8. Stefan Si Manusia Es

3.2K 218 15
                                    

Saat ini aku benar-benar tengah dikejutkan oleh kehadiran Stefan, teman satu kelasku. Ia datang membantuku untuk meraih sebuah novel yang letaknya ada di ketinggian dimana tanganku tak dapat meraihnya. Sepertinya dia orang yang baik.

"Makasih, ya," kataku gugup, tak berani untuk melihat ke arahnya. Kutunggu kira-kira lima detik untuk mendapat jawabanku. Namun keadaan kembali hening seusai aku memberinya ucapan terima kasih. Ia tidak menghiraukanku, sepertinya.

Kemudian kucoba mengumpulkan seluruh keberanianku untuk melihatnya. Hanya penasaran, kenapa ia hanya berdiri dalam diam di sampingku. Mungkin ia tidak dengar?

"Apa?" Ketika kepalaku berhasil menoleh dengan sempurna, dan mataku dapat melihat wajahnya dengan baik, tiba-tiba ia menoleh dengan cepat ke arahku dan lagi-lagi memberiku tatapan sinis. Tatapan yang sama seperti saat itu.

Orang aneh.

"Ah, cuman mau bilang makasih," aku mengulang kembali ucapan terima kasihku, berharap dia kali ini mendengarku.

"Bukannya tadi udah bilang?" jawabnya, kemudian kembali melemparkan pandangannya menuju novel-novel yang tertata rapi di rak buku.

"Aku kira nggak denger."

"Denger lah. Dipikir tuli apa?" jawabnya lagi, masih dengan pandangannya yang terpusat pada rak buku. Jujur saja, kalimatnya begitu tajam.

"Lalu kenapa nggak dijawab?"

"Penting banget, huh?" Sial. Sepertinya dia tipe orang yang dingin. Baru beberapa detik yang lalu dia membantuku, memberiku saran bacaan, lalu dalam sekejap ia kembali berubah menjadi manusia es. Moody, eh?

"Terserah apa katamu. Aku permisi," kataku seraya memutar balik tubuhku untuk berjalan menuju kasir. Namun sebelum sempat kakiku membuat langkah keduanya, seseorang di belakangku menarik lengan jaketku dengan kasar, membuat tubuhku berputar dengan sempurna kembali menghadap dirinya.

"Kau pikir kau sudah boleh pergi?"

"Hah? Lepasin!"

"Ucapan terima kasih itu tidak cukup, lho."

"Ya Tuhan, lalu maumu apa?"

"Ikut aku!" Dengan terpaksa aku berjalan mengikutinya sambil hatiku terus berharap agar lelaki aneh ini tidak hendak berbuat jahat padaku.

Langkah kami terbawa semakin dekat menuju sudut ruangan. Aku penasaran, sebenarnya apa maksud dan tujuannya memaksaku untuk ikut dengannya.

***

Nathan's POV

"Del, masih lama nggak liat-liatnya?" Saat ini aku berada di ruangan khusus yang toko buku ini sediakan untuk menawarkan berbagai macam alat-alat musik. Aku berdiri di samping Adel, memperhatikan setiap gerak geriknya.

"Liat banyak gitar begini bikin nostalgia," kata Adel tiba-tiba dengan pandangan yang masih tertuju pada gitar-gitar yang tergantung rapi.

"Ah, lebay."

"Beneran. Jadi kangen sama band kita dulu." Kuperhatikan tangan putihnya mengusap perlahan sebuah gitar putih di depannya. Raut wajahnya tidak seperti biasanya, ia tampak tengah dilanda rasa rindu yang begitu dalam.

"Kenapa?" Ah, bodoh. Aku terbawa suasana. Memang benar, kira-kira sudah tiga tahun aku tidak menyentuh alat musik di rumahku. Mungkin saat ini alat-alat musik itu telah berdebu. Bahkan mungkin tanganku mulai melupakan bagaimana caranya memainkan alat-alat itu.

Si Tampan dan Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang