Bab Enam

33 5 0
                                    

Natasha masih belum bisa menutup matanya ketika melihat sekaligus mendengar berita yang baru saja disiarkan di pesawat televisi. Begitu pula Anggun. Darah Natasha seketika berdesir hebat, jantungnya berdegup kencang, dan air mata kecemasan langsung saja melinangi ruang matanya. Oh Tuhan, apakah itu pesawat yang ditumpangi Erik, bisik hatinya bertanya-tanya. Karena ia tahu terakhir kali Erik meneleponnya, lelaki itu mengatakan bahwa ia sedang di Singapura melakukan transit untuk melanjutkan perjalanan menuju Jakarta.
"Ma, apakah pesawat itu pesawat yang ditumpangi Erik?" tanya Natasha bergetar.
"Bukankah Erik dari Jepang Tash, sedangkan itu pesawat dari Singapura," balas Anggun.
"Iya. Tapi dia transit di Singapura Ma. Waktu aku di butik Ivan tadi, dia meneleponku dan mengatakan bahwa ia tengah berada di Changi Airport, sedang melakukan transit. Oh Mama, aku semakin cemas. Kita harus kerumah sakit, melihat daftar nama penumpang pesawat itu," ujar Natasha lagi semakin dilanda kegundahan. Winda dan Hadinoto yang baru saja datang dari ruang makan, mendadak sedikit heran melihat Anggun dan Natasha yang duduk di sofa ruang tengah dengan begitu gusar. Winda segera menghampiri ibu dan kakaknya itu.
"Ada apa Kak?" tanya Winda.
"Barusan ada berita di televisi..." bisik Natasha tertahan. Ia tidak mampu meneruskan kata-katanya karena rasa cemas yang bersarang di sanubarinya semakin bergumal. Winda mendegus dan menoleh ke pesawat televisi. Saat ini, di layar masih menyiarkan siaran langsung tentang berita kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi. Dan seorang reporter akhirnya menyiarkan tentang daftar nama penumpang, pilot, serta pramugari pesawat yang berhasil di evakuasi. Daftar itu diperlihatkan di layar.
"Kecelakaan pesawat?" sergah Winda panik. "Itu daftar nama penumpangnya," sambung gadis itu ketika melihat daftar nama penumpang yang diperlihatkan di layar televisi. Natasha, Anggun, dan Hadinoto langsung menoleh ke layar dengan cepat. Mereka begitu hati-hati membaca satu persatu nama yang tertera di sana. Degup jantung Natasha semakin kencang, dan darahnya semakin berdesir hebat. Seketika itu pula gemuruh terdengar di angkasa. Dan rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi.
Erik Effendi, nama itu sempat tertangkap mata Natasha diantara nama penumpang lain. Di kolom sebelah nama terdapat satu kolom lagi yaitu tujuan penumpang. Dan terlihat pada kolom tersebut tujuan Erik adalah Jakarta. Dan ia memang berangkat dari Jepang dan melakukan transit di Singapura. Semua dijelaskan di layar dengan begitu tepat. Sontak Natasha terbelalak, air matanya menetes begitu saja. Napasnya seolah terhenti saat itu juga, dan hujan semakin mengguyur bumi. Sejenak kemudian, Natasha rebah di sofa. Ia pingsan, tak sadarkan diri.
"Tasha..." seru Anggun cemas. Ia langsung mendekap putrinya itu.
"Ya Tuhan, bagaimana ini?" tanya Winda pula cemas.
"Tenanglah. Bukankah seluruh penumpang berhasil di evakuasi. Belum tentu Erik celaka, sebaiknya sekarang Papa hubungi keluarganya," ujar Hadinoto pula menenangkan istri dan anaknya. Lelaki itu segera meraih ponsel dan menghubungi keluarga Erik.
"Halo, Mas Indra?" sapa Hadinoto begitu mendengar suara seorang lelaki menyahut telepon masuk darinya. Suara lelaki itupun terdengar gusar.
"Ya, Hadi," sahut Indra, ayah Erik.
"Apakah Anda mendengar berita barusan di televisi?"
"Ya, kami semua mendengarnya. Kamipun tahu Erik akan pulang hari ini. Sekarang, kami tengah bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Natasha bagaimana?" tanya Indra pula mencemaskan calon menantunya.
"Dia... ya, kami juga akan ke rumah sakit," jawab Hadinoto kemudian mematikan hubungan pembicaraan. Setelah menyimpan ponselnya kembali, Hadinoto langsung memerintahkan Winda untuk segera mengeluarkan mobil dari garasi.
"Cepat keluarkan mobil Win, kita akan segera kerumah sakit," tukas Hadinoto.
"Tapi Kak Tasha Pa?" tanya Winda cemas.
"Tasha biar Papa gendong sampai ke mobil. Bergegaslah, kita tidak punya banyak waktu,"
"Baiklah," jawab Winda mengangguk dan segera berlari menuju garasi. Sedangkan Hadinoto segera menggendong Natasha dan membawanya menyusul Winda ke garasi. Sementara Anggun berjalan belakangan.
"Biar Papa yang bawa mobil," ujar Hadinoto kepada Winda setelah menidurkan Natasha di jok belakang. "Kamu dan Mama menjaga Tasha dibelakang," sambungnya. Winda mengangguk dan memberikan kemudi kepada sang ayah. Sementara dirinya bergegas ke jok belakang, duduk bersama Anggun yang masih menjaga Natasha. Sejenak kemudian, mobilpun berjalan menuju rumah sakit.
* * *
Ketika Natasha membuka matanya kembali, hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit sebuah ruangan. Pandangan matanya yang awalnya sedikit kabur, semakin lama semakin terang seperti sedia kala. Namun, kepalanya terasa begitu berat. Natashapun bangkit dari tidur dan memandang berkeliling. Winda yang duduk disofa samping ranjang tempatnya terbaring langsung menghampirinya, begitu melihat Natasha sudah sadar kembali.
"Kak, akhirnya Kakak sadar," bisik gadis tomboi itu.
"Win, ini dimana?" tanya Natasha bingung.
"Di rumah sakit Kak," sahut Winda tenang. Natasha sedikit terbelalak, memori otaknya langsung dapat mengingat kejadian tentang Erik saat mendengar kata rumah sakit. Iapun hendak bangkit berdiri, namun Winda menghalanginya.
"Kak, jangan banyak bergerak dulu. Itu pesan dokter," bisik Winda.
"Win, tolong jangan halangi Kakak. Kakak ingin melihat keadaan Erik," tukas Natasha bergetar. Air matanya mengalir begitu saja. "Dimana dia? Papa dan Mama mana?"
"Papa dan Mama ada diluar, bersama Om Indra dan Tante Sylvana juga. Tapi Kakak jangan kesana dulu," pesan Winda.
"Kenapa Winda?" tanya Natasha mulai berang.
"Itu pesan dokter Kak," sahut Winda.
"Tidak. Kakak tidak peduli. Kakak harus melihat keadaan Erik," tukas Natasha dan menepiskan genggaman tangan Winda dari lengannya. Begitu tangan Winda sudah terlepas, iapun langsung bergegas bangkit berdiri dan berlari dengan sedikit sempoyongan menuju keluar kamar rumah sakit. Sampai dikoridor, ia sedikit celingukan, mencari-cari dimana keberadaan orang tuanya, dan juga orang yang begitu dikasihinya, Erik. Ia terus melangkah dengan sedikit sempoyongan, sambil mengintip pada setiap kamar yang dilaluinya. Untuk memastikan siapa yang ada di dalam kamar tersebut. Ketika ia tidak melihat orang yang dikenalnya di dalam kamar itu, Natashapun melangkah kembali dan mengintip lagi ke kamar yang lain. Winda menyusulnya di belakang, dan mencoba terus menahannya. Namun Natasha tetap menepiskannya.
"Kak, Kakak harus istirahat dulu," bisik Winda.
"Tidak Winda," hardik Natasha kesal. "Kamu bisa bayangkan jika kejadian ini terjadi padamu? Jika Billy yang mengalami kecelakaan, apalagi disaat tanggal pernikahanmu tinggal menghitung hari. Apakah kau sanggup tetap tenang? Apa kau sanggup?" sambung Natasha lagi, ucapannya begitu keras, sehingga sempat membuat beberapa orang yang lalu lalang di koridor rumah sakit menoleh padanya.
"Tapi Kak..." tukas Winda tertahan. Pertanyaan Natasha barusan memang tidak bisa ia jawab. Karena ia rasanya juga tidak akan sanggup jika kejadian seperti yang dialami Natasha saat ini terjadi padanya. Ia juga tidak akan bisa tenang jika orang yang disayanginya mengalami kecelakaan dan ia belum mengetahui keadaannya.
"Katakan pada Kakak, dimana Mama dan Papa?" tanya Natasha lagi mengguncang tubuh sang adik.
"Di ruangan UGD," sahut Winda akhirnya. Natasha sempat terbelalak dan segera berlari menyusuri koridor rumah sakit menuju ruangan UGD. Winda menyusulnya dengan berlari pula. Beberapa kali, Natasha tidak sengaja menabrak beberapa orang yang berlalu lalang disepanjang koridor rumah sakit. Terkadang iapun lupa mengucapkan kata maaf kepada orang yang ditabraknya, saking cemasnya.
Sesampai di depan pintu ruangan Unit Gawat Darurat, Natasha langsung dapat melihat orang tuanya bersama orang tua Erik duduk dengan cemas disana. Perempuan itu menghampiri semuanya dengan langkah yang sempoyongan. Melihat kedatangan Natasha, Anggun dan Hadinoto berdiri. Begitu pula dengan Indra dan Sylvana.
"Ma, dimana Erik? Bagaimana keadaannya?" sembur Natasha gusar.
"Tasha, tenanglah. Sekarang Erik sedang di dalam ruang UGD, dokter tengah memeriksanya," bisik Anggun menenangkan sang putri.
"Aku tidak bisa tenang sebelum aku mengetahui keadaan Erik Ma," tukas Natasha menangis. Windapun datang menghampiri dengan napas yang terengah-engah.
"Tash, kami semua sama cemasnya sepertimu. Tapi apa yang dapat kita lakukan sekarang? Kita hanya dapat berdoa Tasha," ujar Sylvana pula, mencoba menenangkan calon menantunya itu. Wanita yang sangat dicintai sang anak.
"Tapi Tante, Tasha benar-benar cemas kalau sampai terjadi apa-apa dengan Erik," pekik Natasha, dan tangisnyapun meledak. Seirama dengan hujan yang semakin mengguyur bumi.
"Ya Tasha. Kami semua paham bagaimana perasaanmu. Kita serahkan semuanya kepada dokter dan Tuhan. Kita hanya mampu berdoa Tasha," bisik Indra pula. Anggun mendekap putri sulungnya itu dengan perasaan sedih yang tak tersampaikan, begitu pula Winda, iapun mendekap Natasha. Sylvana hanya mengusap-usap punggungnya saja berharap dapat membantu meredakan kepedihan yang tengah mendera batin Natasha. Sementara Hadinoto dan Indra hanya berdiri tepekur dan terus berdoa semoga Erik yang masih terbujur di dalam ruangan UGD dapat terselamatkan dari maut. Oh Tuhan, kabulkanlah doa kami, bisik hati mereka.
Tak berapa lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. Semua langsung menghambur kepada dokter itu, sehingga membuatnya sedikit kalang kabut menangani orang-orang yang panik itu. Apalagi Natasha yang terlihat begitu antusias.
"Bagaimana Dok? Erik bagaimana? Apakah ada luka yang berarti?" sembur Natasha.
"Tenanglah dulu," tukas sang dokter menghela napas. "Saya harap Anda semua dapat tabah menerima kenyataan pahit ini. Saudara Erik tidak dapat diselamatkan. Kami sudah berusaha semampu kami, namun Tuhan jualah akhirnya yang memutuskan," sambung dokter itu dengan tenang. Sontak semua terbelalak, apalagi Natasha. Ia benar-benar shock. Jantungnya seolah dipukul oleh benda yang begitu keras, dan seketika itu pula petir menggelegar di angkasa, mengagetkan semuanya. Air mata Natasha jatuh berderai begitu saja tanpa dapat dibendung lagi.
"Dok, Anda serius?" tanya Indra tercengang luar biasa.
"Ya Pak. Dan hal ini menambah daftar nama korban jiwa yang meninggal akibat kecelakaan pesawat tersebut. Sampai sekarang, daftar nama korban jiwa tercatat sudah dua puluh lima orang. Selebihnya masih coba diselamatkan," sahut sang dokter. Ia menepuk pundak Indra beberapa kali, berharap dapat menenangkannya. Natasha rebah, kakinya seolah tak bertulang lagi. Namun kali ini, ia masih sadar. Anggun mencoba mendekap putrinya itu dengan tangis yang meluap-luap. Hancur sudah rencana pernikahan, hancur sudah semuanya. Undangan sudah disebar, gedung sudah disewa, gaun pengantin sudah dipersiapkan, catering sudah dipesan. Bahkan semuanya telah rampung dari jauh-jauh hari. Oh Tuhan, apakah ini kenyataan? Aku berharap ini hanya mimpi, bisik batin Natasha.
"Ma, ini... ini betul-betul terjadi... Ma?" tanya Natasha tersendat-sendat.
"Iya Tasha. Ini betul-betul terjadi. Ini adalah kenyataan yang harus kita terima," sahut Anggun disela isak tangisnya. Semua menangis, termasuk Winda.Walaupun terbilang gadis yang begitu tomboi dan jarang mengeluarkan air mata. Namun untuk saat ini, ia tidak mampu lagi menahan air matanya. Ia dapat bayangkan betapa hancurnya hati sang kakak. Kalau kejadian serupa terjadi kepadanya, iapun rasanya tidak akan sanggup.
"Sabar Kak," bisik gadis tomboi itu kepada Natasha. Sejenak kemudian, sebuah brangkar keluar dari ruang UGD. Dua orang perawat membawanya keluar. Diatas brangkar itu terbujur sesosok tubuh yang kaku, seluruh tubuhnya sudah dibaluti dengan kain putih. Natasha terpekik luar biasa saat melihat brangkar itu. Ia mencoba menguatkan kakinya, akhirnya ia mampu berdiri dan meraih brangkar tersebut. Sejenak kemudian, ia menyibakkan kain yang menutupi wajah orang yang terbujur diatas brangkar. Itu adalah Erik, kekasihnya, orang yang begitu dicintai dan mencintainya. Orang yang rencananya akan segera bersanding dengannya di pelaminan.
"Erik..." pekik Natasha tak tertahan lagi. Anggun menangis, begitu pula Winda dan Sylvana. Sementara Hadinoto bergegas mendekap tubuh sang putri dan menenangkannya.
"Tenanglah Natasha. Ini rumah sakit, kau tidak boleh begitu," sergah Hadinoto.
"Tidak Pa. Jangan pisahkan Tasha dengan Erik," hardik Natasha. Tangannya masih berusaha menahan brangkar itu agar tidak dapat di dorong. Namun Indrapun membantu melepaskan tangan Natasha agar perawat tidak susah untuk mendorongnya.
"Tasha, lepaskanlah. Kau harus ikhlas," bisik Indra pula.
"Om, jangan biarkan mereka membawa Erik," sergah Natasha menggeliat-geliat di pelukan sang ayah. Hadinoto sempat kesusahan menahan putrinya itu, hingga akhirnya Indrapun membantu mendekap Natasha agar dapat tenang.
"Mayat akan dibersihkan dulu di kamar mayat. Setelahnya ambulance akan mengantarkannya menuju kediaman Anda," ujar seorang perawat kepada Sylvana. Sylvana menyeka air matanya dan mengangguk kepada perawat itu. Perawatpun bergegas menuju kamar mayat untuk membersihkan mayat Erik dari darah-darah atau kotoran-kotoran.
"Tasha tidak mau berpisah dengan Erik. Tasha tidak mau Pa..." pekik Natasha.
"Tasha, kami semua sama terpukulnya sepertimu. Tapi apa mau dikata, inilah takdir Tuhan. Siapa yang mampu menentangnya? Kita hanya bisa ikhlas menerimanya," bisik Sylvana kepada calon menantunya itu. Semua kini memeluk Natasha dalam tangis yang begitu meluap-luap. Ya, semua benar-benar terpukul atas kejadian ini. Bukan hanya Natasha. Oh, rencana pernikahanpun gagal. Inilah hidup, terkadang begitu getir.
* * *

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang