adalah demi masa depan kalian juga nantinya," pesan Anggun kepada putrinya.
"Ya Ma," sahut Natasha. "Ohya, sebentar. Aku ingin menghubungi EO, untuk bertemu di gedung nantinya," sambung Natasha dan meraih ponselnya lalu menekan beberapa nomor. Sejenak kemudian, terdengar suara seorang perempuan menjawab telepon masuk darinya.
"Halo Tash..." sapa perempuan itu.
"Halo Mbak Andien, bisa bertemu nanti siang di gedung?" tanya Natasha.
"Tentu,"
"Terima kasih Mbak. Aku ingin membicarakan tentang desain interior gedung, dan dilaksanakan langsung sesuai konsepku," ujar Natasha.
"Oke. Sampai jumpa disana nanti siang. Ohya, Erik sudah pulang?"
Mendadak Natasha terdiam. "Belum Mbak," jawabnya kemudian, lesu.
"Jadi dia tidak ikut menuangkan konsep untuk pernikahan kalian?"
"Dia sudah menurut dengan keputusanku saja. Ya sudah Mbak, sampai ketemu nanti siang disana ya," tukas Natasha.
"Sip," sahut Andien dan pembicaraanpun terputus. Natasha meletakkan kembali ponselnya begitu pembicaraan sudah berakhir, dan kembali menikmati sarapan paginya.
"Ohya, kau jadi mengundang Reihan?" tiba-tiba Anggun bertanya. Mendadak Natasha terdiam, ia menoleh kepada ibunya itu. Rasa gundah kembali menyerangnya, haruskah ia mengundang Reihan atau tidak?
"Aku ragu Ma. Menurut Mama bagaimana?" tanya Natasha.
"Tidak ada salahnya diundang. Toh kalian pernah berhubungan dulu, dan Mama rasa dia pasti akan datang," sahut Anggun kemudian. Natasha mendengus, lalu mengangguk perlahan. Kalau orang tuanya sudah menyetujui, maka ia pasti akan mengundang Reihan. Iapun sudah lama tidak berjumpa dengan lelaki itu, Natasha penasaran sekali tentang kabarnya.
* * *
Winda yang duduk di belakang kemudi, mendengus berkali-kali. Bagaimana tidak, siang ini seharusnya ia melihat Billy latihan band. Tetapi karena sudah terlanjur berjanji dengan sang kakak untuk mengantarkannya ke gedung, niat itu jadi diurungkannya terpaksa.
"Kau kenapa? Gundah sekali kelihatannya," komentar Natasha melihat sang adik yang terus memperlihatkan wajah kusut masai. Winda menoleh sekilas kepada Natasha yang duduk disampingnya, dan tersenyum hambar.
"Tidak. Aku barusan hanya tengah berpikir, jika aku tidak terlanjur berjanji pada Kakak, aku pasti sudah jalan dengan Billy. Melihatnya latihan band," jawab Winda cuek.
"Winda, ini demi hari pernikahan Kakak. Dalam moment sepenting inipun kamu masih saja kelihatan terpaksa membantu Kakak," tukas Natasha.
"Kakak tahu sendiri, aku tidak hobi dengan acara-acara seperti ini. Makanya Kakak bisa menyetir, agar tidak merepotkan aku terus," balas Winda. Natasha hanya mendengus dan geleng-geleng kepala. Ia mengerti sifat dan karakter sang adik memang begitu.
"Ohya, Kakak jadi mengundang Mas Reihan?" tanya Winda lagi.
"Iya. Nanti kita singgah di rumahnya," jawab Natasha. Winda hanya mengangguk. Tak berapa lama kemudian, mobil mereka sudah sampai pada gedung yang dimaksud. Winda segera menepikan mobil dan memarkirnya. Setelahnya kedua kakak beradik itu turun dan melangkah ke dalam gedung. Ternyata Andien dan beberapa orang lelaki sudah ada di dalam gedung. Melihat kedatangan kedua perempuan itu, Andien langsung berseru dan memeluk keduanya dengan perasaan penuh persahabatan.
"Aduh, calon pengantin," bisik Andien menggoda kepada Natasha.
"Mbak bisa saja," tukas Natasha tersipu malu, sementara Winda hanya mendengus.
"Ohya, jadi bagaimana menurutmu? Konsep untuk interior gedung ini?" tanya Andien lagi. Natasha menatap ruangan itu berkeliling, beberapa orang lelaki dan perempuan ada disana sibuk menyiapkan beberapa peralatan. Orang-orang itu adalah bawahan Andien, selaku Event Organizer untuk acara pernikahan ini.
"Aku mau interior-nya bergaya simpel saja Mbak, tidak usah berlebihan. Disudut ruangan itu cukup ada satu bunga besar sebagai hiasan, tidak usah ada pernak pernik lain. Dan di plafon tidak usah diberi pita-pita, cukup lampu hias saja," ujar Natasha menerangkan.
"Oke. Tidak masalah. Konsepmu memang terkesan simpel tapi elegan. I like it," sahut Andien. Sementara Winda hanya mendengus dan bersandar pada salah satu dinding.
"Ya Mbak. Dan kursi serta meja tamunya ditata memanjang saja,"
"Siap," sahut Andien antusias. Ia lalu segera menyuruh orang-orangnya untuk mulai bekerja sesuai konsep yang diperintahkan oleh Natasha. Ketika orang-orang tersebut sibuk bekerja, Natasha, Andien, dan Winda duduk-duduk sembari memperhatikan orang-orang itu bekerja. Natasha bisa langsung membantah apa saja yang dirasanya tidak sesuai dengan konsepnya. Andienpun tidak segan-segan memerintah para anak buahnya.
"Ohya, jadi kapan Erik akan pulang kembali ke Jakarta?" tanya Andien kepada Natasha.
"Katanya minggu depan Mbak," sahut Natasha.
"Sabar saja. Aku yakin, kalau kau sabar pasti akan berbuah manis nantinya. Toh kalau dia pulang minggu depanpun tidak masalah. Karena tanggal pernikahan kalian masih lama,"
"Iya. Jadi akupun tidak terlalu mendesaknya. Aku sadar, apa yang dilakukannya itu demi masa depan kami juga nantinya," jawab Natasha.
"It's great. Aku terkadang iri padamu, kau mendapatkan calon suami yang begitu bertanggung jawab, dan begitu mencintaimu dengan tulus. Sementara aku..." bisik Andien lesu. Natasha mengusap lengannya berharap dapat menyabarkannya. Ia tahu, Andien sudah menjanda sejak satu tahun yang lalu. Pernikahan Andien tidak bertahan lama karena ia dan sang suami memiliki sifat yang tidak saling mendukung.
"Ini hanya masalah waktu Mbak. Aku yakin, nanti Mbak juga akan mendapatkan suami yang begitu menyayangi dan bertanggung jawab pada Mbak," bisik Natasha.
"Iya. Kau benar. Semoga saja," balas Andien memperbaiki sikap. Ia menyeka air mata yang hampir menetes dari ruang matanya. Setelahnya ia kembali tersenyum manis.
"Ohya, Mbak. Nanti setelah interiornya selesai, tolong difoto dan dikirimkan padaku. Kalau ada yang tidak sesuai dengan konsepku, nanti kita bicarakan lagi ya. Soalnya aku harus ke Jalan Meranti," ujar Natasha sambil meraih tasnya.
"Mau apa kau kesana?" tanya Andien.
"Ada urusan sebentar. Sudah dulu ya Mbak," bisik Natasha.
"Baiklah. Carefull," pesan Andien. Dan kedua perempuan itu bangkit dari duduk lalu cium pipi kanan kiri sebelum Natasha dan Winda melangkah keluar gedung. Andien menatap kepergian kedua kakak beradik itu dengan pandangan puas.
Setelah dari gedung, Natasha langsung mengarahkan Winda agar segera ke Jalan Meranti. Windapun mengangguk dan menurut kepada sang kakak. Itu adalah alamat rumah Reihan Ramadhan, mantan kekasih Natasha. Sekejap kemudian, mobil sudah berhenti di depan sebuah rumah berpagar terali besi. Natasha turun dengan sedikit ragu. Sudah lama ia tidak berkunjung ke rumah ini, dan kalau dilihat-lihat, pekarangan dan bentuk rumah masih sama seperti terakhir ia berkunjung. Natasha tersenyum dan melangkah mendekati pagar.
* * *

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang