"Hahh.. hahh.. hahh.."
Pagi yang begitu mengerikan bagi Adelle. Mimpi buruk itu terus menerus menghantuinya bagai tak pernah lelah.
Adelle mengedarkan pandangannya keluar jendela. Tirainya sudah terbuka,mungkin kakaknya yang membukanya.
"Aku yang membukanya."
"Berhenti membaca pikiran ku,zeon."
Sosok itu-zeon- duduk manis di samping Adelle dengan wujudnya yang sama seperti saat Ia bertemu pertama kali,wujud tubuh yang nyata dan riil ,begitu konkret hingga Adelle sampai tak percaya bahwa yang Ia lihat sekarang sesungguhnya hanya roh usil yang selalu membuatnya muak akan keberadaannya . Adelle masih sibuk mengatur nafasnya yang berderu akibat mimpi mengerikan itu.
"Mimpi buruk lagi?"
Hanya anggukan. Adelle benar-benar tak mau membahas apa,siapa,dan bagaimana yang ada di dalam mimpinya. Matanya kosong menatap keluar jendela. Sedikit gelap karena awan mendung yang siap menjatuhkan bulir-bulir air nya.
"Kau tidak sekolah? Ini sudah hampir jam setengah sembilan."
"Aku akan bolos di jam pelajaran pertama."
Baru pertama kali bagi sejarah hidup Adelle untuk bolos. Ia begitu terkenal karena kerajinan dan selalu taat peraturan. Memang Adelle tidak terlalu menonjol pada bidang matematika atau segala hal yang berbau hitungan. Ia hanya terlalu menyukai sebuah bacaan fiksi dan berbau teori. Itu akan jauh lebih menyenangkan dirinya daripada bergelut dengan rumus dan angka-angka yang akan membuat panas otak nya. Adelle juga sangat menyukai hal yang berbau keindahan dan seni. Dia benar-benar menyukai sebuah lukisan atau gambar yang bermakna dalam namun sederhana. Sastra dan seni,dua pelajaran yang sangat Ia senangi.
"Aku benar-benar penasaran sekarang. Tentang mimpi mu itu."
"Lupakan saja. Sepertinya hanya karena aku terlalu lelah."
"Setiap mimpi pasti ada maknanya,Adelle. Terlebih kau memiliki mata itu."
"Ada hubungan apa dengan mata sialan ini? Ini hanya mimpi buruk. Tak kurang tak lebih."
"Terserah kau."
Zeon menghilang di balik pintu kamar Adelle. Akhirnya mahluk halus yang nyata itu pergi,walau Adelle tahu mahluk itu akan kembali kepadanya. Adelle melihat sekilas jam yang bertengger manis di atas lemari bajunya. Lima belas menit lagi jam sembilan. Adelle beranjak dari kasur empuk nya dan bergegas turun,bersiap-siap pergi ke sekolah.
Rumahnya masih sepi. Hawa sunyi dan tenang masih terasa jelas di rumah nya. Orang tua Adelle sepertinya belum kembali dari tugas kantornya dan kakaknya pasti sudah berangkat sekolah. Adelle dan Virnest hanya berjarak dua tahun,yang berarti Virnest sudah kelas dua belas SMA. Mereka pun berbeda sekolah. Virnest di sekolah kan di sekolah bergengsi dan bertaraf tinggi disertai akreditasi A. Benar-benar sekolah impian bagi para siswa. Sedangkan Adelle hanya di sekolah kan di sekolah biasa, yang terpenting jarak tempuhnya tak jauh dari rumahnya sehingga orang tua Adelle tak perlu repot-repot mengantarnya seperti yang mereka lakukan setiap hari pada Virnest.
Persetan dengan pilih kasih. Adelle sudah tak mengharapkan secuil bahkan sedikitpun rasa kasih sayang dari orang tuanya itu. Karena Ia tahu,rasanya sangat mustahil. Entah sejak kapan Adelle sudah benar-benar tak menginginkan rasa peduli dari kedua orang tuanya. Ia hanya lelah. Lelah menunggu sampai itu terjadi. Bahkan Adelle tidak yakin bahwa hal itu akan terjadi. Adelle menyerah pada untaian benang takdir kusut yang siap diputuskan kapan pun karena menganggu.
Adelle melihat sepucuk surat di atas meja makan. Mungkin dari kakaknya,Virnest.
Adelle mengambil surat itu dan membacanya."Sarapan sudah ku siapkan. Kalau sudah dingin panaskan saja di microwave. Maaf aku tak bisa membangunkan mu karena ku lihat kau terlalu nyenyak dan tampak kelelahan jadi ku urungkan niat ku untuk membangunkan mu. Oh ya,tirai jendela di kamar mu sudah terbuka saat aku masuk. Ku pikir kau tidak menutupnya semalam,lain kali jangan lalai ya. Di dunia ini banyak orang jahat. Sepertinya hari ini aku pulang lambat karena ada bimbingan khusus. Berhati-hatilah,Adikku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Cry
Mystery / ThrillerSenyum palsu yang terpati di wajah gadis remaja biasa,Adelle Kathylane,semakin sempurna. Tak ada yang tahu bahwa sesuatu yang menyakitkan ada di balik senyum itu. Semua berjalan sempurna bagi Adelle. Dan terkesan 'biasa'. Hingga sebuah kecelakan tra...