5. Teman

3.5K 213 12
                                    


"Halo, Sophia. Boleh aku  mengganggu waktumu sebentar?" kata Adel yang baru saja mendaratkan telapak tangannya di pundakku. Aku cukup terkejut dibuatnya. Terlebih lagi karena orang yang mendatangiku saat ini adalah Adel, gadis yang kuanggap membenciku kemarin malam. Angin apa yang membawa Adel sampai ke tempat ini, menemuiku?

"Tentu. Ada apa, Adel?" tanyaku seraya memberi isyarat kepada Adel untuk duduk di sampingku dengan menepuk-nepuk sisi bangku yang kosong.

"Terima kasih untuk rendangnya kemarin. Orang tuaku, juga aku sangat menyukainya." Saat ini aku benar-benar berada dalam kondisi yang super canggung, ditambah dengan cara bicaranya yang begitu formal kepadaku.

Perempuan, eh? Tidak begitu mudah dalam bergaul layaknya lelaki.

"J-jangan terlalu formal, duh. Jadi gak enak suasananya," jawabku dengan tawa yang sedikit kupaksakan untuk memperbaiki suasana.

"Aku cuman mau ngomong ke kamu, Soph. Semoga kita bisa jadi temen deket, ya?"

Eh?

Apa aku tidak salah mendengar kalimat yang baru saja Adel lontarkan padaku? Tidak, maksudku, ini Adel! Seorang Adelia Christina yang cantik jelita dan rupawan mau berteman denganku?

"Soph? Kok malah diem?" tanya Adel lagi.

"Enggak, enggak apa-apa."

Aneh. Seharusnya aku merasa senang, karena ini untuk pertama kalinya ada seorang gadis populer yang memintaku untuk berteman. Tapi kenapa separuh hatiku berkata bahwa ada udang di balik batu?

"Jadi?"

"J-jadi...? Apanya?"

"Teman dekat," jawab Adel dengan mengulum senyuman manis pada bibirnya. Kuakui dia memang sangat cantik.

"O-oke. Teman dekat," jawabku sedikit ragu-ragu.

"Omong-omong, lagi apa di taman sendirian, Soph?" tanya Adel untuk membuka percakapan pertama kami sebagai teman.

"Tadinya mau gambar, tapi kamu dateng," jawabku santai.

"Itu buku sketsa? Boleh aku lihat koleksi gambar kamu?" Sebelum sempat bibirku berucap untuk menjawabnya, tangannya tanpa izin mengambilnya dari genggamanku, dan kemudian langsung membalik-balik halaman pada buku tersebut.

"Eh? Ini Nathan, kan?" Aksinya terhenti ketika kedua matanya menangkap lukisan yang berhasil menarik hatinya.

"E-em, itu..."

"Jadi kamu suka Nathan, ya, Soph?" Pertanyaan tersebut berhasil membuat pipiku terasa panas, merasa rahasia yang telah lama disimpan dengan mudahnya dapat diketahui oleh orang lain.

"Nggak! Aku kan gambar apa aja yang aku lihat. Jadi karena kebetulan aku lihat muka ngeselin dia dari samping, ya aku gambar deh," jawabku dengan sedikit tergagap karena secara bersamaan otakku ikut bekerja mencari-cari alasan yang baik.

"Baguslah," jawabnya.

Bagus? Maksudmu?

"Omong-omong, Soph. Kamu bakat banget ya dalam bidang menggambar. Bisa realis gitu gambarnya," katanya lagi.

"Ini belum seberapa sih dibanding yang lainnya," jawabku sedikit salah tingkah karena pujiannya.

Si Tampan dan Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang