6. Who and Why

80 9 7
                                    

Adelle terus-menerus berlari sepanjang koridor sekolah. Berharap cemas. Berharap sangat agar mimpinya tidak menjadi kenyataan.

"Adelle! Tunggu aku!" Jun mengejar. Berusaha melawan arus manusia yang sama penasarannya dengan nya dan Adelle.

Bruukk

"Aduh!"

"Adelle?"

Adelle mendongak. Mendapati wajah familiar temannya,Keenan,Aaron dan Matt.

"Huaa. Kau lari cepat sekali. Hahh" Jun berhenti. Sejenak untuk mengatur nafas. Adelle cepat sekali larinya,pikir Jun.

"Tidak ada waktu lagi!" Adelle bangkit disertai Keenan. Mau tak mau Jun harus mengekor.

Dan langkah kaki Adelle terhenti. Tepat di depan matanya terdapat sekumpulan siswa yang bergerumul dan memenuhi lorong koridor sekolah. Sangat ramai hingga ruang laboratorium yang terdapat di dekat gerombolan tak terlihat pintunya.

"Permisi!" Jun berusaha menerobos diikuti teman-temannya. Terus bergulat di tengah siswa-siswa yang sama penasaran dengannya.

Ketika Jun sampai di tengah gerombolan, Ia terhenti. Ia berbalik sebentar dan melihat Adelle dengan raut wajah kacau. Wajah khawatir Adelle masih terpati jelas di sana. Jun pun sama khawatir nya,Ia khawatir.

Jika Ia melihat seorang wanita menangis di hadapannya,lagi.

"D-dia mati." Jun memegang pundak Adelle berusaha menahannya . Secara tak langsung untuk memohon kepada Adelle agar tidak melihat korban. Namun,Adelle nekat. Ia menepis tangan Jun di bahunya dan maju selangkah ke depan.

Ke tempat korban yang tewas naas.

Ia memperhatikan secara detail sosok mayat yang terbujur kaku bersimbah darah dengan bau anyir yang menyengat,berusaha memanggil namanya untuk yang terakhir kalinya,"S-syllva..." mulut Adelle tetap tak mau terkatup. Berusaha berbicara lebih namun bibirnya tak mampu menyanggupi.
Mata Adelle terbuka lebar. Menatap setiap rinci dari korban. Berusaha menemukan satu hal yang membuatnya berfikir kalau di depannya ini bukan temannya.

"Kenapa..." lemas. Adelle terduduk di dekat mayat korban. Kematian yang tragis. Adelle tak mau melihat ini. Adelle tak sanggup melihat ini.
Keenan hanya mengusap bahu Adelle berusaha menenangkan. Namun nihil hasilnya. Adelle melihat sekali lagi mayat itu. Terdapat banyak luka tusuk di perut,kedua matanya hilang,rahang bawah yang sudah lepas entah kemana,usus yang menjuntai di lantai, semua itu disertai bau anyir tembaga yang menyeruak keluar dari tubuh korban.

"Kenapa.." deras. Air mata Adelle begitu deras tak berhenti. Adelle benci kenyataan ini. Kenyataan yang menyeretnya masuk ke lubang kehancuran dan kesedihan.

Kenapa semua ini terjadi?.

Kenapa..

Kenapa..

Kenapa mimpi buruk sialan itu menjadi nyata?!

"Aku rasa... ada yang aneh." Aaron mencoba menganalisis korban secara visual. Lukanya,memarnya dan...

"Kau benar. Dia menggenggam pisau di tangannya." Keenan menunjuk tangan Syllva yang terputar–atau mungkin sudah patah– . Pisau yang sudah berlumur darah segar. Merah merekah.

"Guru sudah dalam perjalanan ke sini. Ayo kita pergi." Matt merasa acuh dan tak perduli pada korban. Karena Ia tak kenal,tak peduli dan tak penting.

Ia selalu berfikir untuk apa melindungi seseorang yang bahkan menyebut nama mu saja tidak pernah. Terkesan dingin dan jahat,tapi percayalah disetiap rasa acuh dan tak peduli tersimpan rasa kepedulian besar yang tidak pernah dihiraukan.

Endless CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang