Chapter 3 : Thirteen Minute To Midnight

784 86 9
                                    

Aku melihat seorang pria muda berwajah tampan dan berambut coklat terang terkapar di tanah di sebuah rumah kecil yang kotor dan suram, entah rumah, entah gudang, aku tak yakin. Aku belum pernah melihat tempat itu sebelumnya.

Aku berdiri di sana, melihatnya merintih kesakitan saat kedua tangannya diikat di tiang di belakang punggungnya, tubuhnya penuh luka, dia berdarah.

Wajah tampannya terlihat mulai kusut dan pucat, darah mengalir deras dari pelipisnya.

Aku terdiam terpaku, aku tak tahu kenapa aku bisa ada di sini, di tempat yang sama sekali asing.

Aku memutar leherku, memandang ke sekeliling rumah kecil itu, sebuah meja makan kecil ada di tengah ruangan dan sebuah jam dinding kuno tergantung di salah satu sudut ruangan.

Pukul 23.44. Jam dinding di rumah itu menunjukkan pukul 23.44 dan sebuah kalender tak jauh dari sana menunjukkan sebuah tanggal hari itu, 13 APRIL 2012, hari JUMAT.

"Apa kau mau menikah denganku? Jika kau berjanji menikahiku, aku akan melepaskanmu," seorang wanita berkostum serba hitam berdiri membelakangiku seraya menjambak rambut pria itu dan sebelah tangannya menggenggam sebuah pisau perak.

Aku tersentak. "PISAU PERAK?" batinku tercekat.

"Jangan mimpi! Lebih baik kau bunuh aku. Aku tak sudi menikah dengan psikopat sepertimu!" seru seorang pria muda berwajah tampan.

"Cinta tak bisa dipaksa. Kau tahu aku memiliki seorang gadis pujaan." jawab si pria dengan berani.

"Omong kosong. Liliana Dawson sudah melupakanmu. Itu hanya kenangan masa kecil yang tak berarti lagi untuknya. Lupakan dia dan menikahlah denganku. Jika kau menolak, kau akan mati di tanganku!" ancam wanita berkostum hitam itu.

"Bunuh saja aku!" si pria menantang dengan berani.

Lalu wanita itu berdiri, dia meraih cambuk yang ada di atas meja, aku melihat wanita kejam itu kembali memukuli, mencambuk dan menampar tubuh lemas pria muda itu.

"Jika aku tak bisa memilikimu, maka tak seorangpun bisa!" ujar wanita kejam itu lalu kemudian menghujamkan pisau perak itu di dadanya.

"Pukul 23.47. Mission Completed. Goodbye My Love!" ujarnya dingin lalu mengusap gagang pisau perak itu dengan gaun hitamnya, seolah mencoba menghilangkan jejak.

Aku hanya terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa.

"TIDAK! KENAPA KAU BUNUH DIA?" teriakku keras, aku ingin maju menolong pria muda itu, tapi sebuah kabut putih spontan menarikku kembali.

Dan aku terbangun dari mimpi, bangun dan menjerit.

"Apa itu visi?" batinku tercekat.
Aku mendadak menyadari aku sudah bermandikan keringat.

"Siapa pria itu? Tempat apa itu? Siapa wanita kejam itu? Apa hubungannya denganku? Kenapa dia menyebut namaku? Apa ada Liliana Dawson yang lain?" batinku ketakutan.

"Kau melihat visi lagi?" tanya hantu itu. Aku mengangguk pelan.

"Apa yang kau lihat kali ini?" tanyanya penasaran.

"Sebuah rumah kecil, seorang pria yang terluka dan seorang wanita kejam yang membunuhnya," jawabku merinding.

"Kau jadi saksi pembunuhan. Laporkan pada Officer Wincester." usul hantu itu.

"Aku bahkan tak tahu di mana lokasinya. Siapa yang akan percaya?" tanyaku kesal.

"Sudahlah. Kurasa aku takkan bisa tidur lagi. Lebih baik aku menggambar saja. Aku harus segera menyelesaikan proyek animasiku." ujarku seraya bangkit berdiri dari ranjang lalu berjalan ke arah meja belajarku dan mulai mengambil sketsa dan pensil.

Aku ingin melukis seraut wajah. Wajahku. Aku mulai dengan mata. Tapi aneh, tanganku bergerak dengan cepat seolah-olah menggambar sendiri tanpa aku, seolah-olah dituntun tangan yang tidak kelihatan.

Aku tidak tahu berapa lama aku menggambar. Setelah selesai, kuletakkan sketsaku dan kupandangi gambar itu.

Wajah seorang pria, bukan pria yang kukenal. Aku membuang kertas itu dan mulai menggambar lagi.

Tapi berapa kalipun aku menggambar, aku tetap menggambar wajah pria itu.

Sesaat aku menyadari, ternyata aku menggambar wajah pria dalam visiku tadi.

"Ternyata kau! Kau yang kugambar selama ini! TIDAK! KENAPA HARUS KAU? Siapa kau sebenarnya?" seruku takut seraya kulempar pensilku agar tak bisa menggambar lagi.

Dalam sekejap, lantai kamarku penuh dengan lukisan wajah pria itu. Pria yang terbunuh itu. Sebuah ingatan terlintas. JUMAT, 13 April 2012 pukul 23.47 adalah saat di mana pembunuhan itu terjadi.

"Alvan, kau harus membantuku." ujarku bertekad.

To be continued...

The Face Of Terror (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang