03 ; tommo & ruth

212 31 4
                                    

Kelasku sudah berakhir sejak lima menit yang lalu. Seperti biasa, aku menunggu hingga semua orang meninggalkan kelas kemudian barulah setelah itu aku yang keluar. Saat ini hanya tersisa tiga orang dalam ruangan. Seseorang bertubuh gemuk di kursi depan tengah merapikan buku-buku miliknya yang sempat tercecer dan ada seorang perempuan yang baru berdiri. Wajah mereka terlihat familiar—tentu saja, aku sekelas dengan mereka, namun aku tidak dapat mengingat namanya. Lagipula, itu tidak penting. Sambil memperhatikan si lelaki gemuk, aku kembali teringat akan balasan yang berada di meja kelas bahasaku. Tulisannya tidak begitu besar dan rapi, tepat seperti tulisan tangan lelaki pada umumnya. Apakah Tommo itu lelaki? Sepertinya iya. Tapi, tidak mungkin. Nama itu terdengar sangat asing di telingaku. Yah, walaupun aku tidak mengingat semua nama orang di sekolah ini, setidaknya aku masih tahu sebagian. Dan nama ini—Tommo, benar-benar terdengar baru di telingaku.

Aku masih mengingat tulisan tangannya dengan jelas. Aku bahkan sempat berusaha untuk mengingat tulisan tangan Matthew dan memastikan kalau ini bukanlah ulahnya. Jangan sampai aku berhasil masuk ke dalam jebakannya yang sangat ingin mempermalukanku itu. Dan setelah aku ingat-ingat, itu memanglah bukan tulisan Matthew. Tulisan Matthew jauh lebih berantakan karena aku pernah melihatnya tengah menulis surat ancaman untuk seseorang yang untungnya bukan aku. Omong-omong soal balasan dari Tommo itu, aku akhirnya memutuskan untuk membalasnya. Ya, mungkin memang terkesan tidak mungkin jika nanti Tommo akan membalas lagi. Lagi pula, belum tentu ia akan duduk di tempat yang sama seperti minggu lalu. Dan kalau memang ternyata yang menduduki kursi belakang itu bukan dirinya lagi, aku hanya bias terus berharap kalau bukan pula Matthew yang duduk di sana.

Berjalan melewati lorong panjang, aku bersyukur karena saat ini sekolah sudah lebih sepi dari sebelumnya. Tidak ada Matthew, maupun Quinn dan Monica. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk mengambil beberapa buku di dalam lokerku. Ku masukkan buku kimia dan seni ke dalam loker. Kemudian, aku kembali mengambil buku bahasa untuk kubawa pulang. Mr. Wells mengatakan kalau besok akan ada kelas tambahan untuk kami karena ia tidak bisa ada di kelas minggu depan.

Setelah selesai dengan buku-buku, aku memilih untuk segera keluar dari sekolah. Aku kembali berjalan menyusuri koridor yang sepi sampai akhirnya aku melihat seseorang di ujung sedang berdiri di depan loker. Langkahku terhenti, mataku berusaha untuk melihat lebih jelas siapa orang tersebut. Aku memang tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, tapi aku mengenali jaket denimnya. Ah, itu si lelaki denim.

Dari kejauhan, aku dapat melihatnya yang tengah membuka lokernya yang mana ia langsung tutup beberapa detik kemudian. Tangannya bergerak mengunci loker tersebut. Namun beberapa detik kemudian, aku melihatnya kembali membuka lokernya secara terburu-buru, kemudian menutupnya lagi dan menguncinya. Ia terus melakukan itu sampai sekitar lima kali—kalau hitunganku tidak salah. Apa yang sedang ia lakukan?

Dalam hati aku ingin menolongnya karena ia terlihat kebingungan dan, entahlah, hilang? Dia juga telah menolongku tempo hari jadi aku rasa tidak ada salahnya. Aku mengambil langkah mendekatinya, namun tidak sampai lima langkah, aku kembali berhenti. Pemikiran tentang kemungkinan si lelaki denim ini menolak bantuanku secara kasar langsung memenuhi otakku. Seketika aku langsung merasa takut, tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Setelah dipikir-pikir, kurasa ia tidak sedang mengalami masalah yang besar jadi ku yakin ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Salahkan pemikiran egoisku, karena itu lah yang membuatku memutar tumit dan pergi meninggalkan lelaki denim sendirian yang sepertinya masih sibuk membuka-tutup lokernya.

**

Di perjalanan menuju ke rumah, aku kembali terpikirkan tentang balasan misterius dari lelaki—menurutku, yang bernama Tommo itu. Bukan balasannya lagi yang aku pikirkan, melainkan balasanku yang selanjutnya. Kini aku merasa bodoh karena memilih untuk kembali membalas ketimbang mengabaikannya. Dan yang lebih bodoh dari itu, aku memberitahu namaku. Yah, sebenarnya aku tidak menulis 'Adeline' di situ. Aku menggunakan nama tengahku, Ruth, untuk berjaga-jaga jika suatu saat itu memang ulah Matthew, setidaknya dia tidak akan mengenaliku sebagai 'Ruth'. Semua orang di sekolahku hanya mengetahui nama depan dan belakangku saja, tapi tidak dengan nama tengahku dan aku cukup lega karena itu.

Louis & AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang