01 ; anak baru

468 51 25
                                    

Memasuki semester baru merupakan salah satu hal yang menyebalkan. Kau harus meninggalkan segala kebiasaanmu ketika liburan karena sekolah telah kembali dimulai. Tidak ada lagi tidur hingga matahari berada tepat di atas kita, tidak ada lagi bermalas-malasan. Setiap orang pasti memiliki alasan untuk membenci sekolah. Entah karena tugasnya yang banyak maupun gurunya yang menyebalkan. Sedangkan aku, well, aku membenci segalanya tentang sekolah.

Aku mengerang ketika mendengar alarmku berbunyi, menandakan kalau sekarang telah menunjukkan pukul enam. Meraih ponsel di nakas, aku pun segera mematikan alarm. Sebenarnya aku sudah bangun sejak tadi, bisa dibilang tidak tidur bahkan. Terlalu banyak pikiran yang membuatku terjaga semalam penuh dan kurasa itu adalah hal yang sudah biasa. Mengetahui kalau kelas pertamaku akan dimulai satu jam lagi, pun aku memilih untuk berjalan ke lemariku dan mencari baju berlengan panjang dan rok untuk kupakai hari ini.

Setelah bersiap, aku langsung keluar menuju ruang makan untuk sarapan. Baru satu langkah aku memasuki ruang makan, pemandangan ibu yang sedang mengoleskan selai di roti dengan ponsel di telinganya langsung menyambutku. Aku menghela napas, kemudian duduk di salah satu kursi yang kosong. Kuraih dua lembar roti beserta selai stroberi dan mulai mengoleskannya. Sesekali aku mencuri pandang ke arah ibu, yang masih berbincang dengan lawan bicaranya di sebrang sana. Ia sama sekali tidak melirikku, seakan-akan aku ini transparan di matanya.

Aku berusaha untuk tidak memperdulikannya dan menyantap rotiku dalam diam. Rotiku sudah tersisa setengah ketika ibu menyudahi teleponnya. Setelah itu, mulutnya hanya bergerak untuk mengunyah dan menelan, sama sekali tidak mengajakku berbicara. Rasanya aku ingin sekali mengatakan sesuatu, namun aku takut mengganggunya. Baru lah saat aku hendak berangkat, aku memberanikan diri untuk bersuara.

"Mom,"

Ibu hanya bergumam meresponku. Mulutku terbuka sesaat, namun kembali tertutup saat melihat ibu yang meletakkan rotinya yang baru ia makan seperempat dan meraih ponsel. Jemarinya bergerak dengan lincah di atas layar. Oh.

Dengan begitu, aku memilih untuk berdiri dan pamit untuk berangkat.

"Aku berangkat sekarang." kataku, dalam hati berharap ibu akan menjawab "Hati-hati, sayang". Namun sepertinya aku harus mengubur harapanku dalam-dalam karena ibu tidak mungkin mengatakan itu.

"Ya." adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut ibu. Kurasa itu adalah tanda kalau ibu menginginkan aku segera pergi dan berhenti mengganggunya, jadi aku langsung keluar dan pergi dari tempat yang kusebut "rumah".

**

Aku dapat merasakan berpasang-pasang mata tengah menatapku ketika aku berjalan menyusuri koridor. Walaupun begitu, aku mencoba untuk tetap berjalan, berusaha untuk mengabaikan semua tatapan yang mereka berikan. Namun hati kecilku mengatakan untuk berhenti menjadi seorang pengecut, jadi aku mendongak dan memberikan senyuman kepada mereka. Palsu. Senyuman yang kuberikan selalu palsu.

Karena kelas pertamaku—bahasa, belum dimulai, aku memilih untuk mencari toilet di sekitar koridor. Saat menemukannya, aku bersyukur ketika menemukannya dalam keadaan kosong. Tanpa ragu aku menutup pintu toilet saat aku sudah berada di dalam. Kakiku membawaku ke depan cermin besar yang tersedia dalam toilet ini untuk melakukan rutinitasku. Sebuah rutinitas yang mungkin hanya aku yang melakukannya. Maksudku, siapa lagi yang melakukan rutinitas latihan berwajah bahagia selain aku? Tidak ada.

Sambil menatap pantulanku di cermin, aku mulai mencoba untuk tersenyum. Percobaan pertamaku lagi-lagi gagal, seperti biasa. Aku mencobanya sekali lagi, sambil berusaha memikirkan sesuatu yang mampu bisa membuatku tersenyum. Tapi itu malah membuat sebuah pertanyaan muncul di kepalaku.

Apakah aku masih memiliki alasan untuk bahagia?

Aku menggeleng. Ini tidak berhasil dan tidak akan pernah berhasil. Semua kepura-puraan yang aku lakukan tidak membuahkan hasil apapun. Mereka tetap memandangku sebagai gadis aneh yang terobsesi pada tubuh seorang model. Padahal sungguh, aku sama sekali tidak menginginkan itu. Kalau bukan karena ibu yang memaksaku untuk memiliki tubuh seperti model, aku tidak akan pernah melakukannya.

Louis & AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang