Bab Sebelas

36 6 0
                                    

Apa?" Hadinoto terbelalak luar biasa ketika mendengar penuturan Reihan. Ya, setelah sampai dirumah Natasha, Reihan segera menemui Hadinoto dan menceritakan apa yang dialaminya bersama Natasha. Sementara itu Anggun menemani Natasha di dalam kamarnya bersama dengan Winda. Takut-takut kalau perempuan itu melakukan hal-hal diluar batas lagi.
"Ya Om. Begitulah kejadiannya," bisik Reihan membenarkan. Hadinoto tepekur dan geleng-geleng kepala. Sejenak kemudian, air mata mengalir begitu saja dari rongga matanya. Betapa pilu hatinya mendengar cerita Reihan. Keadaan Natasha semakin hari semakin parah.
"Natasha..." bisik Hadinoto tertahan. Reihan mengusap punggung lelaki itu penuh rasa simpatik. Ia ingin menyabarkan kepiluan hati yang dirasakan Hadinoto.
"Bagaimana kalau orang tua Erik kita hadirkan kepada Natasha Om? Siapa tahu dengan begitu bisa terbuka mata hatinya?" usul Reihan pula. Hadinoto mengangkat kepalanya kembali dan menoleh kepada Reihan. Benar juga apa yang diusulkan Reihan, bisik hatinya.
"Baiklah. Sebentar. Om akan telepon mereka. Kamu jangan pulang dulu," sergah Hadinoto. Reihan mengangguk sopan. Dan Hadinoto segera meraih ponselnya lalu memencet beberapa nomor, menghubungi Indra dan Sylvana, selaku orang tua Erik.
"Halo Mas Indra," sapa Hadinoto. Iapun segera menceritakan keadaan sang anak kepada orang yang sudah dianggap keluarga sendiri itu. Nada suaranya begitu panik, dan setelah mendengar penjelasan Hadinoto, Indrapun segera berujar.
"Baiklah. Kami segera kesana," tukasnya dan mematikan hubungan pembicaraan. Begitu hubungan pembicaraan dengan Indrapun terputus, Hadinoto kembali menoleh kepada Reihan.
"Bagaimana Om?" tanya Reihan.
"Ya. Mereka akan kemari," jawab Hadinoto. Ia cemas dan panik, apa yang harus dilakukan lagi untuk kesembuhan Natasha? Kira-kira satu jam kemudian, terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Hadinoto dan Reihan segera menghambur ke depan dan melihat Indra dan Sylvana bergegas menuruni mobil dan berjalan menuju ke dalam rumah.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Indra pertama kali.
"Semakin hari keadaannya semakin parah Mas. Kami semua dibuat panik. Dia pernah ingin melakukan bunuh diri, lalu suka mengurung diri, dan juga melakukan hal-hal yang tidak wajar lainnya," cerita Hadinoto kepada lelaki yang sudah dianggapnya saudara sendiri itu. Indra mendengus dan menoleh kepada Reihan.
"Ini siapa?" tanyanya.
"Perkenalkan ini Reihan, teman lama Natasha," ungkap Hadinoto. Reihanpun mengulurkan tangannya kepada Indra dan Sylvana sembari menyebut namanya. Indra dan Sylvana menjabat tangannya dan tersenyum simpatik.
"Lantas dimana Natasha sekarang?" tanya Sylvana pula.
"Ada dikamarnya Mbak. Dia tengah ditemani Anggun dan Winda disana. Mari kita langsung kesana saja," usul Hadinoto. Ia langsung memandu pasangan suami-istri itu menuju lantai dua, ke kamar sang putri. Reihanpun mengikuti dari belakang.
"Ma, buka pintu. Ada Mas Indra dan Mbak Sylvana disini," seru Hadinoto begitu berada di depan pintu kamar. Tak berapa lama kemudian, pintupun terbuka. Anggun mempersilakan semuanya untuk masuk ke dalam. Natasha duduk disudut ranjang dan Winda masih memegangnya dan mengusap-usap punggungnya. Indra dan Sylvana menghampiri.
"Natasha..." bisik Sylvana dan duduk disebelah perempuan itu. Natasha menoleh dengan pandangan sedih. Matanya seolah tak pernah kering oleh air mata.
"Tante, Natasha tidak sanggup seperti ini," bisik Natasha dan mulai menangis. Sylvana segera memeluk perempuan itu dengan begitu haru.
"Tasha, kau harus kembali bangkit Nak. Jangan seperti ini terus," bisik Sylvana.
"Kenapa semua orang mengatakan hal itu? Apa kalian pikir gampang?"
"Kami tahu ini begitu berat. Kamu lihat Tante," tukas Sylvana mengangkat wajah Natasha. "Lihat Tante. Tante mungkin adalah orang yang paling terpukul akibat peristiwa itu. Bagaimana tidak, Erik adalah putra Tante satu-satunya, Tante tidak punya anak lagi selain dia. Dan sekarang, dia sudah diambil dari Tante. Maka, Tante harus siap, kita semua harus siap. Toh, tidak ada yang abadi di dunia ini Natasha, semua milik Tuhan. Dialah yang berhak mengambilnya kembali, kapanpun yang Ia mau. Walaupun kamu jadi menikah dengan Erik, suatu saat kalian akan terpisah juga karena maut. Ini hanya masalah waktu, dan kita seharusnya sudah siap kapanpun itu menimpa kita dan orang-orang yang kita sayang," jelas Sylvana panjang lebar. Namun Natasha tetap saja menangis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Natasha, kalau kamu memang mencintai Erik. Kamu harus lupakan dia. Carilah pemuda lain yang bisa membuatmu bahagia. Dia akan bahagia dialam sana jika melihatmu bahagia di dunia ini," sergah Indra pula dengan penuh bijaksana.
"Tasha tidak bisa menerima pemuda lain selain Erik Om. Kenapa kalian begitu kejam?" tukas Natasha disela isak tangisnya.
"Tidak ada yang kejam Tasha. Ini semua demi kebaikanmu," jawab Hadinoto cepat.
"Kebaikan buat Tasha adalah dapat bersatu dengan Erik Pa," sergah Natasha. Hadinoto mendengus, sementara Indra dan Sylvana saling pandang dengan pandangan tidak mengerti. Winda menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Lalu Anggun hanya tepekur dan menutup mulutnya menahan tangis.
"Om, aku mau bicara sebentar," ujar Reihan tiba-tiba memecah keheningan. Hadinoto menoleh kepada pemuda itu dan bergegas meninggalkan kamar bersama Reihan, begitu pemuda itu memberikan kode kepadanya untuk berbicara diluar.
"Ada apa Rei?" tanya Hadinoto setiba diluar kamar.
"Apakah waktu pemakaman Erik, Natasha melihat?"
"Tidak. Dia tidak mau hadir. Dia mengurung diri terus di kamarnya," jawab Hadinoto.
"Kalau begitu, sebaiknya kita coba ajak dia ke pusara Erik. Agar ia sadar bahwa calon suaminya itu memang sudah meninggal Om. Kurasa, saat ini, dia masih belum seratus persen percaya kalau Erik sudah meninggal dunia," usul Reihan pula. Hadinoto diam sejenak, lalu kemudian manggut-manggut sendiri.
"Kamu benar juga. Tapi ini sudah malam, apakah kita akan bawa dia malam-malam begini?" tanya Hadinoto bingung.
"Jangan. Besok pagi saja,"
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan?"
Reihan angkat bahu. "Kita temani saja dia semalaman ini, agar ia tidak dapat melakukan hal-hal yang diluar kendali lagi," usul Reihan lagi. Hadinoto menyetujui. Setelahnya, kedua lelaki itu kembali masuk ke dalam kamar Natasha.
* * *
Keesokan paginya semua telah bersiap-siap untuk pergi berziarah kembali ke pusara Erik. Hadinoto sudah memberi tahu semuanya tentang rencananya bersama Reihan itu. Dan semua menyetujui rencana itu. Benar juga, siapa tahu karena tidak melihat pemakaman Erik, Natasha menyangka bahwa calon suaminya itu masih hidup. Hari ini, ia akan dibawa ke pusara Erik, dan berharap semoga dengan begitu ia sadar bahwa Erik memang sudah meninggal dunia. Dan semoga ia bisa menerima kenyataan ini. Ya, semoga.
Natasha dibujuk oleh Anggun dan Sylvana, dan meskipun dengan bujuk rayu dan sedikit paksaan, akhirnya Natasha menurut. Ia dibawa keluar kamar dan segera menuju garasi. Hadinoto, Indra, Reihan, dan Winda sudah menunggu disana. Setelah mereka semua masuk kedalam mobil, Indra yang mengemudikan mobil, segera menjalankan mobil menuju pusara. Sekitar empat puluh lima menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai pada pemakaman. Indra menepikan mobil, dan mereka semua turun.
"Ma, kita mau apa kesini?" tanya Natasha menatap kuburan berkeliling.
"Ikutlah Sayang," ujar Anggun sabar. Ia terus menggiring Natasha untuk melangkah mendekati kuburan Erik. Begitu sampai pada kuburan yang dimaksud, Natasha sontak terbelalak luar biasa menatap batu nisan bertuliskan Erik Effendi bin Indra Wiryawan itu.
"Tasha, kami semua sengaja membawamu kesini hari ini. Agar kau sadar bahwa Erik sudah meninggal, dan inilah kuburannya," ujar Hadinoto pertama kali.
"Kalian ini apa-apaan sih?" sergah Natasha berang. "Aku tidak suka dengan cara kalian,"
"Tasha, lihatlah batu nisan itu. Itu nama Erik, dan kami semua tidak berbohong. Bahkan kau sendiri melihat mayatnya waktu dirumah sakit Nak," tukas Anggun pula.
"Erik tidak akan pernah mati dalam hatiku, kalian tahu itu. Dan sekarang, aku harus mencari cara agar kami dapat bersatu kembali. Agar cinta kami dapat berlabuh di surga,"
"Kak, jangan bodoh. Buka mata, buka telinga. Apa Kakak pikir Mas Erik senang dengan cara Kakak ini? Tidak. Bunuh diri itu adalah perbuatan dosa Kak. Kakak akan masuk neraka, bukan masuk surga," ujar Winda pula mengingatkan sang kakak.
"Winda, kamu jangan ikut campur," sergah Natasha geram.
"Aku berhak ikut campur. Karena Kakak adalah kakakku,"
"Tasha, kami semua tahu bahwa Erik tidak akan pernah mati di dalam hatimu. Ia akan selalu hidup di dalam hati dan pikiranmu. Untuk itulah kau harus bangkit kembali, jangan sia-siakan hidupmu. Ia akan sedih jika melihatmu selalu berduka karenanya," tukas Reihan. "Aku tahu, tidak akan ada lelaki sebaik Erik bagimu. Tidak akan ada lelaki yang dapat menggantikan posisinya dihatimu. Tapi setidaknya, berikan yang terbaik untuknya. Tersenyumlah kembali, bangkitlah kembali, karena Erik juga membutuhkan itu,"
"Aku harus tetap menikah dengan Erik. Apapun caranya. Karena hanya itu yang dapat membuat aku tersenyum kembali, hanya itu pulalah yang dapat membuatku bangkit lagi," jawab Natasha lantang. Sontak semua tercengang mendengar penuturannya itu. Bagaimana mungkin ia dapat menikah dengan Erik, sedangkan Erik sudah tiada.
"Apa-apaan ini?" tanya Indra geleng-geleng kepala. "Bagaimana caranya? Erik sudah tidak ada lagi di dunia ini Tash. Walaupun kami semua tahu bahwa dia tetap hidup di dalam hatimu,"
"Meskipun aku harus menikah hanya dengan nisannya, aku tetap ingin menikah dengan orang yang kucintai. Kalian dengar itu?" tantang Natasha bergetar. Air mata meleleh dari matanya, dan membasahi sampai ke pipinya. Semua kembali tercengang, kali ini lebih lama.
"Tasha, ini keputusan yang tidak masuk akal. Apakah kau tidak sayang kepada orang tuamu lagi?" tanya Reihan pula memecah keheningan. Ia mulai muak, maka iapun menghampiri Natasha dan mengarahkan perempuan itu menghadap kepada kedua orang tuanya. Anggun dan Hadinoto.
"Lihat mereka. Apakah kau sudah tidak menyayangi mereka lagi? Mereka sudah cukup menderita karena ulahmu ini. Jangan tambah lagi beban derita mereka," sambung Reihan geram.
"Kau tidak seharusnya ikut campur urusan ini Rei. Ini urusan keluargaku. Untuk apa kau ada disini? Kau hanya orang lain," tukas Natasha pula. Reihan terdiam seketika.
"Papa yang meminta Reihan untuk kesini," sergah Hadinoto berang. "Dan sekarang, dia bukan orang lain lagi. Dia yang akan menjadi calon suamimu," sambung Hadinoto lantang. Natasha terbelalak, begitu pula Reihan. Anggun dan Winda saling pandang dalam keterkejutan. Begitu pula Indra dan Sylvana.
"Pa, apa-apaan ini?" tanya Natasha.
"Kau yang apa-apaan. Ini sudah menjadi keputusan Papa. Kalian akan menikah secepatnya. Tidak perlu mencari pemuda lain, karena Reihan pemuda yang baik. Dia bahkan sudah mengenalmu sejak dulu. Jadi, Papa rasa dia bisa menjadi suamimu,"
"Tidak. Aku tidak mencintainya Pa," ungkap Natasha mulai menangis.
"Cinta akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu Tasha," sergah Anggun pula. "Keputusan Papa memang sudah tepat, dan Mama mendukung. Dulu, Papa dan Mama juga tidak saling cinta. Bahkan kami bertemu hanya beberapa hari sebelum menikah. Karena kami dijodohkan. Dan toh, cinta bisa datang dengan sendirinya nanti. Buktinya, pernikahan kami bertahan sampai sekarang bukan?"
"Tapi ini bukan jaman perjodohan lagi Ma," tukas Natasha.
"Sudah Tasha. Diamlah. Kau harus menurut dengan keputusan Papa. Ini semua demi kebaikanmu," sergah Hadinoto keras dan lantang. Tangannya bahkan mulai gemetar ingin menempeleng wajah sang putri, karena terlalu emosi. Natasha menangis dan sesegukan, ia juga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat.
"Kalian semua jahat," bisiknya geram, dan segera berlari dengan begitu cepat meninggalkan semuanya. Reihan dengan sigap mengejarnya, begitu pula Winda. Kemudian, baru disusul oleh Hadinoto, Anggun, Indra, dan Sylvana.
Natasha terus berlari diantara kuburan-kuburan itu, ia bahkan tidak memperhatikan jalan. Namun tidak pernah kakinya tersandung, sesekali ia menoleh ke belakang dan melihat Reihan dan Winda mengejarnya. Natasha mempercepat langkahnya dan segera menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat. Begitu ia masuk, taksipun segera meluncur membawanya. Reihan dan Winda gagal mengejarnya.
"Ayo kejar taksinya Mas," ujar Winda.
"Kunci mobil bersama Om Indra," jawab Reihan dengan napas yang terengah-engah. Tak berapa lama kemudian, Hadinoto, Anggun, Indra, dan Sylvana menghampiri mereka berdua.
"Mana Natasha?" tanya Hadinoto.
"Kabur bersama taksi Om," sahut Reihan.
"Ya Tuhan. Kearah mana?"
"Kesana," sahut Reihan dan Winda serempak menunjuk kesatu arah.
"Kalau begitu, ayo kita susul cepat. Semoga saja belum terlalu jauh," kata Indra pula. Ia segera menaiki mobilnya bersama dengan yang lain. Dan tak berapa lama kemudian, mobilpun berjalan dengan begitu laju mengikuti arah yang tadi ditunjukkan Reihan dan Winda.
* * *

Pelabuhan Di SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang