9. Senin yang Menyebalkan

3K 182 9
                                    

Hari ini tiba saatnya untuk hari yang sangat kubenci, Senin. Hari yang terlalu cepat datang untuk menggantikan liburanku. Tapi hari ini, aku melihat suasana yang baru. Nathan dan Stefan terlihat akrab. Kurasa baru kemarin Sabtu mereka berbicara secara langsung dengan Stefan, teman sekelas kami. Tapi hari ini, mereka terlihat begitu akrab.

"Menyenangkan, ya," ucapku pada diri sendiri di tengah kesibukanku memandangi papan tulis putih yang masih bersih tanpa noda.

"Apanya?" Tanpa kusadari, ternyata aku mengucapkannya dengan keras sehingga Nathan yang tengah asyik mengobrol dengan Stefan bisa mendengar kalimatku. Dan kini pasang mata kedua lelaki itu menatapku dengan tatapan aneh.

Menyenangkan, ya, jika bisa cepat mendapat teman baru.

"Nggak," jawabku singkat, tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatiku. Seharusnya aku berkata jujur, tapi justru sebaliknya, aku tidak bisa mengutarakannya pada Nathan.

"Hah? Aneh deh," itu adalah kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Stefan yang selalu saja mengganggu setiap obrolanku dengan Nathan. Karena aku tak ingin menambah rasa penasaran mereka, aku putuskan untuk diam tanpa menanggapi Stefan.

"Jangan bikin kepo deh, Soph," kata Nathan.

"Dari awal juga aku ngomong sendiri, Than."

"Tapi kamu ngomongnya kenceng!" jawab Nathan lagi, kini dengan menggunakan nada yang cukup tinggi di akhir kalimat.

"Halah udah, Than. Nggak penting juga tau masalah orang. Aku mau ngantin. Ikut?" kali ini giliran Stefan yang menimpali. Sungguh, orang ini tidak ada lembutnya sama sekali. Jika dibandingkan dengan Nathan, mereka sangat berbada. Rasanya kedua tanganku ini ingin sekali melayangkan tinjuku ke wajah Stefan.

"Ngantin? Bentar lagi masuk." Melihat mereka berdua berbicara lancar walau baru saja saling kenal membuatku merasa heran. Memang betul Sabtu lalu kami sempat mengobrol berempat, juga bertukar ID aplikasi chatting. Tapi seingatku mereka tak banyak bicara berdua. Stefan pun juga lebih sering diam daripada menanggapi, mengingat dia adalah manusia es di mataku.

"Bodo ah." Dengan kalimat itu, segera Stefan pergi seorang diri meninggalkan kelas. Jam dinding telah menunjukkan pukul 06.45, dan seharusnya lima belas menit lagi bel akan berbunyi. Tapi manusia es itu tetap nekat berjalan menuju kantin demi memuaskan perutnya yang rata.

"Sejak kapan kalian akrab?" Karena rasa penasaranku yang telah memuncak, kuberanikan untuk bertanya pada Nathan.

"Entahlah, tiba-tiba jadi asyik ngobrol bareng aja," balasnya singkat.

"Kok bisa?" tanyaku lagi, karena merasa belum puas akan jawabannya. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli dengan betapa cepatnya mereka berteman, tapi tetap saja, itu akan kujadikan sebagai bahan pelajaran untuk bisa mendapatkan teman dengan cepat.

"Dia suka main game yang sama kayak aku. Aku ajak ngobrol, trus jadi akrab deh," jawabnya.

Jonathan Alexander, atau yang biasa dipanggil sebagai Nathan itu memang adalah seorang yang populer. Ia memiliki banyak teman. Saat itu aku masih belum tau rahasianya untuk mendapatkan banyak teman, tapi kini aku tahu salah satunya.

Kuncinya adalah kita harus terbuka. Tapi aku terlalu malas atau lebih tepatnya aku takut untuk mengajak orang lain berbicara. Tapi jika kuingat kembali, sepertinya dulu aku selalu berani menyapa temanku terlebih dahulu.

Saat aku duduk di bangku SD, aku selalu menyapa banyak orang. Tapi hasilnya?

"Halo, namaku Sophie. Kamu?"

"N-namaku Ellen. Sudah, ya. Anu, aku pergi dulu."

Tidak hanya sekali, namun berkali-kali aku ditolak. Saat aku duduk di bangku SMP pun, aku telah berjuang demi menyenangkan hati temanku. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Si Tampan dan Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang