06 ; secangkir teh & luka

156 22 12
                                    

Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Beberapa jam yang lalu, aku menghindari Louis mati-matian dan lihatlah aku sekarang. Terkunci dalam pelukannya di pinggir jalan dekat halte bus. Aku yakin sudah banyak orang yang melintas atau setidaknya melihat kami dalam posisi yang cukup lama ini. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman. Bukan karena pelukan dari Louis—sungguh, berada di dalam pelukannya sangatlah membuatku tenang—tapi karena tatapan orang sekitar. Aku berusaha untuk mengatakannya pada Louis, namun ia sepertinya terlalu sibuk untuk membisikkan kalimat kalimat seperti "Semuanya akan baik-baik saja." atau "Mulai sekarang kau tidak lagi sendirian, Adeline." di telingaku.

Tidak lama kemudian, Louis mulai melonggarkan dekapannya, matanya terarah kepadaku. Sebuah senyuman kecil terukir di bibirnya dan ketika aku mendongakkan kepala untuk membalas tatapannya, di saat itulah aku sadar kalau ternyata Louis juga sempat menangis. Kemudian aku memperhatikannya yang menarik gulungan sweaterku, hingga akhirnya luka yang ada di pergelangan tanganku kembali tidak terlihat. Ia melakukan hal yang sama kepada tanganku yang satu lagi, kemudian mencium jari-jariku. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa aku belum juga menamparnya karena telah melakukan hal-hal seperti ini kepadaku. Maksudku, kami masih terbilang orang asing. Hell, obrolan panjang pertama kami bahkan baru terjadi tadi.

Kami bertatapan, cukup lama. Tidak ada seorang pun dari kami yang membuka mulut untuk berbicara. Tangan Louis masih memegang salah satu tanganku yang tadi diciumnya, namun setelah itu ia belum juga melepaskannya. Lagi-lagi aku tidak menolak.

"Uhm, Louis?" Aku memberanikan diri untuk membuka suara, mataku kemudian turun menatap tangan Louis yang berada di atasku. Louis mengikuti arah mataku dan refleks melepaskannya.

"Oh, astaga, maafkan aku. Aku tidak bermaksud...—"

"Tidak apa. Aku ingin berterima kasih untuk apa yang telah kau lakukan." Ucapku pada akhirnya. Lelaki di hadapanku ini hanya tersenyum dengan manisnya.

"Kau tidak perlu berterima kasih, Adeline. Aku mengatakan semuanya sungguh-sungguh. Aku ingin menolongmu."

"Tapi kau tidak perlu melakukannya, Louis. Aku bisa menanganinya sendiri. Semuanya terkendali."

Louis malah melepaskan kekehan kecil ketika mendengarku mengucapkan kalimat terakhir. Oh, dia sendiri pasti sadar atas nada keraguanku.

"Kau mengatakan itu seakan-akan semuanya baik-baik saja."

"Well, memang begitu kenyataannya." Kataku. Louis langsung menggeleng. "Bukan, bukan itu kenyataannya. Kenyataannya, kau tidak bisa menanganinya sendiri, Adeline. Kau membutuhkan seseorang untuk membantumu bangkit dari keterpurukanmu."

Aku tidak menjawab setelah itu. Louis juga tidak berbicara lagi. Kepalaku tertunduk, namun aku dapat merasakan Louis yang sedang menatapku. "Ngg, aku harus pulang sekarang."

"Dengan bus? Kurasa tidak, Adeline. Aku rasa bus terakhir sudah pergi beberapa menit yang lalu."

"Aku bisa naik taksi."

Louis menggeleng, "Biar aku mengantarmu."

Aku kembali terdiam saat mendengar tawarannya. Haruskah aku menerimanya?

"Oke, tunggu dulu. Inikah tujuanmu? Menahanku di sini dengan kata-kata manismu agar aku bisa ketinggalan bis?"

"Tunggu, apa? Tentu saja tidak, Adeline." Louis buru-buru mengatakannya.

"Aku hanya ingin berniat baik." Louis melanjutkan. Perlu beberapa saat baiku untuk memikirkan tawarannya namun aku memilih untuk menurut pada akhirnya.

Kami kemudian berjalan berdampingan kembali ke kawasan sekolah, menuju tempat parkir. Louis membukakan pintu mobilnya untukku, membuatku sedikit terkejut akan perlakuannya. Ini kali pertamanya seseorang membukakan pintu untukku. Aku merasa...spesial.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Louis & AdelineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang