Rengkuh (Entah bag. 3)

40 5 0
                                    

Oh ya, dimana dia? Aku tidak melihatnya sejak… arrgh, aku lupa apa yang sudah terjadi padaku. “Suster, a..a-da appa? S-sakit sekali. Ke…kenapa? Appa yang terjadi p-padaku, suster?” tanyaku terbata-bata. Entah kenapa suaraku terdengar serak. Sulit sekali untuk menggerakkan mulutku, seakan ada lem yang menempel dimulutku. Leherku pun serasa tercekik, sulit untuk mengeluarkan suaraku sehingga hasilnya suaraku menjadi serak.
            Mataku yang masih menyipit sambil menahan rasa sakit, melihat seulas senyuman kecil dari salah satu suster yang tengah merawatku. Dia melepaskan sarung tangan yang penuh dengan darahku, lalu menyimpannya dalam suatu wadah berbentuk nampan.
            “Kamu baru saja mengalami kecelakaan. Dari saksi mata yang melihat kecelakaan itu, kamu sedang mencoba menolong lelaki, seumuranmu. Mungkin dia temanmu. Siapa namanya?”
            Aku tersenyum. Ya, sekarang aku ingat. Kejadian itu, saat dia kesal dan marah padaku karena lagi-lagi aku melakukan kesalahan padanya. Membuat orang lain mengetahuinya, lalu mereka-seperti biasa-menggosipkannya, bahwa dia selalu dibuntuti oleh seorang penguntit. Dan penguntit itu adalah aku! Mungkin dia merasa terganggu oleh ulahku, jadi dia marah dan kesal padaku. Dia membentakku dan berusaha menjauh dariku. Dia berjalan tergesa-gesa dan tidak sadar bahwa dia sudah ada di tengah jalan semrawut di depan sekolah. Lalu sudut mataku menangkap sebuah mobil yang sedang melaju kencang di depannya, dengan cepat aku mendorongnya ke tepi jalan dan saat itulah aku yang malah tertabrak oleh mobil itu.
            “Namanya Fathan.”
            Suster itu tersenyum lemah sambil memandangku lekat. Matanya terlihat sedikit basah. “Dia ganteng ya?”
            Aku mengangguk pelan. Ya, dia sangat tampan sekali.
            “Dan kamu juga cantik. Kulit kamu kuning langsat, walaupun sekarang banyak luka yang merusak kulitmu.”
            Aku memutarkan bola mataku, melihat semua lukaku. Dari tanganku sampai kakiku, lalu tanganku menyentuh lembut ke pipiku, ternyata wajahku pun tak luput dari luka.
            “Sayang, dia tidak bisa melihat wajah cantikmu. Temanmu itu buta ya?” dapat kudengar suara suster yang melemah saat mengatakan kata buta, suaranya juga sedikit bergetar, mungkin dia sedikit sungkan saat mengatakan itu.
            Aku kembali mengangguk padanya. Dia juga bersikap dingin padaku, angkuh dan tak pernah bicara padaku. Selama ini dia hanya bisa merasakanku saja, dia tidak pernah sekali pun melihatku.
***

Bersambung...

RengkuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang