Guntur lebih dibenci daripada matahari. Padahal adikmu yang lucu itu tak pernah sekalipun buat onar. Guruh yang berdentum keras di langit kelabu selalu disalahartikan sebagai pertanda buruk. Mungkin itulah sebabnya kamu selalu dijauhi orang-orang. Nama belakangmu 'kan Guruh. Dan hujan biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang menyedihkan. Padahal air mampu mengobati luka hatimu.
Kamu yang basah kuyup dibalik jas hujan transparan, melangkah mantap memasuki rumah makan-sangat-sederhana itu tanpa melirik sedikitpun ke arah skuter matic di belakangmu. Atau bolehlah, kamu sebut itu warteg, kalau kamu tidak gengsi.
Suara teve berdengung keras layaknya lebah, jika itu kiasan yang cocok untuk teve butut berlayar semut yang tersimpan di atas meja kecil yang tergantung dekat lemari pendingin. Kamu langsung teringat pada segelas kopi panas hitam pekat begitu mendaratkan ujung bokongmu ke kursi kayu panjang. Bibi pemilik warteg lantas menghampirimu dengan segelas kopi panas hitam pekat yang bahkan belum kamu pesan.
Kamu tersenyum pada bibi Idah, mungkinkah kamu sudah jadi pelanggan tetapnya hingga dia tahu apa yang ingin kamu pesan? Bibi Idah kelihatannya sudah terbiasa dengan kedatanganmu, jadi dia langsung mengalihkan pandangannya dan berbicara pada orang di sebelahmu yang duduk tak nyaman. Kamu kira orang itu ikut basah karena jas hujan yang belum kamu lepaskan. Maka, kamu duduk bergeser setengah meter menjauhinya.
Pekerjaan ini seperti orang yang sedang bermain dengan ponsel pintar. Jari jemarimu menyentuh kaca bening di hadapanmu, lantas mengetuk-ngetukkan kaca dengan pelan pada sepiring penuh tempe goreng pedas. Bi Idah mengulurkan tangannya menarik piring besar itu dan tiga tangkup tempe goreng pedas sudah mendarat di atas nasi hangat. Bi Idah sekali lagi menghampirimu dengan sepiring nasi hangat dan tempe goreng pedas. Kedua menu itu adalah sarapanmu.
Kamu baru saja selesai dengan pekerjaan - memainkan ponsel pintar - mu itu. Kamu tersenyum, dalam pikiranmu tercatat sebuah tulisan. Orang Indonesia ternyata lebih jenius daripada penemu teknologi layar sentuh.
Tanganmu kembali meraba permukaan lemari kaca dan menemukan sebuah gelas, yang kamu tahu isinya apa. Sekarang kamu menikmati dua suasana berbeda sekaligus. Kopi panas hitam pekat. Dan gerimis hujan mengundang dingin. Kedua-duanya. Kamu menikmati itu.
Tak seorang pun yang menyadari dibalik genggaman tanganmu, ada secarik uang kertas lusuh. Kamu sudah menggengamnya sangat lama. Mungkin 10 menit. Tapi itu terlalu sebentar. Yang benar, selama satu jam. Uang kertas 20 ribu yang basah terkena air hujan dan kusut karena kamu genggam terus.
Tadi subuh kamu mengerang di tempat tidur. Lantas kamu menyadari bahwa gadis itu sudah pergi. Yang tertinggal hanyalah uang 20 ribu lusuh di atas buffet. Kamu berjalan sendirian ke warteg ini satu jam setelah lelah melakukan hal bodoh, mencari keberadaan gadis itu. Lalu begitu sadar bahwa dia sudah pergi lama sekali, kamu mendatangi warteg ini - mengisi perut kosongmu.
~
Mel. Nama gadis itu adalah Melanie. Tapi kamu lebih bangga menyebutnya Mel. Karena namanya mengingatkanmu pada perempuan asing pertama dalam hidupmu. Namanya juga Melani. Hanya saja tidak pakai 'e' diakhirnya.
Melani yang pertama adalah gadis yang kamu sukai. Dengan dia, kamu selalu duduk di rooftop gedung sekolah, menunggu jam istirahat berakhir sambil memerhatikan lalu lalang dibawahnya. Dari tempat itu kamu bisa melihat orang-orang - baik bergerombol maupun sendirian - sedang berjalan dan ada juga yang sedang berlari. Dari tempat itu pula, kamu pertama kali melihatnya melangkah keluar dari mobil range rover yang tak pernah absen menjemputnya.
Beberapa tangkup es krim selalu dia berikan padamu saat kamu tidak sanggup membelinya. Uang bekalmu hanya 2 ribu, tidak cukup untuk membeli es krim yang lembut itu. Cangkang kerang awetan yang kamu kumpulkan dari hasilmu membeli di pasar, harganya hanya 2 ribu. Kamu mengumpulkan sebanyak satu stoples penuh. Uang 20 ribu, harga dari semua kerang itu. Dia senang sekali menerimanya. Hanya kesenangan itu yang mampu kamu berikan padanya.
Barangkali yang dikatakan orang-orang itu benar. Kamu adalah Guruh - sang pertanda buruk. Melani yang pertama, pergi karena kecerobohanmu. Dan kamu sangat benci itu.
Dia dikuburkan saat gerimis mengundang hujan. Kamu tidak ada di sana, melainkan ada di sebuah ruangan operasi.
Sejak itu, kamu memilih untuk berperilaku anti sosial. Rooftop sekolah itu kamu hindari. Kamu hanya terus mengurung diri dibalik rak-rak tinggi perpustakaan. Karena menurutmu tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan, selain cepat-cepat pergi dari tempat menyebalkan ini. Tidak ada Melani lagi dalam hidupmu.
Lantas sekarang, 5 tahun kemudian, kamu bertemu dengan Melanie baru. Yang ini pakai 'e' diakhir namanya. Dia bukanlah gadis yang kamu sukai. Kamu membenci dia 'kan? Makanya kamu selalu menghindarinya.
Seenaknya saja dia mencoba mendekatimu. Dia berpura-pura akrab denganmu. Padahal kenal dengan kamu pun tidak. Kamu tahu namanya karena dia yang lebih dulu mengenalkan dirinya padamu. Itupun karena kejadian tidak sengaja itu.
Waktu itu, kamu bertemu dengannya di minimarket. Kamu tidak tahu bahwa dia telah membuntutimu sejak awal memasuki pintu. Kamu melangkah perlahan-lahan, ketakutanmu terhadap barang-barang yang berjatuhan akibat senggolanmu membuatmu berjalan meraba-raba.
Kamu ingat Guntur belum makan. Dia terserang flu berat. Kamu berpikir cepat dan sebuah sup krim ayam instan jadi pilihanmu. Kamu mengambilnya 4 plastik sekaligus, untuk persediaan sampai 3 hari ke depan. Selain sup krim ayam instan itu, kamu juga membawa sabun, shampo, pasta gigi, mie instan, kornet dan sosis ke dalam keranjang belanjaanmu.
Suara gedebuk keras dari arah belakangmu mengejutkanmu. Apakah barang-barang itu terjatuh akibat senggolanmu? Kamu hendak berbalik tapi tidak jadi akibat mendengar suara ini.
"Aduh, maaf... maaf... saya gak sengaja. Maafin saya ya, pak."
Bukankah itu suara si gadis sok akrab? Kamu tidak menunggu lama untuk berdiri ditempat. Langkah kakimu meninggalkan keributan kecil yang dibuatnya. Kamu akhirnya sadar, sedari tadi gadis itu membuntutimu. Setelah membayar belanjaanmu, kamu buru-buru pergi dari tempat itu.
Karena langkah kakimu yang berlari, sebuah motor hampir saja menabrakmu. Suara klaksonnya mengejutkanmu dan membuatmu terjatuh. Susah payah kamu mengumpulkan kembali belanjaanmu yang tercecer di atas tanah. Namun gerakan tanganmu terhenti. Ini bukanlah barang belanjaanmu, begitu pikirmu tatkala menyadari hal itu.
Kamu kembali ke minimarket itu, menunggu si gadis sok akrab itu keluar dari pintu.
"Maaf. Barang belanjaan kita tertukar. Ini! Kukembalikan punyamu!" ujarnya tatkala melihatmu berdiri di ambang pintu.
Kamu meraih kantong plastik yang ada ditangannya sembari mengembalikan kantong plastik yang ada di tanganmu padanya.
Kamu berbalik, memunggungi dia. Sebelum kamu sempat melangkah pergi, dia mencegatmu dengan ucapan - sok akrab - nya ini. "Kamu masih ingat aku? Aku Melanie. Kita pernah ketemu sebelumnya didekat gedung Student Center."
Kamu tidak mau memperpanjang pertemuan ini, maka kamu menjawabnya singkat. "Gak ingat."
Kamu langsung menginjakkan kedua kakimu ke atas aspal. Sementara telingamu mendengar suara langkah kaki lain di belakangmu.
"Berhenti disitu! Jangan ikuti aku!"
Setelah berkata begitu, kamu tidak lagi mendengar derap langkah lain di belakangmu. Gadis itu tidak mengikutimu lagi. Kamu menghela napas lega.
Namanya Melanie. Dia orang lain. Dan kamu tidak mengenalnya. Tapi, kenapa seolah dia mengenalmu? Dia terus membuntutimu di kampus, dia mencoba dekat denganmu, dia teman sekelasmu sekaligus orang yang duduk di depanmu, dia bahkan tetanggamu.
Kamu mulai tidak enak hati padanya. Karena dia selalu membantumu. Ada desiran hebat kala kau tak sengaja selalu menabraknya dan dia menyentuh pundakmu dengan kedua lengannya sambil berujar minta maaf. Harusnya kamu yang bilang begitu, semua itu kan salahmu.
Dan pagi ini, kamu dibuat terkejut dengan uang kertas 20 ribu. Uang 20 ribu, harga cangkang kerang awetan yang pernah kamu berikan pada Melani yang pertama. Gadis kedua ini mengingatkanmu pada Melani pertama.
~
Baru saja hujan mereda. Tak ada gerimis setitik pun. Kamu melangkah keluar dari warteg itu. Uang 20 ribu lusuh itu masih tergenggam kuat di tanganmu. Bi Idah menerima uang 10 ribu darimu sebagai bayaran atas sarapanmu. Perutmu kini tak kosong lagi. Dan kamu berniat kembali pulang tanpa mencoba mencari keberadaan Melanie kedua.
Langkah kakimu berjalan perlahan-lahan di atas aspal basah. Ada sebuah lubang, air keruhnya berhasil menciprati telapak kakimu. Lantas kamu dengar suara derap langkah lain di depanmu. Kamu mengenal suara derap langkah itu, lantas kamu berhenti.
"Habis hujan, langitnya masih mendung. Mataharinya belum mau muncul sempurna dan di sana ada pelangi!" suara si gadis sok akrab itu, tentu kamu mengetahuinya.
Si gadis sok akrab itu ada di depanmu. Kamu tersenyum pahit setelah mendengarnya. Dia selalu menjelaskan pemandangan apa yang sedang terjadi kepadamu, bahkan tanpa kamu suruh. Hal itu membuatmu membencinya. Kamu iri padanya.
"Bisakah sekali saja aku melihat apa yang kamu lihat?" tanyamu mendesak.
"Suatu saat nanti. Aku janji itu." Jawab gadis itu.
Kamu lalu mengulurkan sebelah tanganmu dan mengembangkan telapakmu untuk menunjukkan selembar uang kertas 20 ribu padanya. "Kamu yang memberikannya, bukan? Kenapa? Sebenarnya siapa kamu?"
"Aku Melanie kedua. Melani pertama adalah adik kembarku." Jawabannya mengejutkanmu.
Tanganmu bergetar, jantungmu berdegup kencang sekali. Dengan susah payah kamu berujar, "Kamu mau membalas kematian dia? Gak usah! Kamu bisa lihat aku buta karena kecelakaan itu. Dan itu balasan yang setimpal bagiku."
Gadis itu berjalan menghampirimu. Kedua tangannya mengusap perlahan bahu tegakmu dan dia kembali berujar, "Aku minta maaf. Itu bukan salah kamu, Fathan."
Kamu melangkah mundur dan kedua tangan di bahumu itu terlepas. Rasanya tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, maka kamu berbalik dan berjalan menjauhinya. Belum genap 3 langkah kakimu berjalan, kedua tangan itu kembali menyentuh tubuhmu. Namun bukan mengarah pada bahu tegakmu. Kedua lengan itu merengkuhmu dari belakang. Kamu terpaku, kemudian desiran aneh itu makin hebat kamu rasakan.
Kamu hendak melepaskannya. Tapi dia malah mempererat rengkuhannya.
"Dia pernah bilang padaku, kalau dia selalu ingin menanyakan ini padamu. Kamu mencintaiku?"
"Tidak. Aku tidak pernah mencintainya." Begitu kamu menjawabnya dengan kata-kata itu, rengkuhannya mengendur dan benar-benar terlepas sesudahnya.
Kamu melangkah lagi ke depan dan suara derap langkahnya terdengar jelas di telingamu. "Berhenti disitu! Jangan ikuti aku lagi!" Ujarmu.
Gadis sok akrab itu berhenti ditempat dan kamu memulai lagi langkahmu untuk meninggalkannya.
Melanie. Kamu baru bisa mengucapkan nama itu dengan hati bergetar. Desiran aneh yang melanda dirimu, kini kamu tahu penyebabnya. Seharusnya gadis sok akrab itu juga mengetahuinya. Bahwa kamu tidak pernah mencintai Melani pertama, kamu hanya menyukainya. Yang kamu cintai justru Melanie kedua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rengkuh
RomanceSang perempuan: Dia tak bersuara. Dia pun tak pernah mengenaliku. Apa dia itu bisu? Padahal aku ada disampingnya. Sang lelaki: Perempuan itu mengusikku. Dia bukan orang yang sama. Tapi kenapa dia selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sama dengan...