05 ; perpustakaan

205 29 7
                                    

Jika ditanya apakah kelas kesukaanku, maka tanpa ragu aku akan menjawab kelas seni. Alasannya sederhana. Aku menyukai kelas seni karena itu adalah satu-satunya kelas dimana aku tidak bersama Quinn maupun Matthew. Selain itu, menurutku seni bukanlah suatu materi pelajaran yang membosankan seperti sejarah. Grr, aku selalu membenci sejarah.

Kelas seni hari ini kurasa tidak begitu buruk. Kami diberi tugas untuk melukis, yang mana itu adalah kegiatan yang sangat aku sukai. Ketika kami diberikan waktu setengah jam, aku mulai memikirkan objek apa yang harus aku lukis di kanvas kosong yang berada di hadapanku ini. Namun tiba-tiba saja konsentrasiku terganggu. Pikiranku tertuju kepada kejadian saat aku berumur tujuh tahun. Kejadian dimana aku dibawa masuk ke dalam dunia lukis oleh ayahku. Aku ingat sekali, kala itu aku sedang berulang tahun yang ke-7, dan ayah memberikanku peralatan melukis sebagai kado ulang tahunku. Saat itu aku menangis, karena aku sama sekali tidak menginginkan itu. Aku menginginkan sepeda baru.

Namun bukan Robert Jarvis namanya jika ia tidak dapat merayu anaknya. Ia terus mengatakan bahwa melukis bisa saja menjadi pelarianku. Dan itu benar adanya. Lihatlah aku sekarang, menjadi senang untuk melukiskan apa pun itu yang dapat menenangkan hatiku.

"Kuasmu tidak akan melukis dengan sendirinya, kau tahu." Sebuah suara tiba-tiba mengakhiri memoriku tentang ayah. Aku menoleh ke sebelah kananku, menemukan seseorang yang sangat familiar.

"Hei," adalah kata pertama yang keluar dari mulutku. Lelaki yang berada di hadapanku ini tersenyum, membuat kedua matanya menyipit.

"Hei. Aku melihatmu yang belum menggoreskan kuasmu di atas kanvas jadi aku memilih untuk mendatangimu." Jelasnya. Aku melihatnya yang sekarang tengah meletakkan kanvasnya di sebelahku, menandakan ia akan duduk di sebelahku sampai kelas ini berakhir.

Aku melempar sebuah senyuman canggung padanya. "Ya, aku hanya sedang berpikir tentang apa yang harus aku lukis."

"Jadi, kau suka melukis?" Tanyanya yang mendorong cat air miliknya sedikit menjauh. Aku mengangguk membenarkan.

"Bisa dibilang seperti itu. Aku jatuh cinta pada dunia lukis semenjak ayahku memperkenalkannya padaku."

Setelah itu ia terdiam. Tidak ada suara darinya, sementara kini aku mulai mengambil cat air berwarna biru muda sebagai pilihan warna pertamaku. Sementara aku mulai melukis, lelaki di sebelahku masih terdiam. Kepalanya tertunduk dan ia bahkan tidak menyentuh kuasnya sama sekali, dan diam-diam itu membuatku sedikit khawatir. Aku meliriknya sekali lagi dan memberanikan diri untuk bertanya.

"Uh, kau baik-baik saja?"

Aku merasa lega ketika mengetahui bahwa ia tidak mengabaikanku ketika akhirnya ia mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku. "Ya, tentu saja."

Aku mengangguk kemudian memilih untuk kembali fokus dengan lukisanku. Ekor mataku menangkap orang di sebelahku yang kini juga sudah mulai untuk melukis. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri. Inilah mengapa aku tidak memiliki teman. Aku bahkan tidak dapat mempertahankan sebuah obrolan dengan seseorang. Aku benar-benar payah.

"Omong-omong, ini sudah ketiga kalinya kita berbicara, dan aku juga sering melihatmu di koridor. Namun, aku masih tidak mengetahui namamu." Aku menghentikan kegiatanku ketika mendengar kalimat terakhirnya. Kemudian kepalaku kembali menoleh ke arahnya, yang ternyata sudah menatapku terlebih dulu.

"Adeline," ucapku pada akhirnya. Aku tidak percaya ia tidak mengetahui namaku. Maksudku, bukan berarti aku adalah orang yang populer. Namun, rasanya sedikit tidak mungkin jika tidak ada yang mengenal seseorang yang menjadi bahan bully Matthew.

"Hei, Adeline. Aku Louis." Katanya yang kembali tersenyum kepadaku.

"Akhirnya aku tidak perlu menyebutmu dengan sebutan yang aneh lagi." Gumamku pada diriku sendiri.

Louis & AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang