12. Bahagia

2.7K 181 9
                                        

Nathan's POV

"Mau kuanterin pulang?"

Kira-kira lima belas detik kemudian seusai kuberikan tawaranku, Sophie mengangguk menyetujuinya. Dari posisi duduknya, kuulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Kaki kanannya masih terbalut dengan perban, cara berjalannya masih belum normal. Jika aku diizinkan, maka akan kutopang tubuhnya untuk mengurangi rasa sakit Sophie. Tapi aku yakin ia akan marah jika aku melakukannya, bukan?

"Nathan." Sesampainya di pintu depan sekolah, ia berhenti dan secara refleks aku juga ikut menghentikan langkahku. Aku berdiri di sampingnya, memandang ke arahnya sebagai jawaban atas panggilannya.

"Kakakmu nggak masalah, kan?" Secuil rasa takut terlukiskan di wajah bulatnya. Bibir merah mudanya pun sedikit bergetar ketika mengucapkan kalimat itu. Apa yang ia takutkan? Kakakku adalah orang yang baik.

"Tentu saja. Aku yakin dia akan melakukan hal yang sama jika melihatmu dalam keadaan seperti ini. Tenang saja, dia orang yang baik," jawabku pada Sophie. Kami kembali melanjutkan perjalanan kami menuju tempat parkir, tapi kemudian aku ingat kaki Sophie tidak sedang dalam kondisi yang baik.

"Sophie, kita tunggu sini aja. Biar aku telepon kakakku untuk kemari."

"Ya."

***

Siang tadi ketika Sophie pulang bersamaku, ia membawa buku gambar di genggamannya. Namun buku itu tertinggal di mobilku. Aku sendiri juga baru menyadari buku gambarnya tertinggal ketika mobil kakakku telah terparkir di garasi rumah. Awalnya aku berpikir untuk segera menghubunginya karena sepertinya buku gambar ini begitu berharga bagi Sophie. Tetapi kemudian aku ingat, saat itu ia pernah melarangku untuk melihatnya. Hal itu membuatku penasaran mengenai apa yang ada dalam buku tersebut. Segera kuurungkan niatku untuk menghubungi Sophie, kemudian kubawa buku itu masuk ke dalam ke kamarku.

Tanganku membalik satu demi satu halaman secara perlahan. Arsiran pensil dari tangan Sophie pada setiap halamannya benar-benar membuatku kagum. Tidak kusangka, ia adalah seorang seniman yang handal. Ia tidak pernah menunjukkan itu pada siapapun, bahkan aku yang sudah berteman dengannya sejak SMP pun tidak pernah tahu mengenai bakat menggambarnya.

DEG!

Secara refleks, tiba-tiba tanganku berhenti pada halaman keenam dari buku ini. Pada halaman itu, aku melihat sesuatu yang begitu mengejutkan. Memang mengejutkan, tapi bukan takut yang aku rasakan, melainkan kebahagiaan. Senyuman tercipta di wajahku, sembari terus memikirkan mengenai bagaimana cara gadis itu menggambarnya. Ya, aku melihat wajahku yang tampak seperti orang bodoh dan sialnya tergambarkan dengan baik di kertas kecoklatan ini.

"Bagaimana bisa wajahku ada di sini?" Tak henti-hentinya pertanyaan itu berputar di kepalaku. Sungguh, memang aku penasaran kenapa hanya ada wajahku di sana. Kucoba membalik halaman selanjutnya, namun yang kudapati hanyalah lembar kosong. Kurasa itu adalah gambar terakhir yang ada di sana.

Toktok

"Nathan, ayah dan ibu sudah menunggu di meja makan!" suara baritone kakakku menyadarkanku dari lamunan. Segera kututup buku itu, kemudian kuletakkan buku itu di atas meja belajar. Kubuang cepat-cepat pertanyaan yang sempat memenuhi pikiranku.

***

Sophie's POV

Saat ini aku tengah berada di dapur, membantu Ibu memasak untuk makan malam hari ini. Biasanya kami memasak dalam diam, tak banyak berbincang. Tapi hari ini berbeda. Setelah Ibu tahu bahwa tadi aku pulang bersama teman, Ibu menjadi banyak bicara. Tak henti-hentinya pertanyaan dari Ibu menghujaniku. Tapi wajar saja, ini pertama kalinya aku pulang bersama dengan teman.

Si Tampan dan Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang